Ruang Aman bagi Perempuan dari Kacamata Akademisi dan Musisi

Malang, Siar – Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) tahun 2024, Woman Ngalam menginisiasi terselenggaranya diskusi bertemakan

Dokumentasi/LPM Siar

Malang, Siar – Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) tahun 2024, Woman Ngalam menginisiasi terselenggaranya diskusi bertemakan “Karena Kami Butuh Ruang Aman” di Roemah Kantja pada Kamis (08/03). Diskusi ini melibatkan tiga narasumber berlatar belakang berbeda, yang dijadikan momentum untuk menyuarakan berbagai keresahan dan pengalaman yang menyoroti tantangan dan harapan dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan di lingkungan sosial, musik, dan pendidikan. 

Berbagai gambaran mengenai ruang aman di kehidupan sosial merupakan hal yang diharapkan oleh semua kaum perempuan. Dimana  perempuan mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan diri tanpa adanya ancaman. Hal tersebut menjadi kunci ruang aman yang diharapkan. 

Ken Swastiyastu sebagai pembicara dari Komunitas Women’s March Malang mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada ruang yang benar-benar aman bagi perempuan.

“Aku gatau apakah teman-teman bisa sepakat, bagiku ruang aman itu tidak ada. Bahkan sekarang ini kita menangkapnya ‘karena kita butuh ruang aman’, emang setidak aman apa sih lingkungan kita?” tanya Ken pada narasumber sebagai pemantik diskusi kali ini.

Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan mengetahui fakta yang menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual setiap tahunnya dari data Komnas Perempuan 2023 terkait kekerasan seksual. Sangatlah miris melihat kenyataan bahwa perempuan yang mengharapkan kondisi dimana terbebas dari segala hal yang berhubungan dengan kekerasan, diskriminasi, dan budaya patriarki.

Kebutuhan ruang aman dibutuhkan dalam berbagai bidang salah satunya bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan terutama perguruan tinggi sudah terdapat kebijakan perlindungan perempuan yang tercantum pada Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Akan tetapi pada implementasinya kebijakan tersebut belum maksimal yang membuat akses ruang aman sulit didapatkan. Hal ini tidak terlepas dari adanya budaya patriarki dan stereotip yang mengakibatkan perempuan belum diberikan tanggung jawab yang sama atau setara dengan laki-laki di pemangku kebijakan. 

Yuni Larasari yang merupakan dosen Universitas Tribhuwana Tunggadewi mengungkapkan bahwa perempuan masih kesulitan terkait kebijakan karena jabatan tinggi lebih didominasi oleh laki-laki. Dalam perguruan tinggi perempuan tidak mempunyai kewenangan kebijakan yang kuat sehingga pihak pemangku kebijakan memaklumkan kekerasan seksual. 

 “Walaupun jumlah dosen perempuan lebih banyak dari laki-laki tetapi hal itu belum menyelesaikan masalah karena belum semua perempuan berada di jajaran kepemimpinan. Stereotip mendatangkan hal tersebut, sesederhana kita acuh memandang bahwa itu kekerasan seksual karena suara perempuan tidak sebesar yang membuat kebijakan,” ujar Yuni 

Yuni turut memaparkan bahwa ruang aman di perguruan tinggi patut dipertanyakan, pasalnya perguruan tinggi seakan acuh dalam menyikapinya. Takut akan cap kurang baik yang akan didapat setelahnya. 

“Adanya satgas di perguruan tinggi tetapi tidak berjalan, karena kampus itu seakan acuh dan banyak ketakutan sehingga berujung damai. Takut kampusnya dianggap lahan kasus kekerasan seksual gak bagus secara akreditasi. Atau mungkin korban lebih dibuli daripada pelakunya karena itu aib bagi korban,” imbuh Yuni.

Selain itu, kebutuhan ruang aman juga diharapkan para perempuan dalam suatu perkumpulan atau komunitas, salah satunya skena. Mimin yang merupakan salah satu musisi perempuan menyatakan bahwa adanya stereotip yang mempercayai kekerasan yang dialami oleh perempuan itu merupakan hal yang lumrah dikarenakan pakaian yang dikenakan para musisi perempuan tersebut. 

“Pengalamanku di Malang khususnya di dunia musik, orang-orang selalu berbicara pakaian. Kita berpakaian senyamannya aja, tetapi kalo orang pakai baju yang kelihatan belahan itu dibilang ‘lha dek e’ (ya dia) memang mengundang hasrat orang untuk melakukan pelecehan,” ungkap Mimin. Padahal kasus tersebut bukan sepenuhnya disebabkan karena pakaian tetapi tergantung pemikiran orang-orang.

 “Sebenarnya kalo kita balikkan ke kitanya sendiri tergantung orangnya masing-masing. Mau kita dalam keadaan apapun, sesuai yang dikatakan Mbak Ken kita itu tidak ada ruang aman. Walaupun dalam keadaan sadar gak sadar kalo ada hawa nafsu setan kekerasan seksual bakal tetap terjadi,” lanjut Mimin. 

Ancaman kekerasan seksual pula terkadang datang dari pengunjung yang berada dibawah pengaruh alkohol.

 “Aku kan gak pernah minum (mabuk)  kalo ada orang yang terlalu mabuk, sampek dia  bilang melecehkan perempuan terus dia bilang ‘lha aku mabuk’ itu goblok dan gak masuk akal. Karena itu gak sopan, gak boleh beralasan karena mabuk dan keadaan gak sadar kamu terus melecehkan perempuan karena biasanya dari awal sudah mengincar anak itu dan pura-pura mabuk untuk melecehkan,” tegas Mimin mengungkapkan keresahannya.

Berada di dunia musik, perempuan diharuskan mampu untuk melindungi diri sendiri tanpa bergantung kepada laki-laki maupun orang lain. Walaupun sebenarnya menciptakan ruang aman diperlukan kerja sama antara perempuan dan laki-laki. 

Semua orang perlu bekerja sama menciptakan ruang aman karena baik itu perempuan maupun laki-laki membutuhkan ruang aman yang dapat memberikan ruang dimana mereka dapat berekspresi tanpa merasakan ancaman dari manapun. 

“Wawasan mengenai bagaimana pelecehan verbal maupun non-verbal harus lebih dimasyarakatkan terlepas dari ruang apapun itu,” tandas Upik salah satu partisipan diskusi.

Penulis: Hidayati Suprihatin
Editor: Tian Martiani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA