Beberapa pekan terakhir, media sosial diramaikan oleh tayangnya film KKN di Desa Penari. Film yang sempat berkali-kali ditunda tersebut akhirnya menjejakkan diri di layar bioskop Indonesia sejak Sabtu, 30 April lalu. Film KKN di Desa Penari berawal dari utas akun Twitter@Simpleman pada 24 Juni 2019. Utas cerita yang rumornya berasal dari kisah nyata tersebut ramai dan viral saat itu. Cerita itu pun meluas dan menjadi buah bibir di banyak platform, dan akhirnya mengundang minat seorang produser film dari MD Entertainment, Manoj Punjabi, untuk mengangkatnya menjadi film layar lebar.
Film yang seharusnya dijadwalkan tayang pada tahun 2020 itu harus diundur karena pandemi Covid-19. Kemudian, dijadwalkan ulang pada liburan Natal Desember 2021 dan akhirnya diundur lagi ke Februari 2022. Namun, saat itu Covid-19 varian Omicron melonjak tinggi, sehingga MD Entertainment memutuskan untuk menayangkan film KKN di Desa Penari pada libur lebaran di tahun yang sama. Selain disebabkan pandemi, menurut kami, terus ditundanya penayangan film tersebut juga dikarenakan pihak MD tak ingin kehilangan ‘hype‘ dari cerita yang telah mendapatkan 180 ribu like di Twitter itu. Karena selain terbatasnya kursi bioskop saat pandemi, antusiasme penonton juga pastinya menurun. Dan terbukti, tayangnya film pada timing yang tepat yaitu saat libur lebaran dan terkendalinya kasus positif Covid-19 sukses membuat KKN di Desa Penari menggaet banyak penonton. Bahkan, mereka tetap optimis dan berani tayang meskipun berbarengan dengan tayangnya film besar sekelas Doctor Strange in the Multiverse of Madness dari rumah produksi terkenal, Marvel Cinematic Universe (MCU).
Melihat booming-nya film KKN di Desa Penari membuat kami jadi berpikir apakah film itu benar-benar bagus atau hanya overhype saja? Saat itu, kami menonton pada dua waktu yang berbeda. Tepatnya saat pertama kali rilis pada 30 April dan hari ke-5 penayangan pada 4 Mei. Menakjubkan! bioskop tetap penuh sama seperti di awal penayangan, bahkan antrean tiketnya saja sangat panjang dan memakan waktu lama. Tak jarang juga tiket habis sehingga penonton harus menunggu jadwal berikutnya. Tak ayal hingga saat ini film tersebut tercatat telah ditonton lebih dari 6 juta kali dan berhasil menjadi film horor Indonesia terlaris sepanjang masa mengalahkan film Pengabdi Setan karya Joko Anwar yang hanya meraih 4,5 juta penonton di tahun 2017. Lalu apakah kualitas film KKN di Desa Penari sesuai dengan hype penontonnya? Mari kita ulas satu per satu.
Pertama kali film dimulai, kami langsung disuguhkan oleh para karakter yang akan mencari tempat untuk praktik KKN-nya. Hal yang membuat kami takjub adalah pemilihan latar tempat yang bagus dan sesuai dengan yang digambarkan dalam utas Twitter. Dapat dikatakan untuk tempat sesuai, lah, dengan ekspektasi kami, seperti hutan yang hanya dapat dilalui satu motor, desa terpencil di dalam hutan, sinden (tempat mandi para penari) yang menjadi tempat ‘legendaris’ dalam cerita, dan visualisasi tempat-tempat lainnya. Teknik sinematografi dan audiovisual yang ditampilkan juga sukses memanjakan mata dan telinga, meskipun sering dimunculkan beberapa jumpscare yang berlebihan dan tidak penting. Jumpscare yang terlalu sering muncul ini agaknya membuat film tidak terlalu spesial karena esensi film horor tak hanya dari kejutan, melainkan juga plot yang dibangun.
Selanjutnya adalah karakter tokoh. Film ini diperankan oleh Tissa Biani sebagai Nur, Adinda Thomas sebagai Widya, Aghniny Haque sebagai Ayu, dan Achmad Megantara sebagai Bima. Sedikit mengherankan kenapa film yang kemungkinan besar ditunggu masyarakat ini memilih pemain-pemain yang jarang didengar namanya dan cenderung baru. Gampangnya, mereka tentu kalah populer ketimbang aktor dan aktris kawakan. Mungkin … untuk menyesuaikan karakter mahasiswa khas Jawa Timuran yang “sederhana”. Untuk akting, para pemain secara umum telah menguasai peran. Sayangnya, pada beberapa dialog dalam bahasa Jawa, kami merasa sering terjadi ketidaksesuaian bahasa dan terkesan dipaksakan. Pemilihan kata dalam bahasa Jawa yang tidak tepat membuat suasana menjadi canggung dan aneh, terlebih kami yang menonton notabene adalah orang Jawa. Pendalaman karakter Badarawuhi yang disebut sebagai penguasa daerah itupun kurang kuat sehingga keseraman sosok itu tidak terasa dan tidak seseram dalam cerita.
Plot atau jalan cerita yang ditampilkan dibuat sama persis dengan yang ada dalam utas Twitter, seakan ingin membawakan film seorisinal dan semirip mungkin dengan utas, yang mana malah membuat tiap adegan terlihat tidak runtut dan loncat-loncat. Pada utas Twitter, kisah ini ditulis berdasarkan Point of View (POV) Nur dan Widya. Sedangkan dalam film, kisah yang disajikan adalah hasil dari percampuran kedua sudut pandang tersebut. Sehingga kami sangat yakin, penonton yang belum membaca utas pasti kebingungan ketika menonton. Meski begitu, penonton yang belum membaca utasnya dapat menikmati pengalaman memahami dan menyusun teka-teki cerita. Berbeda dengan yang telah membaca utasnya, tentu tidak akan banyak terkejut karena sudah tau bagaimana jalan cerita dan di mana saja hantu-hantu itu akan dimunculkan, sehingga jumpscare tidak lagi mengejutkan lagi.
Proses pengenalan tiap karakter dan background desa juga tidak kuat. Hal itu yang membuat kami menjadi ‘kurang simpati’ pada tokoh saat konflik utama berlangsung. Selain itu, ada adegan yang begitu kami tunggu-tunggu karena dalam utas kejadian tersebut sangat membuat merinding. Yaitu saat Nur dan Widya pergi ke sinden untuk mandi, di sana mereka seolah dipermainkan oleh makhluk ghaib penunggu tempat itu. Di mana Widya yang sedang diganggu meminta pertolongan pada Nur yang berada di luar, tapi ia malah mendengar suara Nur ngidung (bernyanyi tembang atau lagu bahasa Jawa yang biasanya digunakan dalam pertunjukan seni). Sebaliknya, Nur yang berada di luar justru mendengar suara Widya yang sedang ngidung di dalam kamar mandi. Tapi sayangnya, realisasi adegan dalam film ini tidak berhasil membawa penonton ke dalam keangkeran dan seramnya kejadian itu seperti yang ada di utas, malah terkesan berlebihan dengan durasi adegan yang sangat lama.
Terdapat pula beberapa ketidakrasional adegan dalam film KKN di Desa Penari ini, seperti salah satu tokoh yaitu Wahyu menggunakan flash dari gawainya sebagai senter saat motor mereka mogok di tengah hutan. Padahal latar waktu yang dipakai dalam cerita sekitar tahun 2009. Di masa itu gawai yang dilengkapi flash (bukan untuk memotret) belum sepopuler sekarang. Kemudian, pada adegan Nur dan Widya yang melihat satu sama lain sedang menari juga tidak dijelaskan lebih lanjut. Padahal bisa dibilang adegan itu bisa jadi scene epik dalam film ini, namun tidak diulas lebih dalam lagi.
Intinya, menurut kami film ini tidak membawa unsur kebaruan dari utas Twitter yang diangkat. Padahal, kami berharap akan ada plot yang lebih rapi dan dapat menjelaskan lebih detail, misalnya tentang seluk beluk desa, program KKN yang dilakukan, dan lainnya. Namun, yang kami lihat di sini hanya teror terus menerus dari awal hingga akhir. Bahwa film ini memang diangkat dari utas di Twitter, memang iya. Akan tetapi, efek yang didapatkan dari membaca utas dan menonton film tentulah berbeda. Tidak semua yang tertulis dalam utas harus dimasukkan mentah-mentah ke dalam film. Hal ini kaitannya dengan peran penyusun naskah skenario film. Ada banyak, kok, film yang merupakan hasil ekranisasi teks (misalnya karya sastra) yang plotnya diperbaiki agar nyaman ditonton dalam bentuk film. Hal itu tentu sah-sah saja selama perbaikan-perbaikan tersebut tidak melenceng jauh dari kisah (teks) aslinya.
Jika ditanya apakah kami merekomendasikan film ini … jawabannya antara ya dan tidak. Bagi kalian penikmat visual film, tentu film ini dapat memuaskan mata karena pemilihan latar yang bagus dan sesuai dengan apa yang digambarkan dalam utas. Sayangnya, jika kalian berharap ada unsur kebaruan atau detail-detail cerita yang lebih matang di dalam film, kalian tidak akan menemukannya.
p
Penulis: Soom Mayvelyne, Diana Yunita
Penyunting: Nabila Husna
satu Respon