Diskusi Film Jalan Raya Pos: Kisah Orde Baru dari Kacamata Seorang Sastrawan

Pada Sabtu (1/2) dalam rangka memperingati 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, Paguyuban Literasi Malang bersama Komunitas Sabtu Membaca

Nailah/ Siar

Pada Sabtu (1/2) dalam rangka memperingati 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, Paguyuban Literasi Malang bersama Komunitas Sabtu Membaca mengadakan acara ‘Pameran Seabad Pram’. Acara ini diselenggarakan selama dua hari pada tanggal 1–2 Februari di salah satu kafe di Malang, yaitu Coffee Local, dengan mengangkat tema “Mengenalkan Karya & Sastra Lama Pramoedya Ananta Toer Pada Generasi Muda.” 

Pada hari pertama, acara tersebut menayangkan pemutaran film ‘Jalan Raya Pos’, yang berhasil menarik banyak pengunjung. Setelah itu, sesi diskusi mengenai film tersebut dilanjutkan dengan menghadirkan FX Domini BB Hera, dosen sejarah dari Universitas Ciputra, dan Mundi Rahayu, dosen sastra Inggris dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sebagai narasumber. Berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa dan komunitas sastra, turut meramaikan acara ini.

Film ‘Jalan Raya Pos’ merupakan film dokumenter yang ditulis sekaligus dinarasikan oleh Pramoedya Ananta Toer. Menurut keterangan Mundi, film ini merupakan cerita tentang esai Pramoedya yang berjudul ‘Jalan Raya Pos’. Sebuah Jalan Raya Pos yang sangat monumental dan menjadi jalan yang paling panjang serta bagus pada zamannya. 

Film ini menceritakan bagaimana kehidupan masyarakat di sepanjang Jalan Raya Daendels yang terjadi pada masa Orde Baru. Peristiwa-peristiwa di sepanjang jalan ini memiliki nilai sosial dan sejarah yang sangat jelas di era kolonial pada saat itu. Kehidupan Pramoedya sebagai seorang penulis yang pernah mengalami hambatan menulis, dibatasi dalam kebebasan bergerak, hingga menjadi tahanan politik juga dijelaskan dalam film tersebut.

Mundi Rahayu, dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selaku pembicara pada diskusi ini mengungkapkan bahwa film ‘Jalan Raya Pos’ merupakan film dokumenter yang menggabungkan antara kerja sastra dengan kerja sinematografi.

Film yang dirilis pada tahun 1996 ini tidak hanya bercerita tentang bagaimana keadaan Jalan Raya Pos, namun juga menyuguhkan potret kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru secara historis. Salah satunya, kehidupan Pramoedya sebagai seorang penulis yang memiliki tantangan sangat berat.

Hal tersebut dipertegas oleh Mundi, bahwa Pramoedya pada masa itu melihat karya sastra memiliki sebuah kekuatan yang sangat besar. Semua karya sastra pada masa Orde Baru tidak diberangus dan diharamkan. Apabila ada orang yang membaca atau mendiskusikan sebuah karya sastra, maka dianggap sebagai tindakan aksi.

Mundi juga menjelaskan bahwa karya sastra yang dapat dikatakan bagus adalah karya sastra yang mengandung persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat. Karya sastra seperti itu dapat memberikan kesadaran dan membuka pikiran para pembacanya.

“Kalau kita lihat berbagai karya sastra ini yang dianggap bagus adalah karya-karya sastra yang menangkap persoalan-persoalan yang secara mendasar dihadapi oleh masyarakatnya. Sehingga dengan demikian karya sastra itu jelas memberikan kesadaran, membuka mata, membuka pikiran dan cara pandang kita untuk melihat masalah,” jelasnya.

Selain mengilustrasikan cerita di masa lampau dari kehidupan seorang sastrawan, dibangunnya Jalan Raya Daendels ini berangkat dari urusan ekonomi pada masa itu. Daerah yang dilewati jalan ini juga merupakan wilayah perkebunan, salah satunya di Bogor dan Bandung.

Jalan raya ini dibangun untuk mempermudah mobilitas perdagangan sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi di masa itu. Hal tersebut diungkapkan oleh FX Domini BB Hera atau kerap disapa Sisko selaku pembicara kedua dalam diskusi ini.

“Jadi kenapa ke Bogor dan Bandung? Karena di sana banyak perkebunan, jadi jalan raya pos itu mampir karena juga urusan komoditi bukan hanya perang,” jelas Sisko.

Meskipun begitu peningkatan nilai ekonomi dari perkebunan yang sekarang berganti menjadi pabrik itu tidak berlangsung sampai saat ini. Menurut Sisko, hal ini dikarenakan buruh yang seharusnya meneruskan bisnis tersebut tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Buruh tidak boleh meneruskan usaha dari majikan sebelumnya, dan harus diserahkan pada pemerintah. Kemudian pemerintah akan menyerahkan pabrik-pabrik itu ke aparat keamanan yang bukan bidang bisnisnya. 

Di sisi lain, Mundi mengatakan bahwa alasan nilai ekonomi dari perkebunan yang mengalami penurunan disebabkan adanya krisis iklim secara global. Air laut di sekitaran pantai utara (Pantura) mengalami kenaikan sehingga sering menyebabkan banjir.

“Karena ada persoalan climate change ya, krisis iklim. Kenapa daerah Pantura itu sekarang pada banjir terus? Ya, karena air laut naik itu, secara global karena krisis iklim,” tandas Mundi.

Editor : Tian Martiani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA