“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” – Mohammad Hatta.
Pada Selasa malam (15/10), kawasan Selasar D17 Fakultas Sastra UM dipenuhi oleh sekelompok mahasiswa dan pegiat literasi. Kedatangan mereka diundang oleh pamflet acara diskusi yang tersebar sehari sebelumnya. Di bawah lampu area gedung D17, Fakultas Sastra UM yang gelap itu, mereka berkumpul sambil berbagi pikiran dan cerita. beberapa dari mereka bahkan baru saling mengenal setelah bercengkrama di tempat ini. Tepat pukul tujuh malam forum diskusi dimulai. Forum diskusi semacam ini adalah salah satu kegiatan Area Baca Selasa yang sering diadakan untuk membahas isu-isu terkini yang sedang ramai dibicarakan, mulai dari isu yang sering terjadi di dalam kampus sampai isu luar seperti isu politik.
Ketika diskusi berakhir, aku menghampiri Wijaya, salah satu pelopor Area Baca Selasa, untuk melaksanakan janji wawancara yang telah kami buat sore tadi. Ketika wawancara, mahasiswa berambut gondrong itu menceritakan awal mula keterlibatannya dalam mendirikan lapak ini.
“Sebelum kuliah aku sudah kenal dengan teman-teman yang sudah kuliah (yang aktif dalam kegiatan literasi), jadi pas masuk kuliah semester pertama Maba itu langsung diajakin bikin lapak gitu,” jelas Wijaya.
Area Baca Selasa atau disingkat ABS lahir pada hari Selasa tanggal 13 September 2022. Lapak buku ini dibuat bukan hanya sekadar tempat membaca, tetapi juga menjadi ruang interaksi dan diskusi secara langsung di tengah dominasi era digital. Terlahir dengan latar belakang beberapa mahasiswa yang waktu itu sedang banyak waktu kosong, mereka merespons minimnya perpustakaan jalanan di Kota Malang. Sampai akhirnya Area Baca Selasa hadir sebagai oase bagi para pecinta buku dan pemikir muda.
Selama 2 tahun berjalan, Area Baca Selasa sering berpindah-pindah tempat. Tidak hanya di lingkungan kampus, Area Baca Selasa juga pernah melapak di beberapa tempat di luar kampus seperti di Jalan Ijen dan Kayutangan.
“Kami sempat [mengetes] ke beberapa tempat untuk melihat ramai tidaknya [respons] di tempat tersebut. Akhirnya, untuk sekarang kami di [fakultas] sastra karena anak-anak juga kebanyakan di sini,” kata Wijaya.
Dengan kesederhanaannya, Area Baca Selasa mampu mencuri hati para pengunjung. Di sini mereka biasa membaca buku dengan beralaskan tikar merah ala yasinan atau bahkan lesehan di paving dengan ditemani segelas kopi atau nutrisari yang dijual dengan harga seikhlasnya, sesuai kemampuan pembeli. Buku-buku yang tersedia di sini pun tidak hadir dalam bingkai pengorbanan kocek para pelopornya. Kebanyakan buku berasal dari sumbangan teman-teman komunitas, meskipun mereka tak secara resmi membuka donasi. “Ada beberapa buku yang bahkan masih terbungkus plastik (karena baru),” kata Wijaya sambil tersenyum.
Wijaya juga menjelaskan bahwa mereka tidak membatasi jenis buku yang diterima. “Semuanya masuk, kecuali buku propaganda negara,” katanya sambil bercanda, ia tertawa ringan.
Foto: Irhash/Siar
Foto: Irhash/Siar
Meskipun saat ini digitalisasi buku, misalnya e-book, sudah menjadi hal yang lumrah dan membuat buku cetak sedikit tergeser, Wijaya malah melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif.
“E-book itu kan mempermudah kita sebagai generasi muda untuk semakin mudah mengakses buku,” tegas Wijaya. Dia berpendapat bahwa keberadaan digitalisasi tidak akan mengurangi filosofi lapak baca ini.
“Lapak buku kaya gini sebenernya ga ada yang ngaruh, soalnya terbentuknya Area Baca Selasa ini juga buat tempat ngobrol dan diskusi. Jadi, meskipun nggak baca buku, tapi ramai, menurut saya pribadi itu positif,” tambahnya.
Foto: Irhash/Siar
Area Baca Selasa juga tidak menutup diri dari digitalisasi. Mereka memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memudahkan mereka dalam bersuara.
“Dengan Perkembangan teknologi, kita semakin mudah mengabari kalau Area Baca ada kegiatan, juga dengan kampanye-kampanye yang kita suarakan karena Area Baca sendiri kan tidak lepas dari isu-isu sosial politik di sekitar. Jadi, dengan berkembangnya teknologi kita malah senang kalau kita bisa lebih luas untuk menyuarakan sesuatu,” jelas Wijaya.
Media sosial, seperti Instagram dan Twitter, menjadi platform efektif untuk menjangkau mahasiswa. “Itu [media sosial] paling mudah dijangkau oleh generasi muda dan mahasiswa,” tambah Wijaya.
Area Baca Selasa juga pernah menerbitkan majalah kecil (zine) yang ditulis oleh kawan-kawan Area Baca Selasa sendiri, lalu dibagikan dalam bentuk cetak dan digital.
Ketika ditanya mengenai dukungan dari pihak kampus, Wijaya mengaku sejauh ini belum ada bantuan langsung. Meski begitu, Area Baca Selasa terus berupaya mencari peluang agar mereka bisa dibawa di kegiatan kampus resmi seperti UKM atau pameran agar menarik atensi yang lebih luas. Salah satu tantangan lain yang mereka hadapi adalah gangguan dari pihak luar ketika acara mereka mengangkat isu-isu sosial politik yang sensitif.
Ke depan, Area Baca Selasa berharap bisa terus berkembang sebagai ruang literasi dan interaksi di era digital. “Ruang diskusi yang nyaman itu penting. Kami ingin terus menciptakan tempat di mana mahasiswa bisa belajar, berdiskusi, dan ruang obrolan yang nyaman bagi teman-teman,” ujar Wijaya.
Bagi Wijaya dan komunitasnya, literasi adalah sesuatu yang harus dijaga, dan mereka percaya bahwa membaca adalah kunci. Pesannya kepada mahasiswa lain sederhana, “Baca aja buku apa pun, meskipun nggak ngerti, tetap baca.”
Di bawah naungan atap terbuka selasar D17, sekelompok mahasiswa terus berdiskusi bahkan setelah diskusi utama selesai. Ini adalah bukti bahwa semangat literasi dan diskusi kritis di kampus belum padam—bahkan di tengah godaan layar ponsel.
Penulis: Moch Fahmi Alfarizi
Editor: Afifah Fitri