Bridgerton Bukan Sekadar Serial Dewasa

Bridgerton merupakan drama serial Netflix yang digarap oleh Chris van Dusen dan Shonda Rhimes. Serial ini diadaptasi dari

Bridgerton
foto: netflix

Bridgerton merupakan drama serial Netflix yang digarap oleh Chris van Dusen dan Shonda Rhimes. Serial ini diadaptasi dari novel karya Julia Quinn, penulis roman sejarah yang terkenal di Amerika. Novel-novel garapan Julia Quinn bahkan berkali-kali masuk ke daftar buku terlaris versi New York Times.

Bridgerton tayang di Netflix sejak 25 Desember lalu dan telah merampungkan musim pertamanya yang terdiri dari delapan episode. Pihak produksi mengungkapkan, serial ini akan digarap hingga delapan musim. Musim keduanya sendiri dikabarkan akan tayang pada April 2021 dengan fokus pemeran utama yang berbeda.

Woman’s life is war”, mungkin ini adalah salah satu ungkapan yang tepat untuk mewakili Bridgerton. Berlatar waktu di era Regency London’s Ton yang kompetitif, drama romansa sejarah ini mampu menarik perhatian banyak orang berkat cerita, karakter, kostum, hingga musik latarnya.

Bridgerton bercerita tentang perjodohan yang terjadi di kalangan bangsawan Inggris pada tahun 1800-an. Saat itu, kehidupan wanita dikekang oleh persepsi masyarakat. Wanita harus menikah di usia belia dengan pria mapan yang bisa menjamin kehidupannya hingga tua. Tuntutan dari masyarakat untuk selalu tampil menawan dan sempurna tanpa celah juga membuat wanita berusaha keras menjaga image-nya. Meski berlatar waktu di tahun 1800-an, apa yang dikisahkan—utamanya soal pengekangan terhadap wanita—dalam serial ini nyatanya masih relevan dengan apa yang terjadi di masa kini. Misalnya saja di Indonesia, pertanyaan “Kapan menikah?” atau “Apa pekerjaan calonnya?” merupakan pertanyaan yang sudah tidak asing lagi dan kerap ditujukan untuk wanita yang dinilai sudah ‘pantas’ menikah. Tolok ukur kepantasan untuk menikah pun tak selalu sama dan bergantung pada orang yang mengajukan pertanyaan di atas. Alhasil, wanita dihadapkan pada standar yang kabur dan hal ini tentu amat menyulitkan mereka.

Eloise Bridgerton (foto: netflix)

Kehadiran karakter yang berani menentang persepsi masyarakat, menjadi daya tarik lain bagi Bridgerton. Eloise Bridgerton (diperankan oleh Claudia Jessie) adalah karakter yang mewakili pola pikir wanita modern. Ia mengingatkan kita pada Kartini, tokoh yang menjadi simbol perjuangan wanita. Tak heran jika karakter Eloise kemudian banyak digemari, meski ia bukan tokoh utama dalam Bridgerton musim pertama.

Bridgerton menampilkan Regé-Jean Page yang berperan sebagai Simon Basset (The Duke of Hastings) dan Phoebe Dynevor yang berperan sebagai Daphne Bridgerton. Keduanya dipasangkan sebagai tokoh utama pria dan wanita. Hal ini juga menarik, mengingat Regé adalah aktor berkulit hitam, sementara Phoebe adalah aktris berkulit putih. Selama ini, kita seolah-olah terbiasa dengan pasangan putri-pangeran atau raja-ratu yang berkulit putih. Industri hiburan Barat—utamanya kisah romansa kerajaan—memang didominasi oleh tokoh-tokoh kulit putih yang merupakan simbol ketampanan dan kecantikan kaum Eropa. Dalam hal ini, pasangan utama Bridgerton boleh dikatakan telah mendobrak tradisi tersebut. Sementara itu, karakter Marina Thompson yang diperankan oleh Ruby Barker, seorang aktris berkulit hitam, juga diceritakan menjadi primadona para pria. Serial ini rupanya ingin menunjukkan bahwa standar kerupawanan dan kemasyhuran tidak lagi berakar pada warna kulit.

foto: netflix

Bridgerton juga memperlihatkan betapa masyarakat sangat mudah tergiring opini media massa. Kehadiran karakter Lady Whistledown, seorang penulis yang bersembunyi di balik nama pena, menjadi salah satu akar konflik dalam Bridgerton. Karakter tersebut diceritakan mampu menghancurkan kehormatan sebuah keluarga yang masyhur, berkat tulisan-tulisannya yang kontroversial di surat kabar. Begitulah “The power of mass media”.

foto: netflix

Selain cerita dan karakter yang menarik, Bridgerton juga menyuguhkan kostum yang mewah dan elegan, melalui setelan-setelan dan gaun-gaun khas kerajaan. Itu semua berkat campur tangan desainer handal, Ellen Mirojnick. Tak hanya mata, telinga penonton juga dimanjakan oleh musik latar yang dibawakan secara klasik. Selain pengambilan gambar yang apik, musik latar seperti ini turut menguatkan suasana jadoel dalam Bridgerton. Meski begitu, Bridgerton tidak lantas menjadi tontonan yang kuno.

Di samping sejumlah kelebihan di atas, oleh sebagian orang, Bridgerton dikenal karena adegan-adegan seksnya. Hal ini dapat dimengerti karena Bridgerton memang serial dewasa. Akan tetapi, Bridgerton sejatinya lebih daripada itu. Serial berlatar jadoel ini menyindir masyarakat modern dengan caranya sendiri. Pernikahan ditampilkan secara realistis, termasuk ketidakbahagiaan di dalamnya. Pengemasan yang romantis dan sederhana sepertinya membuat banyak orang lupa, bahwa Bridgerton bukan sekadar serial dewasa.

Penulis: Feriana Masruroh

Penyunting: Avif Nur Aida Aulia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA