Stereotip dan Hak Perempuan dalam Film Yuni

Siapa yang tidak tahu dengan film satu ini? Yuni adalah salah satu film yang menggebrak perfilman tanah air

Dokumentasi/LPM Siar

Siapa yang tidak tahu dengan film satu ini? Yuni adalah salah satu film yang menggebrak perfilman tanah air dengan memenangkan penghargaan internasional di Platform Prize Toronto International Film Festival 2021 dan ditunjuk sebagai film perwakilan Indonesia untuk masuk nominasi Best International Feature Film dalam Oscar 2022. Film yang diperankan oleh Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya dan beberapa bintang lainnya ini berhasil mencuri perhatian khalayak ramai, terutama kaum hawa karena kental dengan feminisme. Film garapan Kamila Andini yang berdurasi 122 menit ini dirilis pada tanggal 9 Desember 2021 oleh rumah produksi Fourcolours Film.

Yuni berkisah tentang seorang gadis remaja Banten yang masih duduk di bangku SMA. Di usianya yang masih muda, dia dilamar oleh dua orang lelaki. Dia selalu menolak lamaran mereka karena ingin melanjutkan kuliah. Namun, di sana ada sebuah mitos yang beredar jika seorang perempuan menolak lamaran lebih dari dua kali, maka dia akan kesulitan untuk menemukan jodoh. Keputusan Yuni yang menolak lamaran dua kali pun mengundang gosip warga di kampungnya.

Baca juga : Bridgerton Bukan Sekadar Serial Dewasa

Hal pertama yang mencuri perhatian dari film Yuni adalah penggunaan warna ungu. Di sini diceritakan, Yuni terobsesi dengan warna tersebut. Secara tidak langsung, warna ungu memiliki arti yang luar biasa untuk kaum hawa karena warna ungu adalah perwujudan dari gerakan perempuan di seluruh dunia. Warna ungu digunakan dalam peringatan hari perempuan internasional, simbol perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan, dan upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Selain itu, warna ungu di Indonesia melambangkan pengorbanan dan kematian, serta identik dengan janda yang ironisnya janda memiliki stigma yang negatif di indonesia.

Kita dapat mengetahui perihal yang diangkat dan disampaikan di film ini dari uraian tersebut, yaitu mengenai hak dan isu yang sangat melekat kepada perempuan, contohnya pernikahan dini dan kebebasan perempuan. Seperti yang bisa dilihat, Yuni dipaksa untuk segera menikah karena bagi perempuan menikah di usia tua adalah sebuah aib. Di sini Yuni melakukan perlawanan dengan menolak lamaran-lamaran dari orang yang berniat melamarnya meskipun berakhir menjadi omongan warga. Yuni juga digambarkan sebagai siswa yang pintar dan berkeinginan besar untuk melanjutkan pendidikan, tetapi sistem pendidikan di daerah masih terlalu condong pada lelaki dan membuat perempuan tidak bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Film ini juga mengangkat tentang pentingnya pelajaran seks, proses pencarian jati diri, keperawanan, patriarki, dan kebimbangan akan gender atau disebut transeksualisme. Film ini bahkan menyentil permasalahan sekolah yang tidak bisa membantu perempuan untuk mencapai pendidikan tinggi dan meraih impiannya. Di samping isu-isu tersebut, film ini dibuat semakin indah dengan ditampilkannya syair-syair Sapardi Djoko Damono. Lantunan puisi yang disampaikan mewakilkan emosi dan perasaan pada film ini.

Film ini sangat dibuat realistis dari segi tokoh dan penokohan Kita akan dibuat takjub dengan akting Arawinda yang berhasil memerankan tokoh Yuni dengan dialek Jawa Serang yang kental serta emosi dari ekspresinya yang natural dan original. Begitu pun dengan Kevin Ardilova yang berhasil memerankan lelaki pemalu dan berhati lembut, serta para tokoh lainnya yang sukses dengan perannya masing-masing. Bahasa yang digunakan di film ini juga sesuai dengan latar yang mereka ambil.

Plot yang disajikan dalam film ini merupakan plot maju dan bagusnya tidak terkesan lambat ataupun terburu-buru. Plotnya sangat tepat dan bisa menyampaikan rangkaian kejadian yang runtut, teratur dan berkesinambungan. Kita seperti sedang diajak masuk ke dalam kehidupan Yuni. Kehidupan anak SMA pada umumnya yang mungkin monoton, tetapi dibalut dengan rasa keingintahuan yang tinggi, pencarian jati diri, jiwa bebas, pilihan-pilihan sulit yang harus dipilih demi masa depan, serta mitos dan kebudayaan dari daerahnya.

Yuni digambarkan sebagai sosok dan gambaran yang sesuai dengan perilaku remaja di negeri timur, seperti bergaul dengan temannya, memiliki nafsu terhadap lawan jenis, pergi ke tempat hiburan sampai mengenali masturbasi untuk pertama kalinya. Penggunaan sudut pandang ketiga juga membuat tokoh Yuni ini diceritakan dengan baik.

Baca juga : Habibie & Ainun 3: Hidup Ini Merdeka dan Hanya Itu yang Kita Punya

Sinematografi dan pemilihan tempat film ini juga harus diacungi jempol. Sepertinya, sang sutradara ini ingin menampilkan film yang sangat realistis dan apa adanya. Hal ini terlihat dari bangunan sekolah di pedesaan yang pada nyatanya memang masih terbilang kumuh, banyak coretan, dan fasilitas yang belum memadai. Keadaan desa dan warga yang sangat menyatu dengan keseharian masyarakat dan tempat, serta tempat-tempat yang tidak ditonjolkan berlebihan namun masih terlihat indah dan realistis. Sinematografinya sangat mampu menyoroti sudut pandang dan emosi Yuni dengan baik.

Ada hal yang sedikit mengganggu dari beberapa aspek yang sungguh luar biasa itu, yaitu tentang kurangnya pengenalan terhadap beberapa tokoh lainnya yang terlibat di dalam film. Padahal, mereka memiliki karakter yang kuat dan bisa dikembangkan lebih baik lagi. Mungkin sang sutradara ingin memfokuskan cerita hanya kepada Yuni meskipun, jujur saja, beberapa tokoh di film sangat mencuri perhatian dan sayang jika ditampilkan apa adanya tanpa sesuatu yang lebih bagus dan mendalam.

Biarpun demikian, film Yuni ini sangat mencuri hati dan banyak sekali hal baik yang bisa diambil dari film ini. Adapun yang dapat diambil dari film ini, yaitu perempuan berhak mengambil keputusan untuk kehidupannya karena bersuara dan menentukan pilihan adalah hak yang harus perempuan dapatkan. Perempuan berhak memegang kendali atas hidupnya layaknya lelaki. Perempuan tidak perlu takut dengan mitos atau terkekang kebudayaan daerah yang ada karena kehidupan adalah hak masing-masing individu. Sosok Yuni ini berhasil menjadi kekuatan, keberanian, dan semangat untuk kaum hawa.

Bagian yang paling saya favoritkan dari film ini adalah saat lantunan lagu Hujan Bulan Juni yang dimainkan di akhir film. Sangat menyentuh hati.

Penulis: Tian Martiani

Editor: Nafiis Ridaaf Filasthin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA