Api Kartini: Estafet Ingatan Menuju Generasi Selanjutnya

Guncangan politik akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), menghadapkan masyarakat dengan perburuan “golongan kiri”. Perburuan ini tak

Foto: Yusuf/Siar

Guncangan politik akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), menghadapkan masyarakat dengan perburuan “golongan kiri”. Perburuan ini tak memandang kasta, mulai dari elit politik, akademisi, perempuan hingga buruh dan petani menjadi korban. Mereka yang tertangkap akan dibantai dan ditahan tanpa pengadilan oleh lingkaran penguasa. 

Untuk mengenang peristiwa tersebut, digelar Diskusi Nusantara dan Nonton Bareng (Dinar & Nobar) bertajuk Membebaskan Ingatan Publik: Hilangnya Satu generasi Intelektual Indonesia di Kedai Rupa Duta, Jalan Pekalongan No. 15 Kota Malang. Acara ini merupakan kolaborasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar, Area Baca Selasa, dan Aksi Kamisan Malang.

Diskusi kali ini diawali dengan menayangkan film Api Kartini, film garapan Kotak Hitam Forum yang fokus kepada kisah mantan tahanan politik perempuan yang dituduh “golongan kiri”. Perempuan tahanan diharuskan menghayati Pancasila melalui cara-cara yang meninggalkan luka jiwa dan raga. Pancasila yang seharusnya ditanamkan melalui sila-silanya, malah ditanamkan melalui kekerasan fisik, mental hingga seksual. Setelah keluar dari penjara, mereka kembali masuk ke dalam penjara sosial. Aktivitas mereka dicurigai, diawasi dan dibatasi, tak jarang pula diasingkan.

Menurut Dhia Al-Uyuni, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, perempuan sering menjadi objek pelampiasan kondisi politik Indonesia. 

“Film tersebut membuktikan bahwa perempuan rentan menjadi korban politik dan kejahatan struktural penguasa. Ada kesamaan pola kekerasan yang terjadi pada peristiwa 1965-1966 dengan peristiwa 1998. Adanya kesamaan pola ini membuktikan bahwa kekerasan tersebut tidak alamiah,” jelas Dhia.

Represi kepada golongan kiri atau yang diduga simpatisan PKI mempersempit pilihan politik untuk menyelesaikan masalah yang ada pada zamannya. Sivitas akademika yang berkurang, serta pelajar Indonesia di luar negeri yang dilarang kembali ke tanah air seolah genosida intelektual yang menghambat pertumbuhan bangsa. Setelahnya, Indonesia hanya diperbolehkan memiliki dua opsi penyelesaian masalah, yaitu nasionalisme dan islamisme. 

Upaya pengungkapan peristiwa 1965-1966 telah berjalan sejak pemerintahan Presiden Gusdur lewat pemulangan eksil dan permohonan ke Mahkamah Konstitusi tentang penyamaan Golongan terindikasi “kiri” dan bersih dari “kiri”. Namun, upaya ini redup pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian hidup kembali dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Joko Widodo. 

Pernyataan Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023 mengakui pembantaian dan penahanan golongan kiri selama 1965-1966 dan 11 peristiwa lain adalah nyata dan dikategorikan pelanggaran HAM berat. Arif Subekti menjelaskan konsekuensi adanya pernyataan tersebut. 

“Mereka yang dituduh sebagai orang kiri, hak secara sosial dan hak secara ekonomi diambil oleh negara, dengan pernyataan Presiden tersebut, setidaknya ada dua konsekuensi. Pertama konsekuensi politik di mana Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi korban, kedua adalah konsekuensi historiografi dimana sejarawan ditantang untuk membuktikan kebenaran peristiwa 65-66 lewat berbagai bukti yang bisa didapatkan”, terang Arif.

Pernyataan Presiden di atas kemudian dijadikan dasar penerbitan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. 

Meskipun Presiden mengakui adanya korban yang berjatuhan, apakah negara benar-benar memulihkan hak-hak korban secara hukum? Dhia menjelaskan berbagai aspek hukum yang ada saat ini terkait dengannya.

“Setelah terbitnya PP HAM tadi, kasus itu (peristiwa 1965-1966) hanya akan berhenti pada permintaan maaf saja, dan tidak ada mekanisme hukum yang terbuka serta memberikan kita fakta sejarah yang sebenarnya. Menurut KUHP terbaru, jika korban menempuh alternative dispute resolution seperti mendapatkan bantuan material, maka proses hukum tidak perlu dilanjutkan dan dianggap selesai oleh Indonesia karena dianggap setara dengan proses yudisial.” ungkap Dhiya.

Arif mengatakan, semua orang harus berupaya mengenang peristiwa 1965-1966 sebagai refleksi perjalanan bangsa yang tak perlu terulang. Beragam cara dapat ditempuh untuk mengenang peristiwa ini. Seperti pendirian monumen, perawatan situs, hingga penulisan peristiwa. Upaya pemusnahan terhadap hal-hal tersebut tidak akan berjalan mulus karena manusia mewariskan ingatan kolektif yang terus mengikuti zaman.

“Meskipun situs ingatan dihancurkan, ingatan diwariskan dari generasi ke generasi lewat banyak cara untuk menantang narasi yang dibuat penguasa” tandas Arif.

Penulis: Yusuf Waishol
Editor: Tian Martiani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA