Minim Sosialisasi, Sistem Pembayaran Non-Tunai (Cashless) di Seluruh Kantin UM Tuai Berbagai Reaksi

(Malang – Siar) Kebijakan baru terkait sistem pembayaran non-tunai (cashless) di seluruh kantin kampus Universitas Negeri Malang (UM)

Dokumentasi/LPM Siar

(Malang – Siar) Kebijakan baru terkait sistem pembayaran non-tunai (cashless) di seluruh kantin kampus Universitas Negeri Malang (UM) mulai diterapkan sejak hari pertama semester genap, Senin (29/1). Tidak dapat dimungkiri, penerapan kebijakan tersebut menuai reaksi dari pihak mahasiswa maupun pihak penjual di kantin. 

Dalam surat edaran yang disebarkan sehari sebelum masuk pekan perkuliahan disebutkan bahwa kebijakan penerapan sistem pembayaran cashless merupakan suatu bentuk transformasi digital dan peningkatan layanan kantin. 

Baca juga: Kebijakan Jam Buka Pintu Masuk/Keluar Kampus, Batasi Kebutuhan Mahasiswa

Menurut Wakil Rektor II bidang Perencanaan, Sumber Daya, dan Usaha, Puji Handayati, penerapan kebijakan ini merupakan implementasi dari visi misi rektor. Penerapan sistem pembayaran cashless lebih unggul dari sisi kesehatan karena meminimalisasi kontak fisik serta dapat mengakrabkan penyewa kantin dengan financial technology (fintech).

“Kita ketahui bersama bahwa visi dan misi Pak Rektor itu kan menjadikan kampus ini  kampus yang sehat dan mencerdaskan, nah kita ketahui sendiri uang itu kan barang yang sebenarnya kotor ketika beredar dari satu tangan ke tangan lainnya,” ujar Wakil Rektor II. 

Kebijakan ini menuai sejumlah reaksi dari para penyewa kantin dan mahasiswa. Terkait pelaksanaannya yang mendadak, penyewa kantin menyayangkan hal tersebut karena beberapa mahasiswa belum terbiasa untuk menggunakan uang elektronik dalam bertransaksi di kantin. 

“Seharusnya kalau kebijakan diambil saat liburan, mahasiswa diberikan space untuk menerapkan di kehidupan sehari-hari. Misal dilakukan sosialisasi seminggu, mungkin akan lebih baik. Jika seperti ini mahasiswa gelagapan, kami juga gelagapan dalam bertindak,” ungkap salah satu penyewa kantin yang kami temui.  

Meski sudah memasuki era digital, namun tak sedikit mahasiswa yang lebih suka dengan pembayaran konvensional atau bahkan tidak memiliki uang elektronik. 

Seperti halnya Emailda, mahasiswa program studi (prodi) PGPAUD yang memaparkan bahwa tidak semua mahasiswa memiliki uang elektronik sehingga lebih memilih mencari makan di luar kampus yang bisa dibayar secara tunai.

“Kalau menurut saya enak secara konvensional, ya. Soalnya selain tidak memerlukan jaringan internet, pembayaran secara konvensional lebih bisa diterima semua kalangan,” ungkap Emailda.

Mahasiswa lain juga memberikan respons terkait penerapan kebijakan ini. Diva Dwi, asal prodi PG Paud mengaku sistem cashless lebih mudah dibandingkan dengan pembayaran tunai. Akan tetapi, ia merasa keberatan tentang adanya biaya admin. 

“Beberapa tempat untuk pembayaran melalui dompet digital sering menyertakan biaya admin yang tergolong besar untuk pembayaran yang tidak terlalu banyak,” ungkap Diva. 

Wakil Rektor II memberikan tanggapan terkait bagaimana mahasiswa yang tidak memiliki e-money untuk melakukan transaksi. 

“Nggak bisa, ini juga untuk untuk memelekkan mahasiswa. Sekarang download itu tinggal semenit aja udah jadi, tidak ada mahasiswa yang tidak pegang handphone sekarang,” jelas Wakil Rektor II.

