Belum sebulan sejak Universitas Negeri Malang (UM) resmi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) pada 25 November lalu. Status tersebut disahkan oleh Presiden melalui Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2021 tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Universitas Negeri Malang.
Di samping membahagiakan, status baru UM sebagai PTN-BH juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa. “Khawatir ada … apalagi UKT (Uang Kuliah Tunggal) katanya mau naik, kan …. Kalau emang benar, kampus jadi nggak ramah buat (kalangan) menengah ke bawah,” kata mahasiswa Sastra Indonesia UM, Fara Trisna, kemarin (12/12) via WhatsApp. Selain itu, Fara juga mengkhawatirkan keterlibatan pihak swasta yang berpotensi terjadi. “Trus yang aku baca, pihak swasta bisa mencampuri urusan kampus, misal dengan membangun kafe atau pusat perbelanjaan kecil di kampus, dan itu boleh, sih … cuma, kan, visi-misi utamanya (kampus) itu mencerdaskan anak bangsa, bukan mendorong anak bangsa jadi konsumtif,” lanjutnya.
Status PTN-BH sendiri merupakan pemberian otonomi dari pemerintah pusat kepada UM untuk melaksanakan tugas pokok Tridharma Perguruan Tinggi secara mandiri. Sebelum menyandang status tersebut, begitu banyak program kerja atau tata kelola UM yang memerlukan izin pemerintah pusat. Kini, campur tangan pemerintah jadi jauh berkurang. Meski begitu, Wakil Rektor IV UM, Ibrahim Bafadal, menegaskan status PTN-BH tidak membuat UM lepas dari pemerintah. Semua kebijakan pemerintah wajib diikuti, tetapi UM berhak mengatur penerapannya di kampus. “Walaupun PTN-BH, ya, kami ikuti semuanya (kebijakan pemerintah) … namanya kebijakan, kok, ya. Hanya saja, bagaimana cara mengikutinya, kami punya kewenangan.” ujar Ibrahim pada Kamis (9/12) ketika ditemui di kantornya.
Ibrahim mengatakan, keterlibatan pemerintah terhadap kampus juga masih ada melalui bantuan-bantuan dana. “Tetap masih ada bantuan-bantuan (dana) lah, ya (dari pemerintah). Ini kami, kan, seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini. Jadi kami punya kewenangan sendiri, tapi tetap milik pemerintah. Nggak lepas sama sekali,” tambahnya.
Sebelum menyandang status PTN-BH, UM tidak memiliki kebebasan dalam membuka badan usaha untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Kini, hal tersebut tak lagi menjadi masalah. Ibrahim membocorkan, UM telah merencanakan empat kelompok usaha, yakni kelompok usaha di bidang akademik, nonakademik, kesehatan, dan kepakaran. Ibrahim keberatan jika badan usaha tersebut dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang dilakukan UM. “Bukan … nggak enak kalau disebut komersial. Prinsipnya badan usaha itu untuk mencari uang, memang. Tapi kalau dalam prosesnya terlalu komersial, nggak laku juga. ‘Oh, kok, mahal, rek,’ sudah dia pindah ke kampus lain. Bukan komersialisasi, tetapi kita perlu badan usaha untuk mendukung pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, sehingga tidak memberatkan mahasiswa, kan, begitu,” terangnya.
Hal baru lainnya bagi UM yang saat ini berstatus PTN-BH adalah keterlibatan Majelis Wali Amanat (MWA) dalam pengambilan kebijakan. Majelis tersebut terdiri dari menteri, rektor, beberapa perwakilan Senat Akademik Universitas, tenaga kependidikan, anggota masyarakat (di antaranya alumni UM), dan mahasiswa UM. Adapun mahasiswa tersebut adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UM yang diharapkan dapat mewakili seluruh mahasiswa UM.
Ibrahim mengetahui kekhawatiran mahasiswa kalau-kalau status PTN-BH akan memengaruhi besaran UKT. Ia memastikan hal tersebut tak akan terjadi. “Kami berkomitmen kalaupun (UM) menjadi PTN-BH, tidak akan sampai ada kenaikan UKT yang sangat tinggi. Kalaupun ada paling sedikit, dan itu hanya penyesuaian terhadap inflasi harga pasar, lah, ya. Karena perawatan gedung semakin mahal … kan, iya, toh? Tetapi bukan karena UM (menjadi) PTN-BH, langsung naik (UKT-nya), tidak ….”
Menurut Ibrahim, status PTN-BH adalah pencapaian penting bagi UM. “Kami harus berkreasi, inovatif, mengembangkan program yang baik dan layak bagi masyarakat. Nah, itu … kalau kami tidak diberi kewenangan mengaturnya, agak sulit. Banyak pihak yang lagi berlomba-lomba menyusun proposal menuju PTN-BH. Sudah banyak yang menghubungi saya, minta tolong untuk di-coach, lah. Berarti, ya, memang penting PTN-BH itu.”
Sementara itu, Fara memandang bahwa baik atau tidaknya status PTN-BH UM bergantung pada para pimpinan kampus. “Kalau pimpinan kampus amanah, keputusan ini (UM menjadi PTN-BH) bagus, UM bisa lebih maju. Tapi kalau ada (pimpinan kampus) yang nggak bertanggung jawab, misal karena dananya banyak, bukan dibuat untuk memajukan kampus, malah disalahgunakan …. Jadi nggak statusnya aja yang PTN-BH, tapi Bapak dan Ibu yang terhormat harus menjalankan tugas dengan baik supaya nggak ada penyelewengan dalam hal apa pun.” pungkas Fara. (krs/agl/int//avf)