Di bawah teriknya matahari, langkah kaki takhenti melangkah menyusuri pemukiman di Kelurahan Sumbersari. Siapa sangka, di tengah padatnya pemukiman penduduk, masih ada sumber air yang terus mengalir di sana. Sumber air itu berada di mushola An-Nuur yang beralamat di RT 02/ RW 02, Kelurahan Sumbersari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Air adalah sumber kehidupan, manusia tidak bisa dipisahkan dari air. Itu berarti air juga bagian dari manusia. Kepedulian terhadap sumber air sama halnya dengan peduli pada diri sendiri.
Seperti di sumber air yang berada di mushola An-Nuur RT 02 Kelurahan Sumbersari, ada dua bak tampungan berukuran 2 x 1,5 × 2 m³ di dekat kamar mandi mushola yang airnya takpernah habis. Agung Budi, Ketua RT 02/RW 02 Kelurahan Sumbersari mengatakan bahwa air mengalir langsung dari sumbernya, jernih dan tidak bau.
“Air yang di bak (tampungan) itu ya air tanah yang keluar dari sumbernya itu. Air tanah itu resapan dari tempat-tempat lainnya. Cuman masuk ke aliran situ,” ungkap Agung Budi.
Sumber air itu digunakan untuk kebutuhan air di mushola An-Nuur, seperti berwudu, keperluan kamar mandi, dan kadangkala juga untuk mencuci. Bahkan air dari pipa bisa diminum karena mengalir langsung dari sumber, masih segar dan belum terkontaminasi bakteri koli.
Penamaan Sumbersari (Pilang)
Perjalanan mengulik sumber air di Sumbersari taksampai di situ saja. Membutuhkan effort lebih untuk mengulik sumber air yang masih jarang dibahas dan diketahui, bahkan beberapa warga yang sempat ditanya mengaku tidak terlalu paham perihal sumber air itu.
Tak ada penamaan paten untuk sumber air itu. Namun, ada sedikit cerita dari Agung Budi. Ia mengatakan penamaan sumber ini ada karena berada di wilayah RT 02/RW 02 Kelurahan Sumbersari yang dulunya disebut Sumbersari Pilang. Dulu air dari sumber itu alirannya besar dan melimpah, karena itulah dinamakan Sumbersari.
“Nama sumber, nggak ada namanya sebenarnya. Ya Sumbersari itu, Sumbersari Pilang. Karena sumbernya di wilayah RT 02 Kelurahan Sumbersari yang disebutnya pilang, makanya dinamakan Sumbersari Pilang,” tutur Budi.
Dulunya, wilayah Kelurahan Sumbersari dibagi menjadi dua wilayah. Perempatan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ke arah Barat bernama Tawangsari, karena dekat dengan Ketawanggede. Sementara itu, sebelah Timur disebut Sumbersari Pilang.
“Sumbersari Timur sebutannya Sumbersari Pilang. Sebetulnya pun wilayah Pillang ini sebutan di RT 02 aja,” ucap Budi.
Penamaan Pilang itu pun mempunyai cerita tersendiri. Budi mulai menceritakan awal mula adanya nama Pilang. Sebelum itu, ia menggarisbawahi bahwa cerita ini ia dapatkan juga berdasarkan cerita yang ia dengar. Budi menceritakan bahwa sekitar tahun 70-an, sumber ini masih besar dan dalam, tekstur tanahnya gembur berlumpur seperti di sawah. Ada sapi yang hilang di sana sehingga dinamakan sapi ilang (sapi hilang). Sapi itu diceritakan hilang amblas ke bawah, ke dalam sumber itu.
“Dulunya sumber itu dalam, kayak pasir hisap, semakin dalam semakin ambles. Ada salah satu orang yang menggarap sawah dengan sapi, tapi sapinya hilang, makanya dinamakan sapi ilang,” tutur Budi.
Sumber Air Dulu, Kini dan Keberlangsungannya
Berbeda dengan dulu, kini sebagian sumber air sudah ditutup. Hal itu karena tempat sebagian sumber bukan berada di wilayah Kelurahan Sumbersari, melainkan masuk wilayah Kelurahan Ketawanggede.
“Tinggal yang di mushola An-Nuur itu. Sebagian sudah diuruk (ditutup),” tutur Sholikin, warga Kelurahan Sumbersari.
