Di hadapan Galata yang pilu, banyak wajah bersemayam duka, suara-suara riuh, kaki-kaki penuh peluh darah menopang tubuh tak gentar memindahkan kapal menyusuri bibir bukit lalu melabuhkannya ke lautan. Bahkan lautan sempat berkata, bahwa ini adalah perjalanan antara batas impian dan kenyataan, perjalanan orang-orang terbaik.
*
Ia kembali terhenyak diantara hening yang mengepungnya. Begitu saja, desau ombak menjelma desau nafas, inderanya tersihir oleh pemandangan permata yang diapit diantara Emerald dan Zafir; Selat Bosphorus. Tadinya, Ia hanya penulis cerita yang biasa menampung kisah ayahnya di selembar kertas, berharap suatu saat nanti ia dapat mewarisi keberanian seperti sang ayah.Lautan ketika itu tidak menawarkan apa-apa, kecuali ketenangan yang dikacaukan oleh suara debum tembakan.Dunia, ketika itu hanya dipenuhi baku hantam. Maka, demikianlah yang terjadi. Setiap kalimat yang diucapkan sang ayah membuat hatinya gentar dan rasa takutnya hilang.
“Pergilah ke selat Bosphorus, kau akan tahu mengapa aku cinta mati kepada Laut Marmara bahkan melebihi cintaku pada ibumu, dan yang paling penting,” kelakar sang ayah.
“Apa??” Sahutnya dengan mata berbinar – binar.
“Kau akan tau apa itu keberanian sejati,” Jawab sang ayah pendek.
Begitulah percakapan lama itu berlangsung. Kini, tak ada yang dipahaminya, kecuali kapal dan pensil yang membawanya mengarungi perkataan sang ayah yang menancap dalam,terlalu dalam sampai ia tak mampu untuk tidak mengingatnya. Dibekapnya pensilnya, cerita-cerita sang ayah kemudian bertebaran dalam ingatan.
Kau tahu, perbatasan Laut Marmara saat itu sangat menakutkan, di sana banyak perompak, prajurit-prajurit Romania yang berjaga, dan para bedebah yang merajah kapal-kapal para korban perang. Butir peluru tak terhitung berapa kali menancap di tubuh kapal. Banyak dari wajah kelasi dan awak kapal didera ketakutan; takut jika harus kembali ke daratan dengan hampa, jasad ada namun nyawa lenyap, takut jika harus meninggalkan keluarga yang tertatih-tatih perasaanya menanti senyum kepulangan mereka.
“Tapi ayah para penjaga laut itu kan juga punya banyak senjata, mengapa harus takut?” Komentarnya.
“Mereka sebenarnya tidak takut, mereka hanya lupa mereka sedang di Marmara,” jawab sang ayah pendek
“Mengapa dengan Marmara Yah?”
Ia lalu tersenyum getir, berharap wajah sang ayah hadir di hadapannya. Pensilnya menari-nari, mengisi selembar kertas yang kosong, menemaninya menembus batas kenyataan dan impian. Deretan paragraf lalu hadir mengawali ingatannya akan kisah sang ayah, disentuhnya ombak kecil Bosphorus, ditumpahkan pandangannya ke arah bangunan-bangunan pencakar langit dengan arsitektur maha indah di seberang lautan. Orang-orang tampak tersenyum menikmati panorama, tidak terkecuali wanita-wanita berkerudung, mereka kini dapat memakai kain penutup itu dengan bebas, tanpa takut kain itu ditarik dan rambut-rambut mereka kembali terurai. Maka seperti dikisahkan sang ayah, beginilah kisah itu ditulisnya.
*
Laut Marmara ketika itu dikacaukan oleh suara tembakan meriam, warna birunya menjadi merah, bahkan ombaknya sudah tidak tampak. Wajah-wajah penantang kematian baris di hadapan banteng-benteng yang terlihat kokoh. Mereka terus berusaha merobohkan susunan bata itu, berharap perjalanan ini segera menemui akhirnya.Sekali, dua kali, lalu beribu kali mereka mengerahkan seluruh daya tapi gagal. Benteng-benteng yang dilindungi oleh rantai raksasa itu masih terlalu angkuh untuk mereka robohkan. Mayat-mayat berjatuhan, lalu pasukan kembali mengamankan diri.
Maka, di kegelapan malam, jiwa-jiwa yang tersisa itu kembali berkumpul, berusaha menyatukan harapan yang tak lagi utuh. Wajah mereka lemas, suara-suara sumbang mulai bermunculan.
“Wahai Mehmet, engkau telah mengakibatkan kerugian besar bagi pasukan kita, engkau telah menewaskan banyak pasukan. Seandainya engkau tidak membawa kita ke sini tentulah kita tidak mendapat kerugian besar.”
Namun belum selesai perkataan itu, meja digebrak oleh seorang algojo bertubuh besar, Zakarous Pasha.
“Jangan dengarkan dia wahai Mehmet! sesungguhnya kita datang kemari tidak ada harapan untuk kembali melainkan sebagai seorang petarung! Dan seandainya mereka membicarakan tentang kekuataan pasukan, ketahuilah bahwa Alexander Agung datang dari barat menuju ke timur membawa setengah pasukan daripada jumlah kita yang sekarang dan menaklukan sebagian besar timur dari setengah pasukan daripada kita.”
Suara-suara yang lain menyusul,
“Benar Mehmet! Kita membawa dua kali lipat pasukan, dan saya tidak akan terima jika kita akan kalah di balik banteng-benteng dan timbunan batu-batu itu.”
Mehmet kemudian bangkit, alisnya berkerut, sorot matanya nanar memandang wajah-wajah penuh harap, kedua rahangnya menegang, suaranya kemudian menjadi serak.
“Yeni bir strateji belirlemek! Hepimiz ayaga, kalkip olsun!!”[1]
Semua lalu bangkit dari duduk diamnya, suara pemimpin mereka menggetarkan jiwa-jiwa yang hampir karam oleh kekalahan. Tangan mereka sontak mengepal, keringat mulai bercucuran semakin banyak.
“Seandainya di lautan Marmara kita tidak bisa melewati rantai besar yang menghalangi tembok Kontantinopel, maka kita akan melaluinya dengan cara lain. Kita punya kapal, kapal kita ini akan coba kita labuhkan di atas pantai Galata setelah kita labuhkan di pantai Galata maka biarlah kita melalui kapal-kapal kita di atas dataran Galata, setelah itu kita kembalikan lagi ke laut.”
“Apakah engkau lupa bahwa daratan Galata adalah sebuah bukit?Apakah kita akan membawa kapal kita melalui bukit?”
“Iya, saya tahu itu adalah sebuah bukit. Namun ketika engkau tidak dapat melewati itu dan tidak menyangka akan melewati itu, maka tidak pula satu pun para bedebah Konstantinopel!”
Maka, di gelapnya malam yang semakin pekat, langkah-langkah bergeriliya. Mereka berbaris saling menguatkan, meski tak satu dua kaki harus dikorbankan karena tertindas tubuh kapal. Keberanian sejati itu muncul, terpancar abadi hingga sekarang.
Kalimatnya lalu berakhir, diletakkan pensilnya, ditulisnya beberapa kata di akhir tulisan. Ayah, kisah ini memang belum kau selesaikan karena waktu tidak lagi ada untuk kita namun percayalah, keberanianmu dan Mehmet kini sudah kugenggam dalam sebuah amanah besar
Anakkmu terkasih,