Dalam pelaksanaannya pihak kampus menerapkan sistem bagi hasil dengan mekanisme 15% untuk pihak kampus dan 85% untuk pihak penjual kantin dari penghasilan per item penjualan. Pihak penyewa kantin dapat mengambil uang pendapatan perhari yang telah terpotong pada sore hari.  

Dengan adanya kebijakan baru ini penjual kantin merasa terbebani karena potongan bagi hasil 15% tersebut. 

“Dari (yang) dulu sewa kita memang turun drastis, tapi yang memberatkan kita 15%, kalau dihitung-hitung setahunnya kita 60 (juta) lebih,” ujar salah satu penyewa kantin. 

Wakil Rektor II mengungkapkan kebijakan ini dirasa lebih adil bagi penyewa kantin, karena menyesuaikan penjualan per item penjualan mereka.

 “Ketika ini (biaya yang harus dibayar di awal) diturunkan menjadi 3,6 juta, (hitungannya) hanya 300 ribu untuk listrik air, berikutnya adalah bagi hasil. Bagi hasilnya itu ketika dia penjualannya ramai bagi hasilnya tinggi, tetapi kalau penjualannya sedikit dia tentunya bagi hasilnya juga sedikit,” ujar Puji.

Puji juga memaparkan terkait permasalahan keuntungan yang bisa diambil oleh pihak penyewa kantin, bahwasannya apabila merasa keberatan dan dirugikan dengan kebijakan ini, boleh saja memutus kontrak dengan UM.

“Jadi saya sudah ngomong kepada para penjual kantin, kalau merasa dirugikan, merasa tidak nyaman dengan sistem ini, tidak usah tanda tangan kontrak, yang mau masuk UM untuk jualan sudah ada 50 orang yang mendaftar,” ungkap Puji.

Salah satu penjual di kantin menyampaikan bahwa terdapat sanksi yang harus diterima jika tidak mengindahkan kebijakan ini. 

“Katanya kalau tidak patuh bisa dicabut izin,” ungkap penyewa kantin. 

Hal tersebut dibenarkan oleh Wakil Rektor II, bahwasannya jika ada yang masih memberlakukan sistem cash maka akan dilakukan putus kontrak.

“Sesuai Perjanjian, jika ada tenant yang masih menggunakan cash sesuai dengan kontrak yang sudah ditandatangani maka ia langsung diputus kontraknya,” jelas Puji.

Dengan adanya kebijakan ini Puji berharap agar warga UM melek terhadap teknologi dan ingin membangun kampus ini berdasarkan good corporate governance tata kelola kampus yang benar.

“Yang pertama berharap agar semua warga UM melek teknologi karena semua elemen masyarakat bangsa ini sudah ada dalam era digital, ya mau tidak mau kita hidup sudah di era itu. Kemudian yg kedua, kita ingin membangun kampus ini berdasarkan good corporate governance tata kelola kampus yg benar, dengan mencoba transparansi itu melalui kita ga menerima lagi yang tunai, semuanya sudah ter-record gitu lo,” pungkas Puji.

Menurut Emailda pemberlakuan kebijakan ini lebih baik dilakukan secara bertahap dengan tidak secara tiba-tiba memberlakukan pembayaran dengan Qris di semua kantin kampus. 

“Mungkin bisa dimulai sekitar Gedung kuliah Bersama (GKB) dulu sembari melakukan sosialisasi kepada mahasiswa. Nanti seiring berjalannya waktu di mana mahasiswa mulai terbiasa dengan kebijakan ini pemberlakuan pembayaran (dengan) Qris bisa mulai menjamah kantin-kantin fakultas,” tandas Emailda.

Dari sisi lain salah satu penyewa kantin hanya dapat menyampaikan harapan, “Semoga reaksi ini didengar sama orang atasan,” di akhir wawancara.

Reporter: Farid Wahyu, Rinda Dyah

Penulis: Rinda Dyah

Editor: Afifah Fitri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA