Novel ini mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Perempuan masih mengalami ketimpangan hak dan tidak pernah mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan laki-laki. Mengenai hak-hak perempuan yang kurang terjamin, kebebasan dalam dunia politik, serta kungkungan hirarkis suami, membuat perempuan terbelakang dalam segala kesempatan, mengalami diskriminasi, kekerasan, dan kemiskinan.
“Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka.” (Nawal El Saadawi 2002, hal. 149).
Mengapa Firdaus dibilang Pelacur? “Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Sang perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak.” (Nawal El Saadawi, hal. xii)
Dari beberapa kutipan dalam novel tersebut, masyarakat harus tahu bahwa sebenarnya perempuan tidak ada yang memiliki cita-cita menjadi seorang pelacur, yang menjajakan diri demi selembar rupiah. Di Indonesia, banyak perempuan yang merasa menjadi perlacur karena tidak dihargai oleh pasangannya. Dikutip dari sindonews.com, dalam survei Gerakan Bukti Cinta ( GERBUKCIN ), sebanyak 72% wanita merasa diperlakukan seperti pelacur, karena hanya diperlukan sebutuhnya bukan seutuhnya, tidak pernah dirayu atau dimanja. Survei tersebut dilakukan pada Bulan November 2019 dengan 100 responden dari berbagai etnis dan usia.
Masalah Kedudukan dan Hak-hak Perempuan
Tokoh Firdaus dalam karya sastra ini merupakan sosok yang problematic. Ia dihadapkan dengan kondisi sosial yang buruk dan berusaha mendapatkan nilai-nilai kebebasan dari keterkungkungan tersebut. Tentu saja pengarangnya memiliki maksud tersendiri dalam menuliskan kisah tersebut. Di sini sastra ditempatkan sebagai media alternatif perjuangan feminisme yang memunculkan keberanian untuk melihat perempuan, permasalahan dan dunianya melalui prespektif mereka secara otonom. Pembagian peran yang sengat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan lahir dikarenakan sistem kekuasaan yang ada. Laki-laki memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, agama maupun sosial. Relasi antara laki-laki dan perempuan masih didominasi ideologi dan sistem patriarki.
Negeri Arab yang dikenal dengan kondisi perempuan yang amat terbelakang menghadirkan sejuta cerita mengenai perempuan korban budaya patriarki. Nawal El Saadawi, seorang Doktor berkebangsaan Mesir menghadirkan sebuah novel yang menunjukkan perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama terhadap laki-laki. Novel Perempuan di Titik Nol menghadirkan figur perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam budaya patriarki.
Sementara di Indonesia masalah kedudukan dan hak-hak perempuan masih disudut pandangkan kelas dua. Dalam praktiknya, diskriminasi tersebut banyak terjadi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Disamping itu hak-hak perempuan yang diatur dalam Undang-undangpun tidak memenuhi hak-hak perempuan di Indonesia.
Kekerasan dan Mahar Perempuan
Akibat adanya budaya patriarki, sejak kecil Firdaus mengalami tindak kekerasan dari laki-laki. Ayah Firdaus adalah sosok yang ditakuti dalam keluarganya. Sebagaimana dalam budaya patriarki, sosok ayah mempunyai peran dominan dalam keluarga. Tak jarang Firdaus mendapatkan kekerasan dari ayahnya yang membiarkannya lapar dan membasuh kaki ayahnya apabila sedang kedinginan. Ayahnya pula yang menciptakan identitas Firdaus sebagai pelayan rumah tangga pengganti ibunya.
Pelecehan seksual kerap kali didapatkan oleh Firdaus dari pamannya sejak kecil. “Saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 20).
Perlakuan inilah yang membentuk identitas Firdaus menjadi perempuan lacur. Ketika Firdaus memasuki usia remaja, ia dinikahkan oleh pamannya kepada seorang laki-laki bernama Syekh Mahmoud seorang laki-laki tua yang berperangai kasar dan kikir. Firdaus ditukar dengan mahar yang sangat mahal. Dalam hubungan rumah tangganya dengan lelaki tua itu Firdaus juga mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya.
Di Indonesia, terdapat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual dan kekerasan dalam keluarga. Sebagian besar pelaku kekerasan adalah laki-laki, kemudian laki-laki juga menjadi pelaku utama dalam bisnis sex money for girls. Tempat-tempat dunia malam dan bisnis women’ merchandise juga dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya digunakan laki-laki sebagai barang yang diperjual-belikan.
Dikarenakan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, maka hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Sebagaimana tercantum pada catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2019, sepanjang tahun ini ada 2.988 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia yang dilaporkan. Angka ini adalah 31 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Penyunting: Dina
Ilustrator: Kim Megumi