Diskusi dan Nonton Bareng (Nobar) Film Dirty Vote yang diselenggarakan oleh kolaborasi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar, LPM Inovasi, dan LPM Kavling 10 di Omah Diksi pada Senin (12/01) lalu turut membahas persoalan keterbukaan informasi, terutama bagi jurnalis.
Media memiliki peran penting dalam menyalurkan informasi agar informasi yang disalurkan tersebut tetap menjunjung independensinya. Informasi tersebut pun tentunya harus tersalurkan pada khalayak dengan semestinya. Namun, akses untuk menggali keterbukaan informasi memang tidak semudah itu.
Kesulitan para jurnalis dalam memperoleh data juga dirasakan pada musim Pemilihan Umum (Pemilu) seperti sekarang. Pun dengan masyarakat yang haus akan informasi.
Baca juga: Pernyataan Sikap Sivitas Akademika UM: Konsisten Tegakkan Demokrasi
As’ad Arifin, pembicara pada diskusi kali ini yang juga selaku jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengungkapkan bahwa film Dirty Vote disebut sebagai hasil kerja dari jurnalistik.
“Kalau kita perhatikan cara kerja jurnalistik bisa kita lihat dalam film tadi. Bagaimana menelusuri datanya, bagaimana bisa menghadirkan konfirmasi dari pihak ahli. Ya inilah bagian kerja kerja dari jurnalistik yang ditampilkan adalah jurnalistik data dan alat investigasi,” ungkap As’ad.
Kerja jurnalistik bergerak untuk mencari data dan mengangkatnya ke media. Maka dari itu keterbukaan sebuah informasi bagi pihak jurnalistik dinilai sangat penting.
Hal tersebut dibenarkan oleh As’ad, ia juga mengatakan bahwa di Malang sendiri keterbukaan informasi dinilai sulit. Ada saja pihak yang tidak transparan dengan informasi yang ada.
“Kalau kita bicara ketersediaan dan keterbukaan informasi ini sulit banget. Beberapa minggu yang lalu misalnya, terkait logistik Pemilu yang datang di Malang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat pengumuman di grup WhatsApp bahwasannya hari ini, jam segini akan ada pengecekan logistik, tapi ada keterangannya di bawah dilarang diliput oleh media. Kita bicara soal keterbukaan informasi disini, kalau ini prosesnya baik-baik saja ya kenapa tidak boleh diliput? Apa ada yang coba disembunyikan? Kita gak tau,” jelas As’ad.
Selain dari sisi ketersediaan informasi yang dirasa tidak terbuka, kualitas penulisan dari pihak jurnalis juga patut untuk diperhatikan. As’ad mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu AJI Malang melakukan survei, ada bagian dari responden survei tersebut yang merupakan jurnalis yang bekerja di Malang.
“Hasil survei itu mengatakan bahwa mayoritas jurnalis tersebut tidak pernah mendapatkan pelatihan dalam meliput Pemilu, baik pelatihan dari medianya, organisasi persnya ataupun upaya diri sendiri,” ucap As’ad.
As’ad juga mengatakan bahwa pelatihan untuk para jurnalis dalam meliput Pemilu itu sangat penting supaya mereka bisa menciptakan konten-konten Pemilu yang tidak monoton dan mencerdaskan.
“Ini juga menjadi refleksi bagi kami di AJI Malang, bahwa untuk peningkatan kualitas kita internal memang juga perlu di giat lagi kedepannya,” tandas Jurnalis AJI tersebut menambahkan tanggapannya.
Di sisi lain, media punya cara kerja lain dalam mengangkat sebuah hal menjadi berita. Terkadang media tidak hanya melihat fenomena dari nilai kritisnya saja tapi juga dari nilai intertainernya juga. Fenomena dari sudut lain yang berbeda, dimana fenomena itu tidak terjadi di satu tempat saja dan belum diliput oleh media lain.
Penulis: Kacja Fathia
Editor: Shofi NJ