Aris telah mengendarai Honda Gelatik dari Surabaya menuju Jombang. Hatinya hangat sehabis mengunjungi sekolah anak jalanan, di sana Eyang, si empunya sekolah menceritakan padanya banyak hal termasuk kisah romantis dengan sang istri.
Aris pikir kehangatan hati akan membawanya ke perjalanan yang mulus tanpa rasa lelah. Tapi sebaliknya. Ia mampir di Warung Bu Minah, warung yang selalu ia kunjungi setelah perjalanan sebelum sampai rumah.
Hiruk pikuknya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Ramai. Mulai dari sopir truk hingga pegawai dinas. Tidak heran, Aris mampir tepat saat jam makan siang.
Biasanya Aris akan memesan sepiring nasi dengan cumi saos hitam, tapi kali ini kopi hitam saja cukup.
“Sluurrppp.” Aris menyeruput kopinya. Firdaus, pria berkepala plontos mendadak kehilangan kenikmatannya menyantap nasi pecel hangat gara-gara mendengar suara tersebut
“Kalo minum biasa aja dong!!” tegasnya.
Mendengar suara itu, Aris yang hendak mengisap rokok pun melihat Firdaus dengan muka santai. “Ada apa mas?”.
“Seruputan kopimu bikin orang-orang di sini terganggu!!” jawab Firdaus.
“Maaf Mas, menurut saya itu hak saya untuk menikmati karunia dari Tuhan.”
Mendengar jawaban itu, Firdaus pun naik pitam. Kemudian tak segan membentak orang yang baru ditemuinya itu. “Tau apa kamu tentang Tuhan?” tanya Firdaus dengan nada tinggi. Aris pun tetap tenang menanggapi perkataan Firdaus.
Mendengar keributa, Bu Minah, pemilik warung berusaha melerai, “Tolong mas kalau ribut jangan di sini!
Firdaus menjelaskan pada wanita setengah baya itu, bahwa ada seorang laki-laki yang menikmati kopi dengan tak wajar. Bu Minah mulai paham dan berkata, “Itu sudah biasa di sini Mas, memang banyak orang yang menikmati kopi dengan cara seperti itu, katanya untuk menghormati penciptanya”.
Bukannya meredam, amarah Firdaus makin meledak setelah mendengar penjelasan Bu Minah, “Apa untungnya seperti itu?”.
Aris yang berjiwa bebas menjawab dengan tenang, “Masnya punya kakek atau nenek?”
“Iya punya”
“Coba masnya bayangkan kalo menolak garam dari kakek Mas, walaupun Mas tidak butuh, apa yang Mas Firdaus tetap akan menolaknya?”
“Ya pasti menolaknya”
“Apa masnya nggak memikirkan perasaan kakek Mas?”.
Suasana yang mulanya seru menjadi hening seketika. Rokok yang usai diisap Aris pun perlahan memendek. Lantas ada seseorang menghampiri mereka, Irene, perempuan berambut ikal yang sedari tadi menyimak peraduan Aris dan Firdaus.
“Mas, mbok ya tenang dulu kalau bicara.. sampean sudah kayak orang nonton konser Burgerkill aja” kata Irene
Firdaus terkejut melihat perempuan yang ternyata adalah tetangganya sendiri. Ia pun merenung sejenak.
“Lantas bagaimana penginjak rumput yang tiap hari rumput itu menghasilkan suatu zat untuk kita bernapas?” Aris yang daritadi bersikap tenang, malah dibuat bungkam dengan pertanyaan Firdaus.
Sadar jika suasana menjadi hening maka Irene pun menanggapinya, “Mungkin jika rumput-rumput itu punya bahasa yang dimengerti manusia, mereka akan berteriak jika diinjak”
“Tapi kan rumput juga punya bahasa sendiri.”
“Menurutku bahasa tiap makhluk punya simbol atau gesture sendiri” jawab Irene.
Aris yang semula bungkam angkat bicara, “Maka dari itu dibutuhkan kepekaan dari manusia sendiri, agar kita bisa berinteraksi dengan makhluk yang tampak mati.”
Suasana pun semakin hening, yang membuat suasana warung semakin hening.