Malang — Jumat (10/12), massa dari Aliansi Perempuan Bersatu Lawan Penindasan (Petasan) berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dalam aksi tersebut, Aliansi Petasan menuntut Pemerintah–bersama kampus–untuk segera menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), serta menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM oleh negara, baik di masa kini maupun di masa lalu.
Owen selaku Humas Aliansi Petasan menyampaikan tuntutan yang paling menjadi konsen pihaknya, yakni mendesak pemerintah dan kampus di Indonesia agar menerapkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Selain itu, pihaknya juga menuntut pengesahan RUU PKS dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. “Kami juga menuntut pemerintah meninjau status rancangan RUU PKS dan segera mengesahkannya. Kami juga menuntut soal kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang (hingga kini) tidak ada itikad baik Pemerintah untuk menyelesaikannya,” ujar Owen, dilansir dari malangtimes.com.
Aliansi Petasan menilai, kekerasan seksual yang marak terjadi di lingkungan kampus menjadi alasan agar Permendikbud Ristek 30/2021 segera diterapkan. Berbagai kasus kekerasan seksual di kampus terus muncul, bahkan yang terbaru, seorang anggota Kepolisian Polres Pasuruan memerkosa seorang mahasiswi Universitas Brawijaya. Selain itu, urgensi RUU PKS juga makin terlihat seiring dengan makin maraknya laporan pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat.
Salah satu demonstran, Rere, menyayangkan adanya respon kontra terhadap Permendikbud Ristek 30/2021. “Sayangnya, Permendikbud Ristek (30/2021) langsung ditentang oleh kelompok konservatif agama dan reaksioner. Banyak tuduhan bahwa peraturan tersebut melegalkan zina. Ironisnya, tuduhan tersebut juga kerap diiringi dengan kekerasan berbasis gender,” kata Rere dalam orasinya.
Lebih lanjut, Rere juga menyayangkan bahwa RUU PKS yang awalnya diusung oleh Komnas Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual banyak mengalami pemangkasan. Permendikbud Ristek 30/2021 pun juga kemungkinan besar akan direvisi dalam perkembangannya. Rere menilai, jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan Permendikbud Ristek 30/2021 akan bernasib sama seperti RUU PKS; tak kunjung diterapkan dan terus mengalami perubahan substansi. “(Pengesahan dan penerapan) ini (jika terlaksana) menjadi tolok ukur keseriusan Pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual yang belakangan ini sering terjadi dan makin melonjak di masa pandemi.” tambah Rere.
Selain isu kekerasan seksual, tuntutan-tuntutan lain yang diusung Aliansi Petasan yakni penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM; pengesahan RUU Masyarakat Adat; perancangan dan pengimplementasian pendidikan seks berperspektif gender; penarikan militer dari west papua; penentuan nasib sendiri bagi west papua; perlawanan terhadap diskriminasi dan rasialisme; dan pembukaan akses seluas-luasnya untuk jurnalis nasional maupun internasional di wilayah konflik. Rere menegaskan, masih akan ada aksi-aksi lanjutan hingga tuntutan-tuntutan yang diusung Aliansi Petasan tercapai. (dlt//avf)