“Lagi-lagi hal yang nggak berguna,” cibirku ketika membaca deretan trending di twitter. Aku membacanya sambil geleng-geleng kepala. Perselingkuhan, IPK 1.77, hashtags buzzer, … apa pun itu, semua hal aneh yang menurutku tidak patut diperdebatkan justru menjadi pembicaraan hangat di sana.
“Alah, katanya nggak berguna, tapi tetap dibaca juga, kan?” sahut Tobi, teman sekamarku di kos.
Aku nyengir saja. Ya, begitulah, trending yang menjadi pembicaraan di media sosial memang tidak bermutu, tetapi bukankah di situ letak kemenarikannya? Kita bisa menonton orang-orang bertukar argumen, entah apa pun tujuannya, dengan tidak lupa mengatasnamakan ‘kebebasan berpendapat’. Tak jarang juga mereka saling menjatuhkan; saling memproklamirkan diri sebagai individu yang berbeda dari individu lain. Bukankah menarik? Tapi tetap saja, aku tak boleh mengakui hal itu pada Tobi.
“Memang apa lagi yang bisa kukerjakan pas pandemi begini, selain scroll medsos kalau nggak ada tugas?” sergapku membela diri. Tobi hanya diam sambil terus mengerjakan skripsinya di meja belajar yang ada di kamar kami. Entah keparat itu mendengarkanku atau tidak. Merasa tidak puas, aku pun memancing lagi, “Tapi kenapa, sih, orang-orang suka membicarakan hal-hal nggak penting? Atau … menyibukkan diri membahas masalah pribadi orang lain?”
Tobi terlihat menghela napasnya, berat. Sepertinya ia betul-betul fokus dengan skripsi yang tak kunjung selesai itu. Akan tetapi, sedetik kemudian ia berpaling ke arahku, “Fat, bukannya kamu juga sama?”
Penulis: Nisrina Mesi
Penyunting: Avif Nur Aida Aulia