8 September 2024 3:11 AM
Search

Infografis: Kebiasaan Hidup Pasca Pandemi

Dari waktu ke waktu, manusia akan terus beradaptasi mengikuti lingkungan yang ia tempati dan kondisi yang ia hadapi.

pppp
ppppp

Dari waktu ke waktu, manusia akan terus beradaptasi mengikuti lingkungan yang ia tempati dan kondisi yang ia hadapi. Dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun, manusia dipaksa untuk beradaptasi ketika pandemi Covid-19 melanda. Sebagaimana makna dari adaptasi itu sendiri, yaitu usaha makhluk hidup menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah yang mendesak, dalam hal ini masalah tersebut adalah pandemi. Bentuk adaptasi yang dilakukan pun berbeda tiap individu, tergantung latar belakang masing-masing personal. 

Pada tanggal 5 hingga 14 Desember 2022, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar menyebarkan kuisioner riset data mengenai “Kebiasaan Hidup Pasca Pandemi” dengan tujuan dapat mengetahui kebiasaan dan pandangan para responden setelah menghadapi pandemi kurang lebih dua tahun. Dari kuisioner tersebut kemudian didapatkan sebanyak 106 responden, dengan rincian 91,5% dari golongan mahasiswa, dan 8,5 % dari masyarakat umum. Data yang didapatkan terangkum dalam infografis berikut:

Sumber: Jalal/Siar
Sumber: Jalal/Siar

Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi berbagai aspek, terutama pada bagian finansial dan kesehatan, sebanyak 42 responden mengaku mengalami penurunan pendapatan finansial akibat pandemi. Padahal di saat yang sama, pengeluaran untuk bahan dan alat kesehatan juga bertambah sebagaimana 54,7% responden menyetujui pernyataan tersebut. Sebagai makhluk yang harus beradaptasi, tentunya solusi untuk keadaan seperti itu sangat dibutuhkan. 65% responden mengaku dapat mengatasi kendala finansialnya dengan cara-cara berikut, (1) jualan online; (2) freelance; dan tentu (3) berhemat.

Selain itu, dalam situasi tidak dapat bertemu satu sama lain, tentu manusia harus tetap saling bertukar kabar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rahmawati (2015), salah satu faktor dalam proses beradaptasi adalah komunikasi interpersonal. 62,3% responden setuju bahwa media sosial memiliki peran penting untuk saling berkomunikasi untuk mengetahui kabar orang lain dan kejadian di luar sana. Penggunaan media sosial ini mendukung dugaan bahwa penggunaan gadget selama masa pandemi memiliki jangka waktu lebih panjang dibandingkan sebelum adanya pandemi. Berdasarkan riset ini, sebelum pandemi 56,6 % responden hanya menggunakan gadget selama dua hingga lima jam per hari. Sedangkan setelah pandemi, 41,5 % responden mengaku memerlukan waktu lebih dari sembilan jam per hari untuk menggunakan gadgetnya, dan 38,7% responden lain juga memerlukan waktu sekitar enam hingga sembilan jam per hari.

Di samping itu, pandemi juga mampu menyadarkan masyarakat untuk memanfaatkan waktu dengan lebih efektif. Meskipun tidak bisa keluar dan ke mana-mana, masyarakat dapat melakukan hal bermanfaat lain di rumah. Beberapa di antaranya yaitu menghasilkan karya di bidang yang ia tekuni (17.2%), mengeksplorasi aplikasi secara otodidak (15.1%), dan menambah bahan bacaan (14.1%). Ketiga hal tersebut dapat membantu individu dalam mengembangkan diri. Salah satunya adalah membaca, sesuai dengan suatu pepatah, “Buku adalah jendela dunia“. Dengan membaca, maka akan semakin luas wawasan yang didapatkan.

Selain menjadikan pribadi yang lebih unggul, pandemi rupanya berdampak pada kepribadian seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain, salah satunya adalah malu berpendapat (53,8% responden). Komunikasi yang terbatas baik ruang maupun waktu menyebabkan hal ini terjadi (Fadhal, 2020). Penggunaan video conference untuk berinteraksi satu sama lain hanya memiliki satu ruang, suasana, konteks, dan peran. Kondisi yang kaku ini menyebabkan masyarakat penggunanya merasa kurang nyaman ketika menjadi pusat perhatian. Hal tersebut dapat menyebabkan hasil kualitas pembicaraan yang dilakukan tidak maksimal sebagaimana yang dirasakan oleh 21,7% responden dari riset data ini. 

Ketika bertemu langsung, komunikasi interaktif dapat terjadi begitu efektif dan spontan terjadi. Namun adanya pembatas tersebut menyebabkan sering kali seorang individu merasa ragu dalam segi penuturan kata karena takut menyinggung. Teori kompleksitas diri menyatakan bahwa individu memiliki banyak aspek–peran sosial, hubungan, aktivitas, dan tujuan yang bergantung pada konteks (Petriglieri, 2020). Ketika aspek-aspek ini berkurang, seorang individu menjadi lebih rentan terhadap perasaan negatif dan menimbulkan keraguan tadi.

Penulis: Nabila Zaizafun Husna

Penyunting: Diana Yunita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA