Gelar agent of change (agen perubahan) sudah melekat pada diri mahasiswa, mereka diharapkan menjadi sosok yang dapat menginisiasi suatu perubahan. Perannya pun beragam. Di antaranya; membantu organisasi untuk mengubah cara kerja, pengelolaan, dan menginspirasi orang lain untuk mau berkembang. Dalam menghadapi hal tersebut, selain kegiatan belajar wajib yang dilakukan, terdapat beberapa langkah yang diambil mahasiswa sebagai jalan bantu menjadi agen perubahan. Misalnya bergabung dalam dunia organisasi, unit kegiatan untuk mengembangkan bakat, atau terjun langsung dalam masyarakat dan dunia kerja.
Semakin banyak kegiatan yang diterjuni, tak jarang tugas mahasiswa menjadi semakin bertumpuk dan menimbulkan gejala burnout. Burnout merupakan kondisi kelelahan baik fisik maupun emosional yang dapat menyebabkan berkembangnya konsep diri negatif, kurangnya konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk (Maslach & Schaufeli dalam (Schaufeli, 2008)). Jika dibiarkan, burnout dapat juga berpengaruh terhadap pencapaian prestasi pribadi mahasiswa. Berdasarkan paparan di atas, kami penasaran dan ingin mencari tahu bagaimana gejala burnout yang dialami mahasiswa? Dan jalan pintas apa yang dapat dipilih untuk meminimalisir gejala burnout?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sejak 25 Mei hingga 14 Juli 2022 Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar telah menyebarkan kuesioner terkait dengan fenomena burnout yang dialami mahasiswa. Hasil akhir, didapat sebanyak 114 responden yang merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Berikut infografisnya
Dari keseluruhan responden, 87.6% di antaranya telah mengetahui pengertian burnout secara umum. Akan tetapi, hanya 24.8% saja yang memiliki pemahaman tinggi mengenai fenomena tersebut. 57.5% lainnya berpemahaman cukup, dan sisanya kurang memahami fenomena burnout. Sebagian besar responden mendeskripsikan burnout sebagai kondisi lelah atau jenuh yang dialami secara fisik atau psikis akibat beban aktivitas atau rutinitas sehingga menimbulkan stres. “Burnout adalah suatu kondisi di mana individu mengalami kelelahan secara fisik, emosional serta mental karena stres yang berkepanjangan” tulis Reka* dalam menjawab kuesioner tim Litbang.
Secara pemahaman sering kali terdapat kekeliruan mengenai perbedaan burnout dengan stres biasa. Banyak yang mungkin berpendapat bahwa burnout sama halnya dengan stres. Yang pada intinya kedua hal tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap seseorang. Dalam artikel yang berjudul Mengenal Perbedaan Burnout dan Stres Kerja Biasa Ahmad Efendi menjelaskan perbedaan antara burnout dengan stres biasa. Stres, dapat memiliki intensitas yang beragam ketika dialami oleh seseorang. Beberapa orang dapat sangat tertekan dan beberapa lainnya memiliki stamina untuk mampu mengatasi tekanan yang dialami. Dengan ini, dapat dilihat bahwa selain pengaruh negatif, stres juga memiliki dimensi positif. Sehingga dengan stres yang dirasakan, dapat memaksa seseorang untuk lebih memprioritaskan tugas dan menanganinya.
Lain dengan Stres biasa, burnout merupakan kondisi di mana seseorang merasa stres atau tertekan dalam jangka waktu yang lama, tanpa mampu mengatasi keadaan yang dialami, kehilangan motivasi, merasa putus asa dan kehilangan gairah hidup. Puncaknya adalah saat seseorang mulai merasa mati rasa, hampa hingga depresi dan berdampak terhadap kesehatan fisik maupun mental.
Berdasarkan data yang didapat, sebagian besar mahasiswa yang mengalami fenomena burnout memiliki kesibukan lain di luar dunia perkuliahan. Kesibukan paling banyak yaitu kegiatan organisasi atau komunitas ekstra maupun intra kampus sebanyak (38.5%). Kemudian disusul dengan kesibukan UKM kampus dan bekerja atau wirausaha dengan masing-masing persentase 23.0% dan 25.5%. Hanya terdapat 1.2% (2 responden) yang tidak memiliki kesibukan selain kuliah. Sisanya, sibuk di kegiatan lain seperti Program Kampus Merdeka, pesantren, atau perlombaan. Beberapa responden bahkan memiliki dua/lebih kegiatan lain di luar perkuliahan.
Ditinjau dari besarnya persentase tersebut, kegiatan organisasi dan UKM kampus memiliki pengaruh paling besar. Mahasiswa yang bergabung dalam organisasi intra ataupun ekstra memiliki konsekuensi untuk terus belajar dan bersemangat dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab yang diberikan tanpa mengganggu kegiatan perkuliahan mereka. Begitu pula bagi mahasiswa pekerja paruh waktu. Meskipun mendapat upah atau gaji, bekerja dapat membuat mahasiswa merasa terganggu aktivitas perkuliahannya, mereka kadang mengorbankan salah satunya agar dapat mengatur waktu dan tenaga. Beban bertubi yang dirasakan oleh mahasiswa yang memiliki kesibukan lain tak jarang membuat beban terasa lebih banyak. Rasa cemas, malas dan acuh kemudian timbul dan menjadi burnout meningkat.
Tak akan ada asap jika tak ada api, peribahasa ini dapat dicerminkan pada fenomena burnout yang terjadi. Tak ada masalah jika tak ada penyebabnya. Burnout bagai suatu masalah yang tentu memiliki pemantik. Berbagai tugas yang diberikan saat kuliah dianggap sebagai hilal dari burnout oleh 60,9% responden. Sedangkan 26,5% responden juga merasa jika burnout cukup sering timbul ketika mereka melakukan kegiatan di luar perkuliahan. Misalnya organisasi atau UKM. Sisanya, sebanyak 12,6% merasa burnout ketika menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) atau ketika mengerjakan skripsi.
Sebagian besar responden menyimpulkan bahwa dirinya mengalami burnout dilihat dari beberapa hal. 20,4% responden menjadi sering menunda mengerjakan tugas dan mudah bosan, 19,6% responden merasa memiliki motivasi yang rendah, sulit berkonsentrasi serta timbulnya rasa cemas juga merupakan gejala burnout bagi 18,7% responden. 16,9% responden mengalami stres dan sakit fisik (pusing, nyeri), 13,2% lainnya merasa kemampuan akademiknya semakin berkurang. Sementara beberapa yang lain juga mulai kekurangan rasa percaya diri dan khawatir terhadap masa depan mereka.
Dari keseluruhan responden, tidur digunakan oleh 46,5% responden sebagai solusi permasalahan ketika gejala burnout mulai muncul. Beristirahat sejenak dengan harapan pikiran lebih rileks setelah membuka mata. Selain itu, burnout juga dapat diminimalisir dengan melakukan hal-hal yang menjadi kegemaran. 26,8% responden mengatasinya dengan melakukan hobi, sedangkan 16,9% responden lainnya meredakan burnout dengan menghabiskan waktu dengan teman atau keluarga. Dan juga memberi penghargaan terhadap diri sendiri juga menjadi salah satu cara mengatasi burnout, hal tersebut diterapkan oleh 9,8% responden.
Menurut Ahmad Dahlan dalam artikelnya yang berjudul “Analisis Kecukupan Tidur, Kualitas Tidur dan Olahraga dalam Memulihkan Kelelahan Akut dan Kronis pada Pekerja Migas-X”, pemulihan kelelahan dapat digunakan sebagai sarana untuk menghindari dampak buruk kelelahan. Pemulihan ini dipengaruhi oleh faktor kecukupan tidur dan kualitas tidur. Tekanan dan stres yang dirasakan dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur, sehingga faktor pemulihan kelelahan menjadi tidak tercapai. Jadi, tidur yang cukup dan kualitas tidur yang baik efektif untuk mengatasi gejala burnout.
Selain hal di atas, berbincang dengan orang sekitar, menyalurkan hobi, serta self reward (memberi penghargaan pada diri sendiri) juga bisa jadi efektif untuk mengatasi burnout. Mengobrol membuat seseorang merasa bahwa mereka mendapatkan dukungan sosial, di mana hal ini dapat menjadi sumber daya yang memberi efek positif untuk mengurangi burnout. Penyaluran hobi dan self reward dapat membuat seseorang mendapatkan kepuasan dalam pikiran, menikmati waktu untuk diri sendiri serta berehat sejenak dari banyaknya aktivitas yang memberi tekanan.
