Pameran Seabad Pram: Meneruskan Kembali Warisan Sastra untuk Generasi Muda

“Bangsa yang tidak berani mengkritik dirinya sendiri tidak akan pernah bisa berkembang.” – Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Syafaatul Huda/ Siar

“Bangsa yang tidak berani mengkritik dirinya sendiri tidak akan pernah bisa berkembang.” – Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Paguyuban Literasi Malang dan Sabtu Membaca menggelar Pameran Seabad Pram pada tanggal 1 Februari – 2 Februari 2025 di Cafe Local Kelurahan Merjosari Kota Malang, dengan mengusung tema “Mengenalkan Karya dan Sastra Lama Pramoedya Ananta Toer pada Generasi Muda”.

Acara ini bertujuan menghidupkan kembali pemikiran sang Sastrawan Perjuangan, serta mewariskan karya-karyanya yang humanis dan penuh makna kepada generasi muda.

Acara yang berlangsung selama 2 hari ini diisi dengan beragam kegiatan seperti pameran, pentas, serta diskusi yang menghadirkan pembicara yang sangat dekat dengan Pram yaitu Soesilo Toer yang merupakan adik kandung Pram. 

Ajmal Fajar Sidik selaku ketua pelaksana, mengungkapkan bahwa sebelum terselenggaranya acara ini Sabtu Membaca telah menjalankan close reading  (pembacaan mendalam) selama lima kali pertemuan membahas karya Pram. Hasil dari close reading itu menimbulkan pertanyaan mengenai karya Pram yang tidak lagi dekat dengan kalangan muda dan tidak banyak pembacanya, sehingga tercetus tema mengenalkan karya dan sastra lama Pramoedya Ananta Toer kepada generasi muda.

“Ketika aku ngobrol sama orang (umur) dibawahku itu mereka selalu bilang (kalau) capek baca sejarah. Dari stigma-stigma itu akhirnya keluarlah tema mengenalkan sastra Pram kepada anak muda,” ungkap Ajmal.

Tantangan Dalam Mengenalkan Karya Pram

Hari atau akrab disapa Cak Pendek menemukan beberapa tantangan dalam mengenalkan karya Pram pada anak muda. Pendiri Sabtu Membaca ini menyebut beberapa tantangan seperti bahasa yang rumit dan harga buku yang mahal.

Muhidin contohnya, pelajar yang kini masih duduk di bangku SMA itu awalnya kesulitan memahami Karya Pram karena menurutnya bahasa dalam karya Pram yang dinilai cukup rumit. Namun, setelah  tekun menghadiri sesi ‘close reading Membaca Pram’ yang diadakan oleh Sabtu Membaca, akhirnya Muhidin mampu memahami karya-karya Pram.

“Sebelumnya itu Muhidin yang sebelumnya itu ada keterbatasan dengan bahasa yang digunakan oleh Pram di dalam karyanya. Lama-kelamaan akhirnya dia mengerti,” ujar Cak Pendek.

Tantangan besar lainnya adalah kelangkaan buku-buku sastra Pram serta harga yang tidak bersahabat bagi kantong pelajar dan mahasiswa. Faktor ini membuat sulitnya memperkenalkan karya Pram kepada generasi muda.

“Pertama bukunya langka, yang kedua bukunya mahal. Bahkan hari ini pun ketika buku Tetralogi itu diterbitkan kembali, itu harganya sampai 700-an untuk Pre Order” tutur Cak Pendek.

Semangat Dalam Mewariskan Karya Pram

Menyuguhkan rangkaian acara selama dua hari penyelenggaraan, pameran Seabad Pram dihadiri oleh berbagai kalangan. Kurang-lebih sebanyak seratus audiens dari semua usia mendatangi acara ini, salah satunya Titik Qomariyah. Ia mengaku mengajak anak-anaknya untuk mengenal Pram dengan mereka mulai membaca karya-karyanya.

“Saya berharap dari ikut acara seperti ini, mereka akan membaca buku-buku Pram yang ada di rumah,” ungkap Titik.

Selain itu ada Abdul Khodir, mahasiswa Departeman Sastra Indonesia UM itu  juga menghadiri acara ini, ia mengaku sudah membaca beberapa karya Pram. Abdul menyatakan bahwa Tetralogi Pulau Buru adalah karya Pram yang paling berkesan baginya. Menurutnya, buku itu menyuguhkan tema humanisme dan menceritakan nilai-nilai kemanusiaan melalui tokoh Minke yang memperjuangkan penindasan dan ketidakadilan melawan kolonialisme.

“Dia membawakan tema humanisme dan narasi humanisme itu tak terpatahkan,” ucap Abdul.

Terakhir, Cak Pendek berpesan kepada generasi muda yang belum mengenal Pram dan baru memulai membaca karya Pram. Ia merekomendasikan Tetralogi Pulau Buru sebagai bacaan awal agar memahami visi kebangsaan Pram. dengan membaca buku tersebut pembaca bisa mengenal sejarah Indonesia melalui pergerakan tokoh Minke menghadapi ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda.

“Jadi untuk generasi muda itu minimal baca Tetralogi Pulau Buru untuk mengenal kembali Pram,” ungkap Cak Pendek.

Lebih jauh, ia berharap acara ini bisa memicu lahirnya komunitas atau perkumpulan pembaca karya Pram di kota Malang. Dengan adanya komunitas, nama Pram dan karyanya dapat terus dikenang dan diperbincangkan oleh penggemar karya Pram.

“Harapan kita ada komunitas baru khususnya di Malang. Agar nama Pram ini dikenal,” tandas Cak Pendek.

Editor: Moch Fahmi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA