“Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali”
Begitulah kutipan yang mengawali novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Novel yang terbit pada 2017 tersebut mengisahkan dua sudut pandang: Biru Laut Wibisono, seorang mahasiswa cum aktivis yang mengalami penyiksaan dan penghilangan paksa menjelang reformasi; dan Asmara Jati, adik Biru Laut yang menggali jejak-jejak sang kakak dan aktivis lainnya yang menghilang.
Sebelumnya, Leila S. Chudori telah sukses dengan novelnya yang berjudul Pulang (2012). Senada dengan Laut Bercerita, Pulang juga mengisahkan kehidupan orang-orang yang dicap sebagai “musuh negara”.
Dalam Laut Bercerita, kita disuguhkan karakter Biru Laut atau yang akrab dipanggil Laut. Ia digambarkan sebagai aktivis mahasiswa yang idealis dan vokal. Laut gemar membaca buku, termasuk buku-buku yang pada masa itu–orde baru–dilarang beredar di masyarakat, seperti buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya membaca, Laut dan kawan-kawannya juga menggandakan/memperbanyak buku-buku tersebut. Gerakan Laut dan kawan-kawannya tak berhenti di sana. Bekerja sama dengan petani dan buruh, mereka juga merencanakan serangkaian protes terhadap pemerintah yang saat itu dinilai sewenang-wenang.
Leila tampaknya juga berusaha menyisipkan nilai-nilai feminisme, dengan menampilkan karakter Kinanti, perempuan yang berandil besar dalam pergerakan aktivis. Karena dorongan Kinanti, Laut bergabung dengan organisasi yang bernama Winantra di Yogyakarta. Bersama Kinanti dan kawan-kawannya yang lain seperti Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, dan Alex Perazon, Laut bertekad untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik melalui reformasi–khususnya dalam bidang politik, menyuarakan kepentingan petani dan buruh, serta menciptakan keadilan bagi golongan-golongan tertindas pada masa itu. Perjuangan mereka tidak mudah. Mereka harus melalui pencekalan, penangkapan, dan penyiksaan dari aparat.
Tak hanya seputar aktivis dan gerakannya, Laut Bercerita juga dibumbui dengan romansa. Bumbu yang boleh kita katakan cukup dan tak berlebihan untuk ukuran novel sekompleks ini. Di sela-sela ketegangan, sudut pandang Laut dihangatkan oleh narasi keharmonisan keluarganya dan kebersamaannya dengan Anjani, sang kekasih.
Di sisi lain, Asmara Jati–adik Biru Laut–hadir sebagai karakter yang mewakili keluarga para korban penghilangan paksa. Asmara diceritakan mencari jejak sang kakak dan anggota Winantra lainnya yang hilang, serta merekam testimoni dari aktivis kembali dengan selamat. Karakter Asmara mengantarkan pembaca untuk melihat kepedihan yang dialami orang tua, kawan, dan kekasih para aktivis yang hilang. Asmara pun tampil sebagai karakter yang “bermuka dua”: Kuat di luar, namun rapuh di dalam. Ia berusaha menguatkan dan mendengarkan curahan hati orang-orang di sekitarnya, tetapi di sisi lain, tidak hanya kehilangan sang kakak, ia juga kehilangan sosok orang tuanya yang masih bergumul dalam dunia mereka sendiri; dunia yang menganggap bahwa Laut, anak sulung mereka, masih ada.
Ketika membaca novel ini, kita diingatkan kembali dan bahkan diberikan gambaran cukup jelas tentang sejarah kelam Indonesia. Leila bahkan beberapa kali menarasikan cara-cara penyiksaan dengan cukup detail. Pada masa orde baru, mereka yang kritis dibungkam, rakyat hidup dalam tekanan, dan penghilangan orang secara paksa banyak terjadi. Mereka yang dinilai membahayakan/menentang kekuasaan pemerintah akan diculik dan disiksa. Keputusan kemudian diletakkan di tangan mereka: Jika mau takluk, penyiksaan akan disudahi dan mereka akan dipulangkan. Sebaliknya, jika tak mau takluk, penyiksaan akan berlanjut dan bahkan berakhir dengan pembunuhan.
Menghadirkan sejarah ke dalam novel mungkin adalah upaya Leila untuk mencegah agar orang-orang masa kini lupa terhadap hilangnya para aktivis `98. Walaupun Laut Bercerita adalah fiksi, tetapi bagaimanapun juga, perjuangan orang-orang seperti Laut dan kawan-kawannya memang nyata. Mereka mungkin tak ingin dikenang secara menyedihkan, dan mereka juga berharap agar keluarga yang ditinggalkan dapat terus melanjutkan hidup–dan perjuangan mereka.
“Kalian semua harus tetap menjalankan kehidupan dengan keriaan dan kebahagiaan.”
“… Kenang aku sebagai seorang kakak atau putra yang sangat mencintai kalian dan berusaha menunjukannya dengan merawat beberapa jengkal negara ini.”
A
Pengulas: Salsabila Fahira Rahmah, mahasiswa Matematika UM
Penyunting: Avif Nur Aida