Dengan solusi penanganan burnout yang disebutkan di atas, sebanyak 41,6% responden merasa jika solusi mereka terapkan sudah efektif untuk mengatasi burnout yang dialami. Selain itu, 27,4% responden merasa jika solusi yang dilakukan sudah cukup efektif. Kabar baik diutarakan oleh 30,1% responden yang merasa jika solusi burnout yang dilakukan sudah sangat efektif, dan sayangnya sebanyak 0,9% responden merasa tidak terbantu dengan hal-hal yang telah dilakukan dalam rangka mengatasi burnout secara mandiri.
Berdasarkan keefektifan solusi burnout yang dirasakan, 7,1% responden yang memutuskan untuk pergi ke pusat pelayanan konseling dalam rangka penanganan burnout. Mereka merasa jika perlu berbagi perasaan (masalah yang dihadapi) dengan pihak yang memang ahli dalam bidangnya. Sehingga, besar anggapan akan mendapat solusi tepat untuk mengatasi burnout yang dialami. Sedangkan, 92,9% responden lainnya memilih untuk mengatasi burnout sendiri dan tidak pernah mengunjungi pusat pelayanan konseling. Alasan yang dilayangkan beragam. Gejala burnout yang masih kecil, mereka lebih mengenal diri mereka sendiri, pun masalah biaya psikiater juga menjadi alasan responden memilih mengatasi gejala burnout yang mereka alami secara mandiri “karena biasanya pusat layanan konseling berbayar” singkat Kate*.
Pelayanan konseling merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi burnout. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Maya Dwiayuningtyas “Mengapa Konseling Sangat Penting?” Konseling merupakan keahlian dalam profesi untuk menangani masalah emosi, sosial, bakat minat, pendidikan, kesehatan, perkembangan dan juga organisasi. Layanan konseling dapat membantu seseorang untuk menghadapi situasi kehidupan yang sulit. Konseling memberi sarana serta wawasan untuk mengelola masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, sehingga konseling tentu sangat berguna untuk meredam burnout. Hal tersebut sebab konseling dapat membuat seseorang mengatakan pikirannya, membagi beban dan kebenaran dengan orang lain (konselor). Konseling juga membuat seseorang dapat memilah milah emosi dan menemukan penjelasan mengenai masalah yang dihadapi serta mendapat jawaban dan menemukan kesembuhan. Konseling akan bekerja paling efektif jika seseorang memiliki keinginan kuat untuk berubah.
Di antara banyaknya responden yang belum pernah mendapat pelayanan konseling, terdapat 54,3% responden yang memiliki keinginan untuk menyambangi pihak konselor. Entah sekadar pemeriksaan kesehatan mental, pendalaman gejala burnout, atau bertanya penyelesaian tepat masalah burnout yang tengah dihadapi. Davi* menerangkan “karena saya merasa perlu mendapat layanan tersebut untuk mengatasi dan mendapat solusi terkait dengan burnout saya” tulisnya
Dengan demikian, dapat ditarik satu garis pernyataan bahwa burnout banyak dialami oleh mahasiswa dengan beragam pemicu. Burnout dapat terjadi berkaitan pekerjaan yang berinteraksi dengan faktor dari dalam diri seseorang. Jika dibiarkan, tingkat burnout yang tinggi dapat membuat seseorang mudah menyerah terhadap sesuatu yang dikerjakan. Hal tersebut dapat berdampak negatif, baik untuk pribadinya sendiri ataupun untuk organisasi (yang diikuti), sehingga burnout membutuhkan solusi dan penanganan yang tepat.
Penulis: Risma Dewi
Penyunting: Diana Yunita Sari
(*) bukan nama sebenarnya
Sumber dan referensi:
https://tirto.id/mengenal-perbedaan-burnout-dengan-stres-kerja-biasa-fTE7
https://news.unair.ac.id/2022/01/31/kenali-ciri-burnout-dan-tips-mengatasinya/?lang=id
Dahlan, Ahmad dan Baiduri Widanarko. 2022. Analisis Kecukupan Tidur, Kualitas Tidur dan Olahraga dalam Memulihkan Kelelahan Akut dan Kronis pada Pekerja Migas-X. Vol. 6 No. 1.
Yanuar, Alifandi. 2016. Kelelahan Emosi (Emotional Exhaustion) pada Mahasiswa yang Bekerja Paruh Waktu. Universitas Negeri Semarang
Maharani, Agustia Diah. 2018. Peran Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik dalam Memediasi Pengaruh Burnout terhadap Kinerja Anggota Organisasi. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.