Peringatan hari musik telah berlalu, tetapi pembicaraan tentang musik tidak mungkin hanyut bersama 09 Maret. Berdasarkan penafsiran beberapa orang, musik adalah segala hal yang berbunyi. Maka artinya musik ada di mana-mana. Di rumah, di kafe, di sekolah, di dalam lambung, bahkan di denyut nadi. Tak terkecuali di institusi macam Universitas Negeri Malang (UM), salah satunya adalah sebuah band bernama Saharsa.
Beberapa orang mungkin sudah pernah mendengarnya, beberapa lagi baru pertama kali, dan sebagian yang lain boleh jadi sudah akrab dengan nama band ini. Impresi soal Saharsa, tak boleh absen dari bank pengetahuan kita bahwa band yang sedang bertumbuh itu ada dan dekat.
Saharsa: Sebelum, Selama, dan Setelah Menetas
Di suatu sore, beberapa personel Saharsa berhasil ditemui di salah satu kafe daerah Mojolangu. Langit terlihat mendung pekat dan udara terasa pengap. Namun, ketakutan akan hujan dan tersendatnya percakapan hilang oleh kegembiraan yang terpancar dari personel band Saharsa ketika mereka mulai bersuara.
Dalam bahasa Sansekerta, saharsa berarti bergembira. Kemudian kami menanyakan soal nama ini kepada Rama, si gitaris.
“Ya bener (dari bahasa Sansekerta). Dulu itu ada beberapa nama pas mau ngebentuk band kan namanya belum ketemu. Per anak punya usulan sendiri-sendiri, artinya bergembira. Nah anak-anak banyak yang milih itu,” ungkap Rama.
Rama pun mengaku mengusulkan beberapa nama, antara lain MXK, sedangkan Rahman, si basis, mengusulkan nama Narsistik yang ketika itu disebut oleh Rama dengan tawa kecil. Kurang lebih ada lima sampai enam nama yang diusulkan. Namun, hasil voting tidak berpihak pada nama yang diusulkan Rama. Hingga akhirnya nama Saharsa lah yang berhasil menempati posisi pertama sebagai nama band.
Sebelum berada di bawah nama Saharsa, Rama dan kawan-kawan masih tampil sebagai bagian dari Laisos, yaitu divisi musik dari kelompok kesenian Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Malang (UM). Kelompok kesenian tersebut bernama Subversif.
“Pas 2022 itu Fisteria, kita masih pakai nama Laisos,” kata Rama setelah mengingat-ingat kronologi soal nama. Fisteria adalah festival atau konser musik yang diadakan oleh BEM FIS UM tiap tahun.
Setelah rampung dari Fisteria, mereka mulai beraktivitas dengan nama Saharsa. “Setelah itu baru kita bentuk, kalau nggak salah November sampai Desember itu kami main ada dua kali kita pakai nama Saharsa,” lanjut Rama.
Mereka mulai tampil sebagai Saharsa pada dua event yang salah satunya ada di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UM. Secara resmi, berdasarkan keterangan pada postingan Instagram pertama akun @saharsaofficial, Saharsa terbentuk pada tanggal 8 Juli 2023.
Seperti kebanyakan band yang mengalami pergantian personel, baik orang maupun jumlahnya, Saharsa pun tak luput dari itu. Berdasarkan penjelasan Rama, awalnya Saharsa terdiri dari 6 anggota. Kemudian seiring berjalannya waktu, tepatnya ketika mereka sedang dalam proses produksi single pertama, terdapat perubahan anggota.
“Dulu awalnya anggotanya ada enam. Terus seiring bertambahnya waktu ada masuk lagi dua, terus keluar satu. Sekarang tinggal tujuh,” terang gitaris yang punya nama panggilan Raju itu.
Tujuh sosok yang menjadi tubuh Saharsa, di antara Nasal, Sindy, dan Selvi sebagai vokalis, Rama dan Satrio sebagai gitaris, Rahman sebagai basis, dan Deansyah pada keyboard. Posisi drummer untuk sementara belum terisi. Meski begitu, Saharsa memiliki dua alternatif pengisi posisi drummer yang sifatnya fleksibel. Mereka memiliki opsi dua pemain drum yang salah satu bisa dimintai bantuan untuk mengisi posisi drummer, menyesuaikan jadwal dua pemain tersebut.
Selain dinamika pada jumlah tubuh, Saharsa juga mengalami pergolakan tentang genre musik. Ini bermula dari seringnya muncul ketidakcocokan saat memilih lagu pada setlist.
“Dulu pas awal banget itu kami bingung, sering ga cocok. Kalau kita mau main sering nggak cocok di list lagu,” tutur Rama.
Terdapat dua kemungkinan terbesar ketika sebuah perdebatan terjadi, perpecahan yang fatal atau rekonsiliasi yang damai. Pada Saharsa, ketidakcocokan soal setlist lagu bermuara pada pemilihan lagu yang mempertimbangkan preferensi para personelnya. Musik milik salah satu band paling populer di Indonesia. Meski begitu, para personel Saharsa masih memiliki preferensi musik yang sama yaitu Dewa.
“Awal-awal dulu memang Dewa, ya. Dewa itu salah satu yang mempengaruhi musik Saharsa,” kata Rama yang ketika itu kopi pesanannya baru saja datang.
Akan tetapi, bukan serta merta mereka menjadikan Dewa atau Dewa 19 sebagai kiblat bermusik. Saharsa tidak berkutat di satu genre musik, tetapi cenderung kepada genre alternatif.
“Kami lebih condong di genre alternatif. Alternative rock, alternative pop, pokoknya alternative,” ungkap Rama.
Berteman baik dengan ketidakcocokan adalah hal yang membuat Saharsa bertumbuh. Setelah sebelumnya menghasilkan setlist lagu, ketidakcocokan itu juga yang menjadi latar belakang lahirnya single pertama mereka. Akhirnya, pada tanggal 1 September 2023, Saharsa berhasil menelurkan sebuah single berjudul Jurang Asmara.
Yang Pertama, Jurang Asmara
Ketika percakapan bergulir ke topik tentang single pertama, minuman di gelas kami masih belum habis. Masih ada beberapa mili lagi yang bisa dinikmati sembari mendengar cerita dari Saharsa tentang single pertama mereka.
Jurang Asmara adalah anak sulung Saharsa. Sebagai yang pertama, lagu ini memberi berbagai pengalaman dan pelajaran bagi para personel, seperti anak pertama bagi orang tuanya.
Single ini merupakan buah dari pandemi yang melanda dunia empat tahun lalu. Pada rentang waktu tersebut, Rama yang saat itu belum memiliki band mencoba menuangkan skill bermusiknya untuk membuat lagu.
“Awalnya lagu itu terbentuk tahun 2021 kalau nggak 2020 pokoknya pas Covid-19. Tahu n 2021 kalau nggak salah. Masih terbentuk bagian reff-nya aja, belum utuh,” ungkap mahasiswa program studi HKn angkatan ’20 tersebut.
Sempat ditinggal lama, akhirnya potongan aransemen lagu itu kembali disentuh setelah Saharsa terbentuk. Pada awal tahun 2023, mayoritas personel Saharsa sudah menginjak semester 6 dan harus mengikuti program magang dan Asistensi Mengajar (AM). Di tengah-tengah aktivitas tersebut, Rama sebagai biang utama dari single pertama ini memanfaatkan waktunya.
“Magang itu waktu saya (pakai) buat nulis-nulis lagi, mikir musiknya, mikir liriknya, menyempurnakan lagu. Nah, di sela-sela magang itu kan membosankan. Apalagi kami jurusan guru, duduk di tempat piket itu gak enak,” ungkap Rama.
Nasal, salah satu vokalis Saharsa yang kami wawancarai juga menjelaskan proses pembuatan lagu itu. “Kita manfaatkan waktu kosong. Untung beberapa sekolah itu masih ada yang full day. Jadi kita manfaatkan waktu luang (di akhir pekan),” ungkap Nasal yang ketika itu baru selesai dari shift kerja paruh waktunya.
Rama menceritakan bagaimana lirik dan musik single pertama Saharsa dapat selesai di tengah-tengah magang. “Liriknya itu selesai di kamarnya dia (Nasal) di kos Pandaan. Kalau musiknya dari saya semua, kecuali bassist,” ujar Rama sambil merujuk Nasal yang duduk di sampingnya.
Berdasarkan penuturan Rama, awalnya seluruh anggota Saharsa berasal dari FIS. Namun, di tengah waktu proses rekaman, ada tambahan satu personil dari FIK yang memegang instrumen keyboard.
“Waktu record Jurang Asmara ini kami merasa kayaknya butuh tambahan keyboard. Pas itu gara-gara record Jurang Asmara kami ada temen dari FIK, punya keyboard, jadi kami ajak join ke Saharsa, dan dia mau,” cerita Rama.
Setelah melalui proses panjang selama kurang lebih empat bulan, akhirnya single Jurang Asmara rilis secara resmi dan dapat didengarkan di Spotify, Youtube, dan Apple Music.
Rama juga menyampaikan tahun ini, Saharsa sedang sibuk mengerjakan mini album. Langkah ini diambil tidak hanya untuk memberikan adik bagi Jurang Asmara atas nama produktivitas. Lebih daripada itu, mini album yang masih dalam tahap produksi ini diharapkan menjadi semacam legacy, terutama bagi anggota yang sebentar lagi akan menyelesaikan kuliah.
“Makannya sebisa mungkin sebelum lulus kita kejar waktu tadi, biar kita bisa rilis, siapa tahu bisa berhasil,” kata Rama saat membahas mini album yang kini dalam tahap pengerjaan.
Berdasarkan penuturan Rama, mini album ini akan memuat sejumlah lagu dengan genre yang berbeda. Tiap lagu memiliki kekuatannya sendiri.
Ekosistem untuk Bertumbuh
Lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan suatu hal, tak terkecuali sebuah band. Pada kasus Saharsa, tren musik di lingkungan UM punya peran penting dalam membentuk musik Saharsa. Ketika Saharsa mulai dibentuk, mereka ingin mencoba genre di luar tren di UM yang saat itu diisi oleh genre dangdut, pop, hardcore, dan sebagainya.
“Kami mencoba melawan arus,” kata Rama.
Pahatan yang diberikan tren musik di UM memberikan relief yang indah bagi Saharsa. Namun, ketika berbicara tentang ruang promosi, personel Saharsa sendiri dulu belum menemukan tempat yang memungkinkan di lingkup UM. “Kenapa nggak (promosi) ke UM? (Karena) kita nggak pernah lihat contoh band-band UM dipromosikan oleh radio UM. Makannya kami ke luar dulu aja,” jelas Rama. Oleh karena itu, pada beberapa kesempatan mereka melakukan promosi di tempat lain, seperti Radio UMM FM Malang dan Radio Simfoni FM Malang.
Baca juga: Timbul Tenggelam bersama Balonku Ada Lima
Klise nan Perlu: Harapan
Ketika melontarkan pertanyaan ini, kami sudah mewanti-wanti kesan klise yang akan diberikan para personel Saharsa. Akan tetapi, betapa pun harapan adalah kewajiban bagi segala hal yang akan menghadapi masa depan.
Tentang harapan, Nasal punya misi spesifik. “Kalau dari saya ingin Saharsa itu bisa mengembalikan momen di mana band itu lebih besar dari solois,” ungkapnya.
Rahman yang datang paling akhir pada percakapan sore itu berharap agar Saharsa konsisten menelurkan karya. “Yang penting itu terus berkarya,” katanya. Ia juga menambahkan agar Saharsa tidak perlu memikirkan soal pasar karena ia yakin suatu saat karya itu akan menemukan masanya sendiri.
“Harapan Saharsa ke depan, yang jelas kami Saharsa bisa menuangkan kreativitas kami, dan kreativitas kami bisa bernilai baik itu materi maupun non materi dan kreativitas kami itu bisa membuka atau menggugah semangat-semangat para musisi di luar sana untuk terus berkarya. Dan di lagu-lagu kami ada misi tertentu agar visi misi tertentu itu bisa sampai ke pendengar,” harap Rama dengan serius.
“Dan kalau secara islami semoga Saharsa bisa bermanfaat fiddunya wal akhiroh,” pungkas Rama dengan jenaka.
Baca juga: Rampogan Macan: Tradisi Perayaan hari Raya Idulfitri Zaman Dulu
Penulis: Afifah Fitri
Editor: Tian Martiani