8 September 2024 6:37 AM
Search

Dilema Perempuan Suku Laut: Permasalahan Masyarakat Adat yang Tak Berkesudahan

Suku Laut masih tidak terlihat, jarang orang mengeksplorasi pengalaman-pengalaman yang dialami oleh suku Laut, terutama pengalaman marjinalnya.
Gambar: Pinterest
Gambar: Pinterest

Dilema perempuan adat masih menjadi permasalahan masyarakat adat yang tak berkesudahan. Meskipun secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan juga mendapatkan permasalahan, tetapi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih terlihat jelas.

Salah satunya yang terjadi pada suku Laut. Dalam penelitian etnografi Firstdha Harin Regia, Dosen Antropologi Universitas Brawijaya, ia menemukan fakta bahwa suku Laut merupakan masyarakat terpencil dengan angka korban diskriminasi cukup tinggi. Fakta ini membuat suku Laut semakin tertutup karena minder kepada orang luar. Bahkan tak jarang suara mereka diabaikan oleh pemangku kebijakan setempat.

“Suku Laut masih tidak terlihat, jarang orang mengeksplorasi pengalaman-pengalaman yang dialami oleh suku Laut, terutama pengalaman marjinalnya. Tidak terlihat pula bahwasannya marginalisasi kaum perempuan lebih tinggi daripada laki-laki yang ada di sana,” ungkap Firstdha.

Firstdha mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki suku Laut sama-sama memiliki peran penting. Namun, seringkali perempuan mengemban tugas ganda.

“Pada saat mencari ikan menggunakan sampan, laki-laki bertugas menombak ikan sedangkan perempuan mendayung semalaman. Belum lagi, setelah pulang mencari ikan, perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik dan juga menjual ikan hasil melaut ke pasar, sedangkan yang laki-laki setelah melaut bisa langsung beristirahat,” ucap Firstdha.

Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan suku Laut masih sangat terlihat. Hal tersebut lebih banyak dialami oleh perempuan, karena perempuan menjual ikan, berbelanja, sedangkan laki-laki hanya berperan mencari ikan. Itulah yang membedakan pengalaman diskriminatif yang dialami antara laki-laki dan perempuan suku Laut.

Firstdha mengatakan adanya ejekan yang didapat suku Laut dari orang luar (suku Laut menyebutnya orang darat). Ejekan tersebut seperti sudah menjadi pengalaman sehari-hari bagi suku Laut. Namun, hal tersebut yang menjadikan mereka menjadi minder dan tidak terbuka terhadap orang luar.

“Ejekan seperti suku laut bau, suku laut hitam, suku laut bodoh, dan sebagainya yang menyebabkan mereka menjadi minder. Bahkan ada yang sampek bilang, ‘jangan dekat suku laut nanti kamu ikutan bau, hitam, bodoh, dan lain-lainnya,” ucap Fristdha.

“Belum lagi yang dialami oleh anak-anak sekolah yang juga berpeluang mendapatkan perlakuan diskriminatif, seperti ejekan yang pada akhirnya itu berdampak pada putus sekolah,” lanjutnya.

Fristdha mengatakan, mendapat suara perempuan adat itu tidak mudah. Banyak perempuan yang tidak dipandang sebagai pemangku kepentingan dalam aktivitas dan komunitas.

“Sebenarnya relasinya cenderung seimbang. Tidak patriarki, tapi praktik disiplin tubuh kurang dilibatkan, misal saat rembug desa, hak suara perempuan masih kurang. Yang banyak dilibatkan laki-laki. Pada akhirnya jatuhnya keluhan perempuan isinya,” lanjut Fristdha.

Perempuan lebih merasa rendah diri dan malu, yang tak lain karena perlakuan marginal yang didapat itu. Fristdha mengatakan, sebenarnya mereka (perempuan suku Laut), tetapi tidak percaya diri untuk menyuguhkan apa yang mereka punya. Bahkan keinginan untuk marah dan melawan itu lebih rendah dibanding rasa minder itu. 

