Malang (15/8) – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) memadati Stadion Gajayana Malang untuk menuju ke Balaikota Malang dalam aksi peringatan New York Agreement.
Sebelum sampai di tempat, masa aksi diberhentikan oleh puluhan ormas berpakaian preman yang tidak menyukai isu akan aksi tersebut. Akhirnya, aksi berujung rusuh serta saing lempar baru terjadi di Bank BCA jalan Kahirupan Malang.
Ali- alih menyampaikan pendapat di muka umum tentang permasalahan di Papua, aksi berujung dengan kerusuhan. Marlince sebagai anggota AMP Malang mengatakan, massa Aksi terkena provokasi oleh Ormas Reaksionar. Akhirnya, Beberapa ormas dan Massa aksi saling serang.
“Seperti biasa, ada beberpa oknum yang memanfaatkan situasi dan berusaha membangun ketakutan dikalangan mahasiswa Papua. Tetapi semua sudah terkendali,” ujar Marlince.
Beberapa massa aksi mendapatkan luka cukup serius. Marlince memberikan informasi jika peserta aksi sudah berpulang ke tempat tinggalnya masing-masing, sementara ada 2 kawan yang sedang drop.
“Setelah aksi berakhir, satu orang perempuan diantar ke RS karena telinga mengeluarkan darah. Lantas seorang laki-laki harus dijahit di RS karena lukanya terlalu dalam. Sisanya diobati kawan-kawan Papua yang kuliah perawatan,” terangnya.
Karena aksi tersebut, berbagai respon hadir, terutama dari warga Malang sendiri. Singkatnya, kebanyakan warga Malang menolak akan Aksi Papua yang meminta kemerdekaan dan membuat ricuh di kota Malang. Ragam komentar pun beredar dalam sosial media seperti:
“Saya warga Malang, saya tau bagaimana mereka. Sebelum terjadi pengusiran yang terjadi di Jogja, alangkah baik nya mahasiswa Papua pergi dari Malang.” Ditulis oleh akun instagram Hasyim Abdillah dalam kolom komentar unggahan black.voicee.
Menanggapi komentar yang berbau diskriminasi dan rasis di sosial media. Faishal Hilmy Maulida, seorang Peneliti Sejarah yang pernah menuliskan Skripsi tentang Sejarah Arema dan Kota Malang mengatakan bahwa persoalan rasisme tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele. Karena dampaknya akan melahirkan kekerasan demi kekerasan yang berimplikasi pada ketidaksetaraan antara individu atau kelompok terkait.
“Bagi saya tidak ada yang salah. Warga Malang membawa misi menjaga kotanya dari potensi konflik, sementara saudara-saudara kita dari Papua juga tidak salah karena mereka menyuarakan haknya. Yang salah adalah tindakan represif terhadap kedua kelompok yang seolah sedang ‘dihadapkan’ satu sama lain.” Pungkas Hilmy.
Abdurachman Sofyan, perwakilan Komita Aksi Kamisan Malang yang studi khususnya adalah Kajian Demokrasi mengatakan, jika di balik tindakan represif tentu ada pemicunya. Itu menjadi tugas kepolisian mencari siapa aktor provokator kerusuhannya.
“Kita perlu sedikit apresiasi jika aparat berwajib merasa sudah melakukan pengamanan. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa korban luka luka lebih banyak jumlahnya. Sampai di sini aparat mesti objektif melihat korban yang berjatuhan di pihak masa aksi.” tutupnya. (kvn//rzk)