Dalam rangka memperingati dua tahun tragedi Kanjuruhan, Aksi Kamisan Malang menggelar mimbar bebas pada Kamis (3/10) di Balai Kota Malang. Aksi tersebut dilakukan mengingat tragedi yang masih menyisakan duka mendalam, terlebih bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan belum juga terselesaikan.
Peringatan tragedi Kanjuruhan bertujuan untuk mengingatkan kembali para aparat negara agar menyelesaikan kasus yang belum menemukan titik keadilannya. Aksi tersebut digelar sebagai ruang untuk mengekspresikan kekesalan dan kekecewaan dari berbagai pihak.
Aksi tersebut diikuti oleh berbagai elemen masyarakat yang memiliki kenangan buruk tentang bagaimana aparat melakukan tindak kejahatan dengan dalih yang tidak masuk akal.
“Terjadinya tragedi Kanjuruhan ini karena dilakukan oleh aparat kepolisian. Suporter dituduh berbuat rusuh, sehingga aparat menjustifikasi harus menggunakan gas air mata,” ungkap Haura Anindya, kawan Kamisan Malang.
Padahal dalam melakukan penanggulangan huru-hara, aparat haruslah mempunyai prinsip legalitas, proporsional, dan adanya nesesitas. Legalitas artinya harus sesuai hukum, proporsional artinya sesuai dengan ancaman yang diterima saat itu, serta nesesitas yang berkaitan dengan perlu tidaknya tindakan itu dilakukan.
Pada kenyataannya ancaman pada saat peristiwa terjadi tersebut tidak perlu disikapi dengan gas air mata. justru disikapi dengan gas air mata. Namun, tindakan yang diambil aparat berlaku sebaliknya dan tidak sesuai dengan prinsip proporsional serta nesesitas.
“Padahal tidak ada keperluan urgent, ditambah lagi penembakannya diarahkan pada tribun bukan pada suporter yang turun. Hal itu sangat tidak perlu dilakukan sebenarnya,” ucap Haura.
Foto: Shofi/Siar
Terdapat sebuah ketimpangan relasi dalam tragedi Kanjuruhan. Ketimpangan antara niat aparat untuk mencegah kerusuhan justru menjadi pelaku atas kerusuhan itu. Bukan hanya aparat yang menjadi pelaku dalam tragedi ini, melainkan negara juga turut andil karena perlakuan abai yang dilakukan. Padahal, negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyat atas kerusuhan dan tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh aparatnya.
Bentuk penanggulangan aparat atas peristiwa tersebut dinilai tidak adil. Hal ini diungkapkan oleh Haura.
“Di situ suporter tidak membawa apa-apa, tangan kosong, tapi kenapa dilawannya harus dengan senjata. Disitulah kerusuhan terjadi karena gate 13 yang seharusnya dibuka itu justru ditutup. Belum lagi, aparat beralasan gas air mata mengenai korban karena angin, angin yang disalahkan,” ungkapnya.
Haura menyatakan bahwa dia belum puas dengan keadilan yang diberikan oleh negara, mengingat tragedi tersebut telah merenggut ratusan nyawa orang yang diantaranya adalah kepala keluarga, remaja produktif, dan anak yang menempuh pendidikan.
“Polisi telah merenggut mereka yang berperan penting dalam keluarga, sedangkan vonis yang diberikan pada pelaku tidak ada yang lebih dari 2,5 tahun,” lanjut Haura.
Foto: Shofi/Siar
Hal serupa juga diungkapkan oleh Nuri selaku keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Menurut Nuri, selama dua tahun keluarga korban tidak mendapat nafas keadilan sama sekali. Keadilan dibuat sebagai sandiwara untuk menutupi atau memuaskan segelintir golongan.
“Jadi cuman istilahnya drama pengadilan dan janji-janji saja. Jadi selama ini, kita orang tua korban hanya seolah menerima aja, tapi hati kita sakit dengan keputusan pengadilan tersebut,” tandas Nuri.
Penulis: Shofi NJ
Editor: Afifah Fitri