“Misalnya ketika kita (orang darat) bertamu, mereka bukannya tidak welcome, tetapi mereka lebih ke malu karena judgement bahwa suku laut bau, suku laut hitam itu tadi. Sampai pernah mereka merasa bahwa suguhan mereka itu tidak pantas untuk orang luar. ‘Emang mau minum suguhan kopi dari suku laut? Orang melayu kan jijik sama suku laut’ begitu kata mereka,” ungkap Fristdha.

Permasalahan Masyarakat Adat Harus diselesaikan Bersama

Berbicara mengenai masyarakat adat, Wahyu Eka Setiawan selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur  (Jatim), peran masyarakat adat di Jawa Timur cukup terbatas, hanya di beberapa tempat saja, seperti di Suku Tengger.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat biasanya pada aturan dan kekuasaan. Hal itu biasanya dijadikan dalih. Belum lagi adanya intimidasi dalam perebutan kekuasaan wilayah itu.

“Masyarakat adat menguasai bukan memiliki. Kalau masyarakat modern memiliki. Masyarakat adat diusir dan dipaksa mencari mata pencaharian lain,” ungkap Wahyu.

Suku Tengger pada masa pemerintahan Orde Baru dipaksa untuk menanam kentang sebagai sumber pangan. Hal ini adalah dampak dari gerakan revolusi hijau yang digaungkan saat masa pemerintahan Orde Baru sehingga masyarakat adat Suku Tengger mulai bergantung pada pertanian kentang daripada alam muasal mereka.

Wahyu mengatakan, seperti halnya dengan penggerusan lahan untuk kepentingan wisata alam. Masyarakat adat tak pernah dipandang sebagai pemilik, tetapi sebatas warga negara yang harus taat peraturan.

Masyarakat adat kerap kali mendapat dampak dari kebijakan sepihak untuk kepentingan negara seperti pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang membuat banyak penduduk adat dilembagakan dan terpaksa terpaut pada peraturan-peraturan tak bertanggung jawab. Undang-undang ini menguraikan berbagai aspek terkait pemerintahan desa. Peraturan hukum tersebut mengatur tentang organisasi, tugas, wewenang, dan tata cara pelaksanaan pemerintahan di tingkat desa di Indonesia. 

Wahyu mengatakan, pengembalian rekognisi lokal diperlukan di sini. Hal itu dikarenakan ketika dijadikan komoditas, dapat menggerus adat dan menghilangkan kesakralanya. 

“Karena bisa saja menjual apapun dan tidak menghargai kesakralannya,” ucap Wahyu.

Permasalahan adat ini harus diselesaikan bersama-sama, bukan hanya tanggung jawab pegiat karena merupakan permasalahan sosial. Salah satu hal yang paling penting dilakukan adalah pendidikan. Pendidikan publik bisa dilakukan dengan menulis, diskusi, advokasi kebijakan.

“Solusi yang dapat digaungkan untuk mendesak masalah ini salah satunya dengan cara menulis, terutama di media sosial. Tak hanya menulis, diskusi juga menjadi jalan lebar untuk menyebarkan kabar ini. Dari semua hal itu ujung-ujungnya adalah Pendidikan,” ucap Miri Pariyas, Pegiat Angkat Suara.

Permasalahan gender dalam masyarakat adat selalu terkubur dibawah permasalahan utama masyarakat adat. Padahal, tidak dapat dipungkiri permasalahan gender juga salah satu permasalahan substansial.

“Sayangnya peran media dalam memberitakan Masyarakat adat, sedikit yang berfokus pada paradigma kesetaraan dan keadilan gender,” ungkap Miri.

Pegiat Sindikat Aksata, Qatrunada Hamparan Melati mengatakan mengenai pendapat seorang Feminis Nigeria bernama Chimamanda Ngozi Adichie yang berpendapat bahwa narasi tunggal itu berbahaya karena timbul dari stereotip. 

“Melihat sesuatu tidak secara beragam adalah dasar dari pembangunan-pembangunan yang egois,” tandasnya.

Baca juga: Audiensi Terbuka, Menyikapi Disparitas UKT di Kampus Pendidikan: Tarif UKT Akan Kembali ke 2023 

Penulis: Rahma Nova Aulia

Editor: Shofi NJ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA