Belum lama ini, Universitas Negeri Malang (UM) mendapatkan pencapaian baru, yakni menduduki Peringkat ke-3 dalam 5 Perguruan Tinggi Terbaik Pelaksanaan Pembelajaran Daring. Pencapaian tersebut diumumkan melalui media sosial Ditjen Diktiristek pada Selasa (14/12) dalam rangka Sistem Pembelajaran Daring (SPADA) Award 2021. Secara berurutan, 5 perguruan tinggi yang memenangkan kategori tersebut yakni ITB, UGM, UM, UNPAD, dan Tel-U.
Mahasiswa Matematika UM, Kharisma Novita, mengatakan UM memang layak mendapatkan pencapaian tersebut. “Aku setuju, sih, soalnya melihat dari teman-temanku yang berbeda kampus, dari segi kenyamanan, memang UM (lebih) bagus,” kata Kharisma pada Jum’at (17/12) via WhatsApp.
Pelaksanaan Pembelajaran Daring di UM menggunakan Sipejar, sebuah situs web pembelajaran milik UM, atau aplikasi-aplikasi yang menunjang perkuliahan seperti Google Meet, Zoom, Google Classroom, dan sejenisnya. Perkuliahan daring sinkron dibatasi sebanyak 40% dari total pertemuan agar mahasiswa tidak terbebani dengan pemakaian kuota internet. Sebagai peserta program Pertukaran Mahasiswa Mandiri, Kharisma mengaku nyaman dengan sistem ini. “Dari segi kenyamanan, memang aku rasakan banget, karena aku juga ikut (pertukaran mahasiswa) mandiri (mengikuti sejumlah mata kuliah di kampus lain). Memang nyaman menggunakan Sipejar,” lanjut Kharisma.
Meski menikmati perkuliahan daring, Kharisma juga mendambakan perkuliahan luring demi meratanya penerimaan ilmu yang dirasakan mahasiswa. “Jika memang sudah offline, ya, lebih baik offline secara menyeluruh … karena model pembelajaran hybrid, ya, istilah sekarang … itu kurang pas saja. Dari segi menerima ilmu, walau dijelaskan secara bersamaan, yang offline tentu lebih banyak menerima ilmu dibandingkan yang online,” ungkapnya.
Sementara itu, mahasiswa Sastra Indonesia UM, Ariennova Akmalina, merasa terkejut dengan pencapaian UM sebagai kampus dengan pembelajaran daring terbaik. “Jujur aku lumayan kaget, sih, karena aku merasa kuliah daring yang kujalani itu masih banyak kekurangan,” katanya pada Jum’at (17/12) via WhatsApp. Arien merasa heran, jika sistem UM yang sekarang bisa mendapatkan peringkat ketiga, bagaimana dengan universitas lain? “Waktu tau ternyata UM ada di peringkat ketiga aku jadi mikir, sistem kuliah daring UM yang kaya gini bisa peringkat tiga, emang universitas lain, apalagi peringkat 10 ke bawah, separah apa?” lanjutnya.
Lebih jauh, Arien mengungkapkan tipe-tipe pembelajaran daring yang diberikan dosennya. Pertama, dosen yang selalu memberikan kuliah daring sinkron. Kedua, dosen yang selalu memberikan kuliah daring asinkron beserta tugas-tugas. Terakhir, dosen yang selalu memberikan kuliah daring sinkron, lengkap dengan tugas-tugas. “Hampir nggak ada yang bener-bener imbang. Ada juga beberapa dosen yang suka hilang, selama berminggu-minggu nggak pernah kuliah,” keluh Arien. Jika kondisi ini tak berubah, Arien menilai pembelajaran daring tak layak dilanjutkan. “Kalo nggak ada perubahan, nggak layak sih (dilanjutkan). Jadi toxic ntar. Tapi kalo misalnya hybrid (yang melibatkan semua angkatan) gitu bias, deh … biar lebih fun, enjoy, santai,” pungkasnya.
Dosen Teknik Elektro UM, Kartika Candra Kirana, menilai pembelajaran daring di UM sudah bagus. “Kalau saya pikir, penerapan (daring di) UM sudah baik, Dek, contohnya di Fakultas Teknik sudah menerapkan fleksibilitas (antara) luring/daring. Prodi (teknik) mesin tentu sudah (luring) karena karakteristik prodinya. Sementara informatika belum (luring) karena bisa dioptimalkan dengan daring. Jadi saya pikir, pemangku kebijakan di UM sudah sangat memahami kondisinya dan kebijakan seperti apa yang harus diterapkan,” terangnya kemarin (18/12) via WhatsApp. Ia juga merasa pembelajaran daring-luring adalah sistem yang baik, mengingat kampus-kampus di luar negeri telah menerapkannya sejak lama. “Saya pikir Covid-19 ini pembelajaran yang bagus untuk Indonesia, karena dulu (saya) sempet berbincang dengan teman dari UI yang S2 di Sweden, di luar negeri pun sistem pembelajarannya seperti ini. Mata kuliah-mata kuliah yang krusial saja yang perlu tatap muka,” tambahnya.
Meski begitu, Kartika masih merasakan kesulitan ketika mengajar, khususya secara daring. “Tantangan tersulit adalah membuat video (pembelajaran) untuk 8 pertemuan (sekaligus). Itu membutuhkan waktu di awal semester,” katanya. Di akhir semester ini, ia banyak meminta pendapat mahasiswa untuk memperbaiki atau mengoptimalkan pembelajaran di semester depan. Jika kombinasi luring dan daring yang melibatkan seluruh angkatan dilaksanakan, Kartika menekankan perlunya penambahan jumlah laboratorium, serta pembagian sesi perkuliahan yang matang. (sls/fzl//avf)