Hampir sebagian besar aktivitas kampus para sivitas akademika Universitas Negeri Malang (UM) selama seminggu menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Salah satu upaya untuk menjaga kestabilan lingkungan agar mencapai suhu udara yang normal, mengurangi tingkat polusi, meredakan kemacetan, serta meningkatkan kesehatan dan fungsi sosial adalah dengan kebijakan Car Free Day (CFD).
UM turut memberlakukan kebijakan CFD setiap hari Jumat mulai pukul 06.00-14.30 WIB. Kebijakan ini sesuai dengan Surat Edaran Nomor 13.6.60/UN32.II/TU/2023 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Kampus UM, bahwa sebagian besar jalan raya di UM ditutup sementara untuk kendaraan bermotor dan diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Kebijakan CFD UM juga merupakan salah salah satu upaya mewujudkan Green Campus (program kampus ramah lingkungan, salah satu upayanya dengan mengefisiensi energi rendah emisi dan perbaikan lingkungan). Program UM Green Campus diawali dengan keikutsertaan dalam pemeringkatan UI Green Metric (pemeringkatan tahunan universitas yang ditentukan oleh seberapa baik kinerja mereka dalam pelestarian lingkungan) pada tahun 2016. Program ini telah berjalan sejak 2010 yang diinisiasi oleh Universitas Indonesia (UI), kemudian sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mulai menerapkan praktik berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kebijakan CFD UM memang mendatangkan dampak yang baik. Namun, dampak yang kurang baik dirasakan beberapa pihak, salah satunya mahasiswa penyandang disabilitas.
Menurut Retno Anjani selaku Ketua Gerakan Mahasiswa Peduli Inklusi (Gempita), mahasiswa penyandang disabilitas seperti tunanetra sebetulnya bisa berjalan sendiri menggunakan tongkat atau berjalan mandiri ke lokasi tujuan.
Namun, Retno juga menambahkan bahwa untuk mahasiswa tunadaksa atau tunanetra yang tidak bebas dalam Orientasi Mobilitas, pasti merasa kesulitan. Apalagi bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan pendampingan bersamaan dengan situasi mendesak.
“Contohnya saja terlambat mengikuti kelas. Mereka akan mengalami kesulitan karena harus diberhentikan di palang,” ungkap Retno.
Hafid, salah satu mahasiswa disabilitas dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Luar Biasa, turut memberikan pendapat terkait kebijakan CFD UM. Beberapa perspektif turut dirasakan mahasiswa penyandang disabilitas, pun dengan tingkat kesulitan yang berbeda.
“Ada mahasiswa disabilitas yang nggak terlalu dirugikan banget itu biasanya mahasiswa tunanetra atau tunarungu yang di dekat kampus. Maksudnya kosan dekat kampus jadi bisa jalan. Ada juga yang harus naik ojek online, atau teman-teman (tuna)daksa yang harus memakai kendaraan untuk mobilitas, tentu saja sangat mengganggu, sih. Karena teman-teman yang pakai ojek online itu kan harus muter dulu,” ungkap Hafid.
Merespons kebijakan CFD UM yang berdampak bagi mahasiswa penyandang disabilitas, Sumarmi, selaku ketua UM Green Campus mengungkapkan bahwa kebijakan CFD UM sebenarnya belum cukup dalam mengatasi suhu yang tinggi di kampus. Hal ini dipicu lantaran pada pemberlakuan CFD kendaraan roda dua dan roda empat masih bisa bergerak di kawasan tertentu sekitar UM.
“Memang dilema yah Mas, memang kalau kita ngomong kebijakan seperti itu. Makanya kemarin kita mengambil satu hari saja di dalam satu minggu dengan harapan ada poin-poin yang mungkin bisa didapatkan, kan bukan tiap hari penjadwalannya,” ungkap Dosen Departemen Geografi tersebut.
Dhava salah satu mahasiswa disabilitas dari Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah mengatakan pendapatnya agar kebijakan CFD dipindahkan pada hari lain, bukan hari Jum’at.
“CFD harusnya dipindah hari. Karena di hari Jumat, mahasiswa sangat memerlukan kendaraan untuk beribadah. Terutama bagi penyandang disabilitas tunadaksa koyo aku ngene (seperti saya ini),” tutur Dhava.
Ketua Prodi S2 Pendidikan Khusus Luar Biasa, Ahsan Romadlon Junaedi turut memberikan pendapatnya atas dampak kebijakan CFD UM bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Menurutnya tidak ada masalah untuk kebijakan CFD UM. Justru yang perlu dipermasalahkan adalah perihal aksesibilitas, simbol-simbol dan tanda yang kurang mendukung serta membantu penyandang disabilitas.
“Jadi CFD-nya itu sendiri nggak ada masalah. Hanya saja memang, masalahnya sebenarnya bukan hanya CFD, tetapi kalau kaitannya dengan disabilitas tunanetra, itu adalah tentang aksesibilitas, simbol dan tanda-tanda di fasilitas umum. Misalnya dia harus berjalan dari pintu masuk Jalan Surabaya ke Jalan Semarang, itu nggak ada masalah. Justru yang mesti disediakan adalah tanda-tanda yang dapat dideteksi dengan baik oleh tunanetra yang biasanya pakai tongkat,” ungkap Ahsan.
Kebijakan CFD di UM harus lebih diperhatikan lagi dari berbagai aspek, baik lingkungan dan mahasiswa penyandang disabilitas agar mendapat solusi bersama sehingga CFD UM dapat terus dijalankan.
Salah satu solusi yang diungkapkan Sumarmi yakni perlu adanya pendataan jadwal dan tentu aspirasi yang disampaikan menjadi masukan untuk bisa dibawa ke forum rapat.
Selain itu, Ahsan juga turut memberikan sarannya terkait kebijakan CFD UM. Menurutnya, kebijakan CFD UM bisa menjadi salah satu cara menumbuhkan kesadaran etika untuk berinteraksi dengan para penyandang disabilitas. Lantaran ketika hari aktif, jalanan di kampus sangat ramai dilalui oleh kendaraan. Tidak adanya simbol yang khusus untuk tempat penyeberangan bagi penyandang disabilitas, membuat seluruh lini masyarakat kampus harus lebih memahami kenyamanan dan keamanan jalan.
“Ini jalan kalau tidak CFD kan mahasiswa lumayan itu lalu lalangnya. Apakah semua sivitas akademika baik dosen, tendik, ataukah mahasiswa punya etika bagaimana memberi kesempatan orang yang menyebrang? Apalagi yang disabilitas, misalnya dia sudah mengacungkan tongkatnya begitu ya. Sivitas ini tidak paham etikanya, karena memang mereka tidak paham dan tidak ada tanda penyeberangan khusus di mana titik harus menyebrang. Nah idealnya memang kampus ini menjadi tempat untuk menumbuhkan kesadaran seperti itu,” pungkas Ahsan.
Penulis: Galuh, Ines, Faatih, Dinda, Amarilis
Editor: Sukma