International Women’s Day 2023: Solidaritas Perempuan Malang Raya, Kawal RUU PPRT dan Isu Kekerasan Seksual

Malang- Solidaritas peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 2023 oleh beberapa kelompok yang tergabung dalam Aliansi Setara

Foto: Farid Wahyu
Dokumentasi/LPM Siar

Malang- Solidaritas peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 2023 oleh beberapa kelompok yang tergabung dalam Aliansi Setara menyuarakan 19 poin isu krusial di depan Balai Kota Malang pada Rabu (8/3/2023).

“Massa aksi mulai berdatangan pada pukul 11.30, di antaranya gabungan dari solidaritas organisasi eksternal mahasiswa, Pemberdayaan Perempuan Progresif Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya (P3 EM UB), Women March, dan Asosiasi Gerakan Revolusi Kerja Malang Raya (Anggrek Maya) selaku ibu-ibu yang memperjuangkan hak pekerja rumah tangga,” ujar Fadilla Rahma, Menteri P3 EM UB.

Beberapa isu yang dibawakan di antaranya adalah optimalisasi UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) dengan harapan agar regulasi bisa berjalan sebagaimana mestinya juga benar-benar menjadi payung hukum bagi perempuan-perempuan Indonesia maupun para pekerja migran.

Baca Juga : https://siarpersma.id/malang-kota-pelajar-yang-penuh-lubang-dan-pungutan-parkir/

Selain itu, massa aksi juga menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi. Hingga saat ini kekerasan seksual masih marak di lingkungan sekitar, seperti halnya yang terjadi di beberapa universitas yang ada di Malang.

“Sebenarnya kekerasan seksual masih sering dijumpai, hingga sekarang masih dilakukan tindak advokasi karena pelaku masih berkeliaran di lingkungan sekitar. Pelaku kekerasan seksual masih menghirup udara segar. Jadi memang banyak pelaku-pelaku yang seolah olah mereka merdeka dengan kekerasan seksual yang mereka lakukan, padahal kita sudah punya regulasi Permenristekdikti No. 30 tahun 2021 itu sudah mengatur tentang kekerasan seksual di dalam lingkungan kampus dan juga UU TPKS,” ujar Diah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ketua Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana.

Kemudian, bahwa sudah 19 tahun lamanya RUU PPRT belum juga disahkan, padahal ini merupakan hal krusial bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang ada di seluruh Indonesia. RUU PPRT ini memang kebutuhan, pengakuan, dan perlindungan bagi PRT.

Dalam PPRT terdapat isu yang dihiraukan; yaitu terkait masalah pengupahan, jam kerja, jaminan kesehatan, jaminan kerja dengan layak, mendapatkan perlindungan, bisa mendapatkan cuti, karena tidak ada jaminan di dalamnya. Seperti halnya cuti hamil, rata-rata tidak dibayar, jika sakit tidak ada garansi pengobatan, padahal resiko pekerjaan mereka sangat luar biasa.

“Faktanya, bahwa ada banyak pekerja di sektor rumah tangga yang tidak dipedulikan. Mereka dianggap sebagai bagian komplemen– pembantu saja dalam rumah tangga. Padahal mereka sama secara manusia. Mereka tidak punya kesempatan memilih pekerjaan mana yang ingin atau tidak mereka kerjakan,” tutur Diah

“Pasca Perpu Cipta Kerja yang sekarang disahkan menjadi UU lagi itu juga mengancam mereka, karena mereka harus siap di observancing-kan setiap saat,” imbuhnya lagi.

Sama halnya dengan kondisi PRT di Malang (Anggrek Maya) yang belum mendapat perlindungan hukum, masih banyak tindak ketidakadilan pada PRT. Melalui seruan aksi International Women’s Day ini, mereka mendorong agar RUU PPRT segera disahkan.

“Banyak PRT yang mengalami kekerasan, dibentak bentak atau segala macem, bahkan nggak dikasih uang lembur,” ujar Nuriyati Kasiran, ketua Anggrek Maya.

Seringkali upah yang diberikan kepada mereka jauh di bawah UMR. Nuriyati sendiri menuturkan bahwa upahnya masih jauh di bawah UMR. Terkadang mereka memang menyepakati penggunaan jasa itu dari awal. Namun, pengguna jasa itu suka mengulur waktu, jadi yang seharusnya mendapat uang lembur per jamnya, malah tidak ada.

Selama ini audiensi telah dilakukan ke DPRD Kabupaten Malang, juga DPRD Kota Malang untuk mendorong RUU PPRT ini dengan harapan semua permasalahan PRT bisa terselesaikan dan mereka dapat hidup layak, dalam arti memperoleh kesehatan dan gaji yang memadai, mengingat gaji mereka selama ini masih jauh dari rata-rata UMR.

Hakikatnya pemerintah memiliki kewajiban respect (mengakui/menghormati), fulfil (memenuhi), dan protect (melindungi). “Jadi kita memang butuh alat dulu. Pertama alatnya respect dulu. Mengakui dengan regulasi, dengan UU. Begitu UU sudah disahkan maka kita akan melihat pengawalan, apakah itu sudah memenuhi atau belum, pemerintah daerah kita peduli atau tidak. Dari situ kemudian kita melakukan perlindungan, pengawalan kasus sebagai kasus satu persatu,” ucap Diah.

“Jadi memang berproses, dalam proses pengesahan UU PPRT. Ini adalah langkah awal untuk melindungi hak pekerja,” lanjutnya.

Hingga saat ini, payung hukum belum sepenuhnya memenuhi hak-hak para perempuan, baik dalam ruang hidup maupun hak moril, khususnya para pekerja perempuan. Alih-alih memenuhinya, lembaga legislatif justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang mencekik para pekerja perempuan di Indonesia. Hal tersebut tentu berlawanan dengan harapan para pekerja perempuan, khususnya seperti yang disampaikan Nuriyati, “Harapan kami, para PRT se-Indonesia, supaya RUU PPRT ini segera disahkan, sehingga PRT bisa bernafas dengan lega, diakui sebagai pekerja, dan otomatis semua haknya terpenuhi,” pungkas Nuriyati.

Penulis : Shofi Nur Jannah

Reporter : Farid Wahyu Tri Septian

Editor : Gloria Siwi

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA