Malang, 4 November — Lembaga Pers Mahasiswa SIAR UKMP Universitas Negeri Malang (UM) mengadakan diskusi bertajuk “Diskusi Nusantara (Dinar): Membedah Perspektif Feminis dari Buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu” di Kedai Rupa Duta pada Senin (4/11). Diskusi yang dilakukan di Kedai Rupa Duta ini mendapat antusiasme tinggi dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa dan komunitas sastra.
Dinar kali ini membahas tentang kumpulan cerpen Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu karya Sasti Gotama. Karya ini menjadi sorotan karena membahas isu feminisme, kekerasan seksual, dan kesehatan mental dengan pendekatan naratif yang kuat. Pembicara pada diskusi ini adalah penulis kumpulan cerpen tersebut, Sasti Gotama yang merupakan lulusan Fakultas Kedokteran UB.
Dikenal dengan cerpen-cerpennya yang kreatif dan kerap melampaui batasan konvensi penceritaan, Sasti tidak terhindarkan dari kritik. Ia sempat menerima sejumlah kritik dari para pembacanya, seperti penilaian bahwa jalan cerita cerpennya terasa monoton. Namun, Sasti justru menjadikan kritik tersebut sebagai dorongan untuk mengeksplorasi gaya baru. Dalam kumpulan cerpen terbarunya, Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu, Sasti menekankan aspek psikologis dan kearifan lokal yang lebih kuat.
“Andalan saya kan psikologis ya, dan juga saya mengambil cerita-cerita dari lokalitas yang menggunakan dialek wilayah tersebut, jadi memang (buku ini) berkesan buatku sebagai eksplorasi dan alhamdulillah pembaca menyambutnya dengan baik,” ungkap Sasti.
Dalam aspek kepenulisan, Sasti mengungkapkan bahwa setiap karakter dalam bukunya dibangun dengan proses wawancara imajiner, memungkinkan tokoh-tokohnya tampil multidimensional dan manusiawi melalui pendekatan psikologis.
“Aku ingin menampilkan karakter yang abu-abu dan mendekatkan sisi kepribadiannya,” ungkap Sasti.
Dalam diskusi tersebut, Sasti juga mengungkapkan sudut pandangnya tentang feminisme. Walaupun banyak pembacanya yang melabelinya sebagai feminis, Sasti mengaku bahwa ia lebih suka jika tulisan-tulisannya dikategorikan sebagai tulisan yang humanis.
“Jadi berpihak pada manusia itu sendiri, karena sebetulnya dituntut oleh perempuan itu bukan untuk mengungguli laki-laki, atau mengalahkan laki-laki, tetapi bagaimana sebetulnya perempuan ini dianggap sebagai manusia. Sebenarnya, mencapai impian itu kan sebetulnya hak setiap manusia. Setiap manusia juga berhak untuk mendapatkan impian yang benar,” jelas Sasti.
Sasti juga menjelaskan bahwa feminisme bukan tentang memberi kekuatan super pada perempuan, melainkan tentang membangun kesetaraan dan memperjuangkan hak-hak wanita sebagai manusia.
“Feminisme bukan sebuah gerakan superpowering wanita, namun bagaimana membangun kesetaraan,” ungkap Sasti.
Sasti menambahkan bahwa kumpulan cerpen ini menyampaikan pesan tersebut dengan pendekatan psikologis dan humanis, beberapa cerpen menggunakan human sebagai perumpamaan karena lebih mudah dimetaforakan.
Melalui karyanya, Sasti berupaya membangkitkan kesadaran dan empati di kalangan pembaca, menjadikan sastra sebagai medium yang kuat untuk menyuarakan perubahan sosial.
Penulis: M. Fahmi Alfarizi
Editor: Talita