Demo Penolakan UU Cipta Kerja, Mahasiswa Hukum: Inkonstitusional dan Sangat Merugikan

Malang – Ratusan mahasiswa di Malang gelar aksi demonstrasi menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja di depan kantor DPRD

Foto: Nafiis (Siar)
Foto: Nafiis (Siar)

Malang – Ratusan mahasiswa di Malang gelar aksi demonstrasi menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja di depan kantor DPRD Kota Malang, Senin (3/4/22). Aksi demonstrasi yang diinisiasi oleh Aliansi Suara Rakyat (Asura) itu berlangsung sejak pukul 14:00 WIB. 

Aksi demonstrasi dilakukan terkait dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, pada 21 Maret 2023 lalu. Koordinator lapangan (Korlap) aksi, Dimas Aqil, menyatakan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja sangat merugikan masyarakat terutama kelompok buruh. Penolakan terhadap RUU Cipta Kerja pun disebabkan karena pengesahannya yang dinilai sangat dipaksakan.

“Di sini kami membawa terkait daripada ketidaksepakatan kita terhadap pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.” ujarnya. 

Dyah Kemala, salah satu peserta aksi mengatakan bahwa Perpu Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja sangat merugikan. Menurutnya, banyak kecacatan dari suatu payung hukum yang telah disahkan ini. Ia menyoroti soal proses pengesahan Perppu Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional karena tidak mengedepankan keterbukaan dan keterlibatan publik. 

“Dari sudut pandang substansi pun Undang-Undang Cipta Kerja ini sudah inkonstitusional, gitu loh. Dia memang banyak itu bukan hanya dari segi cacatnya formil dan materiil. Apabila dibedah peraturannya itu tidak sesuai dengan format perancangan undang-undang,” ucapnya. 

Sebelum disahkan menjadi Undang-undang, MK menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat sehingga MK memberikan waktu selama 2 tahun untuk memperbaiki poin-poin bermasalah dalam RUU tersebut. Kemudian, setahun pascaputusan MK, Presiden Joko Widodo kembali menerbitkan Perppu Cipta Kerja dan segera disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR RI. 

Selain proses yang dinilai inkonstitusional, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut juga menilai perihal perizinan Amdal yang cenderung memudahkan industri untuk memulai usaha. Dalam perizinan Amdal hanya diperlukan untuk industri dengan resiko tinggi. Sebagai gantinya, perusahaan hanya perlu memberikan pernyataan kesanggupan mengelola lingkungan hidup. Permasalahan ini berpotensi pada tumbuhnya industri-industri yang mengesampingkan dampak lingkungan. 

“Di sini, di Undang-Undang Cipta kerja itu Amdal dilemahkan. Dan sekarang diganti perizinan itu ya udah itu jadi dipermudah. Dan ini itu membuat celah kepada investor-investor yang punya uang itu memanfaatkan daya yang sumber ada di Indonesia,” jelasnya. 

Selain berdampak pada sektor lingkungan, ia juga menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja juga berdampak pada kesejahteraan pekerja terutama soal upah tenaga kerja. Dalam UU Cipta Kerja Pasal 88D disebutkan bahwa penentuan upah minimum dapat dihitung melalui variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu sehingga penentuan upah minimum dapat berubah sewaktu-waktu. Hal tersebut berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang mengatur UMP sesuai dengan kebutuhan layak hidup pekerja.  

Menurut Dyah, dibentuknya undang-undang seharusnya bukan hanya memberikan kepastian hukum semata. Akan tetapi, pembentukan undang-undang ini juga harus memberikan kemanfaatan dan perlindungan bagi masyarakat. Terlebih dalam pembentukannya yang tidak dilibatkan partisipasi masyarakat. 

“Jadi memang sebetulnya undang-undang ini itu cacat dan harus ada perbaikan, gitu loh.”

Dalam aksi tersebut, Ketua DPRD Kota Malang, I Made Riandiana Kartika, bersama 6 fraksi partai sempat turun menemui massa aksi. Pihaknya mengatakan bahwa menerima aspirasi dari massa aksi serta akan memberikan draft kajian pada fraksi di pusat. 

“Baik, kami menerima aspirasinya. Kami akan menindak lanjuti apa yang menjadi kewenangan kami. Tolong kami diberikan berkas-berkasnya supaya kami bisa meneruskan pada fraksi-fraksi kami di pusat.” ujarnya sebelum massa aksi membubarkan diri.  

Reporter: Trisna Nurdiana

Penulis: Delta Nishfu 

Editor: Nafiis Ridaaf Filasthin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA