Peringatan Hari Buruh di Kota Malang (1/5), Aliansi Rakyat Malang Bersatu (ARMB) yang merupakan gabungan dari 29 organisasi melakukan aksi dan long march. Rute long march dimulai dari Pasar Besar hingga Balai Kota Malang. Abdul Rahman Sofyan, sebagai penanggungjawab aksi mengatakan bahwa Hari Buruh atau hari kelas pekerja sedunia, mau tidak mau harus diperingati untuk menyuarakan suara buruh.
Banyak aspek yang menjadi fokus dalam tuntutan mereka, mulai dari tuntutan untuk pengembalian hak-hak buruh yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak, hak-hak Mahasiswa Papua untuk bebas berpendapat dimanapun mereka berada, hingga hak-hak komuitas difabel baik dalam ranah pekerja maupun pendidikan.
Aksi diisi dengan serangkaian orasi yang dilakukan oleh perwakilan dari beberapa organisasi mahasiswa dan perwakilan buruh. Orasi yang disampaikan memuat berbagai tuntutan para buruh, petani, dan masyarakat miskin. Salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh Anjas Pramono, mahasiswa disabilitas asal Universitas Brawijaya. Ia berharap adanya disability awareness agar tidak ada lagi diskriminasi dan perampasan hak-hak masyarakat disabilitas.
Sementara itu, sebuah penampilan monolog teatrikal yang menjadi sebuah sindiran atas kasus diskriminasi yang seringkali menimpa mahasiswa Papua, dilakukan oleh Komunitas Linkar. Selain guna menggaungkan konsep kemerdekaan, juga sebagai sindiran bagi aparat kepolisian atas penutupan dan pengusiran yang terjadi di Café Linkar.
Tuntuan tak berhenti sampai di situ saja, tapi juga mengusut kembali kasus PHK massal dan sepihak yang dilakukan PT Freeport kepada karyawannya. Hal itu membuat para pekerja Freeport mendatangi Presiden Joko Widodo (13/2) untuk menyuarakan hak-haknya. Namun, hingga kini tuntutan tersebut tidak diindahkan. Maka dari itu, Rosa Christianingsih salah satu korban kasus PHK tersebut mengikuti gelaran aksi demi memperjuangkan haknya.
Dari banyak tuntutan, yang paling menonjol dan menjadi isu utama adalah pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015. Pada peraturan tersebut salah satu poin pentingnya adalah pengupahan buruh yang kenaikannya tidak lebih dari 12%. Agung Feri Widiatmoko, selaku koordinator lapangan dari aksi tersebut menyatkan bahwa PP tersebut merugikan buruh karena tidak sesuai dengan kondisi pasar yang dinamis.
Dari Aksi May Day 2019 ini, banyak sekali pengharapan buruh tentang keadilan yang seharusnya mereka dapatkan. Keadilan tersebut berupa upah yang layak, ketetapan hukum yang jelas, dan mengembalikan hak-hak buruh. Banyak juga kasus-kasus buruh yang hingga saat ini belum bisa terselesaikan.
“Presiden harus segera menyelesaikan (tuntutan), terutama pemerintah pusat yang segera menyelesaikan kasus-kasus yang ada di perburuhan, pengeksploitasi lingkungan, komersialisasi pendidikan dan lain-lain,” harap Agung. (fhr//rzk)