Pada awalnya pada tahun 70-an aliran airnya digunakan pula untuk buang hajat sehingga sangat kotor, sementara bagaimanapun air harus tetap ada. Warga menilai perlu adanya aksi menjaga keberadaan serta kesehatan sumber. Akhirnya, berangkat dari inisiatif warga sekitar RT 02 Kelurahan Sumbersari, dibuatlah jalan diatas aliran tersebut dan dibangunlah mushola An-Nuur. Air dialirkan ke bak kontrol kecil yang ada di mushola tersebut.
“Awalnya digunakan untuk mandi, mencuci, parahnya lagi di aliran air sungai itu dibuat buang hajat, makanya kotor banget di tahun 70-an sekian itu kotor banget. Akhirnya inisiatif warga supaya ndak dibuat buang hajat lagi, di bikinlah jalan,” ungkap Budi.
Tercatat pada tahun 1952 ada sekolah bernama Sekolah Hukum dan Djaksa (SHD). Kemudian berubah nama menjadi Sekolah Pembantu Panitera Negara (SPPN) pada tahun 1958. Tahun 1967 kembali terjadi perubahan nama pada sekolah ini menjadi Sekolah Pekerjaan Sosial Atas (SPSA). Tahun 1975 nama SPSA kemudian berubah menjadi Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS). Dan pada tahun 1995 barulah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Malang yang sekarang menjadi SMKN 2 Malang.
Budi tampak berpikir keras mengingat kapan tepatnya sumber air itu ditutup. Seingat Budi, sumber air ditutup sebagian saat sebelum berubah menjadi SMKN 2 Malang.
“Tahun ditutupnya sebagian sumber itu sekitar 20 tahunan yang lalu. Pas SMPS, sebelum jadi nama SMK,” ucap Budi.
Warga Kelurahan Sumbersari tidak memiliki kepemilikan lahan karena sebagian wilayah sumber yang ditutup adalah milik wilayah Kelurahan Ketawanggede. Warga Sumbersari tidak berhak untuk campur tangan terkait hal itu.
“Sekolahan (SMKN 2 Malang) itu ikut Ketawanggede, sumber yang ditutup juga ikut Ketawanggede sehingga warga Sumbersari tidak berhak atas sumber itu. Jadi tersisa yang di mushola An-Nur itu,” ungkap Sholikin.
Hal itu menjadi salah satu penyebab air berkurang dari sebelum ditutup. Air menjadi tidak bebas mengalir karena sudah ditutup. Selain itu, Budi memprediksi adanya arteri di Universitas Brawijaya (UB) juga menjadikan debit air di Kelurahan Sumbersari berkurang.
“Bisa jadi juga karena airnya ndak bebas karena sudah ditutup yang di SMKN 2 itu. Termasuk yang di UB itu kan arteri, tanpa dipompa sudah naik sendiri. Dari bawah tanah itu karena sudah kena di air tanahnya,” ucap Budi.
Budi mengungkapkan, pengambilan air untuk sumur warga juga terpengaruh. Dulunya, enam sampai tujuh meter airnya sudah tinggi, bahkan yang dekat sumber hanya tiga sampai empat meter saja, sementara sekarang sumur warga sudah mencapai kedalaman 10-12 meter.
“Kalo dulu sumur 6-8 meter airnya sudah tinggi, kalo yang di bawah malah 3-4 meter airnya sudah tinggi. Kalo sekarang rata-rata sudah 10-12 meter,” ungkap Budi.
Tak ada harapan khusus baik dari Budi maupun Sholikin. Sholikin mengatakan agar sumbernya tetap terus ada dan warga sekitar Kelurahan Sumbersari tidak pernah kekurangan air.
“Kedepannya saya nggak tahu, ‘kan saya sudah tua. Ya mudah-mudahan terus ada sumbere, tidak sampai kekurangan, yang masih ada itu tidak ditutup,” tandas Sholikin.
Budi turut menuturkan agar tidak ada sumur arteri lagi di sekitar Kelurahan Sumbersari sehingga kebutuhan warga tidak kekurangan. Hal itu dirasa sangat menguras sumber-sumber sekitar Kelurahan Sumbersari.
“Kalo bisa ndak usah ada sumur arteri lagi. Kan sudah berkurang setelah ditutupnya sumber, kalau ditambah diambil untuk sumur arteri bakal berkurang lagi nantinya. Makanya Sumbersari sudah ndak sumber-sari lagi sebenarnya. Karena sumbernya sudah berkurang. Kalau dulu dinamakan sumbersari karena airnya melimpah, ndak pernah kering,” tandas Budi.
Penulis: Shofi NJ
Editor: Tian Martiani