(Malang, SIAR) – Diskusi publik yang merupakan hasil kolaborasi antara Fakultas Hukum (FH) Universitas Widyagama (UWG) Malang dan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Malang diselenggarakan pada Sabtu (20/01). Mengusung tema “Malang Nasibmu, Malang Tergenang: Bencana Ekologis sebagai Ancaman Tata Ruang Kota Malang”. Diskusi mengenai banjir dan perubahan tata ruang ini berlokasi di Perpustakaan Uiversitas Widyagama Malang yang dihadiri oleh berbagai kalangan seperti aktivis lingkungan, mahasiswa, dan jurnalis.
Diskusi publik mengenai banjir dan perubahan tata ruang yang berlokasi di Perpustakaan Universitas Widyagama Malang diselenggarakan pada Sabtu (20/01). Diskusi dengan tema “Malang Nasibmu, Malang Tergenang: Bencana Ekologis sebagai Ancaman Tata Ruang Kota Malang” merupakan hasil kolaborasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dan Fakultas Hukum Universitas Widyagama (UWG) ini dihadiri oleh berbagai kalangan seperti aktivis lingkungan, mahasiswa, dan jurnalis.
Terdapat tiga narasumber yang memantik jalannya diskusi kali ini, yakni Pradipta Indra Ariono dari Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim, Ahmad Adi Susilo dari Malang Corruption Watch (MCW), dan Moh Badar Risqullah dari AJI Malang. Diskusi ini merupakan tanggapan atas banyaknya banjir dan adanya perubahan tata ruang di Kota Malang. Hal ini didasarkan dari data WALHI dan MCW yang mengungkapkan bahwa tercatat lebih dari 700 kejadian banjir yang menimpa Kota Malang sejak 2019 lalu.
Banyaknya banjir yang terjadi dikaitkan dengan perubahan tata ruang di kawasan Kota Malang. Hal ini didukung dengan temuan bahwa Kota Malang sendiri tidak memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sesuai dengan ketentuan pada undang-undang. Padahal, RTH sendiri memiliki peran yang sangat penting sebagai upaya preventif pada permasalahan banjir.
“Pemanfaatan ruang di Kota Malang yang dari dulu Malang merupakan kota pendidikan dan pariwisata seharusnya bisa jadi pelopor kota yang penataan ruangnya bagus, tapi faktanya dalam UU No 26 Tahun 2007 terkait penataan ruang, diamanatkan kalau suatu kota itu minimal punya 20% RTH dari luas wilayah kota, tapi di Kota Malang hanya empat persen RTH publik dari 20%,” jelas Pradipta Indra Ariono selaku perwakilan dari WALHI Jatim.
Indra pun menjelaskan bahwasannya Pemerintah Kota Malang tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu seperti kehadiran Taman Malabar, Mall Olympic Garden, Malang Town Square, dan sebagainya yang sebenarnya berperan dalam menggusur RTH di Kota Malang.
Baca juga: Perubahan Fungsi Lahan dan Zonasi Pariwisata di Sumber Maron, Karangsuko, Kabupaten Malang
“Jadi agak bingung, pada 2011 (pemerintah Kota Malang) punya komitmen untuk kemudian mencanangkan RTH sebanyak 21% tapi pada faktanya tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan administrasi. Atau jangan-jangan pemerintah Kota Malang berpihak pada kepentingan-kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologis, ” tambah Indra.
Ahmad Aji Susilo, perwakilan dari MCW sebagai pemantik kedua pada diskusi tersebut menyebutkan bahwasannya pihaknya menemukan adanya ketidaksesuaian mengenai pengadaan barang dan jasa terkait drainase di kota malang. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya penggarapan proses drainase terhitung terlambat dari perencanaannya.
“Jadi kami menemukan ada ketidaksesuaian soal pengadaan barang dan jasa terkait drainase di Kota Malang. Padahal perencanaannya di awal tahun atau di pertengahan tahun, namun bukan proses perbaikan konstruksinya, tapi hanya soal jasa konsultasi, jadi masih dalam proses peremcanaan dan proses penggarapannya telat, rencana ditentukan di pertengahan tahun atau di akhir tahun tapi perbaikannya di awal tahun 2023,” ujar Aji.
Hal ini juga dibenarkan oleh Moh Badar Risqullah, selaku perwakilan dari AJI Malang yang mengungkapkan bahwa sebenarnya keinginan dari pemerintah Kota Malang mengenai penanganan banjir melalui proyek drainase sudah ada, hanya saja tak kunjung menginjak proses eksekusi, sehingga grafik banjir terus meningkat.
“Untuk proyek drainase itu sendiri sudah direncanakan sejak tahun 2016, maka kenapa banjir di Malang semakin besar, karena proyek drainasenya baru dilakukan 2023,” ujar Badar.
Baca juga: Majalah Siar Edisi XXVI Tahun 2023
Tak hanya menyinggung mengenai terlambatnya realisasi dari proyek drainase, Badar juga mengungkapkan bahwa pemerintah kurang memberikan perhatian terkait pencegahan bencana, tetapi lebih memberikan perhatian terhadap bantuan yang dapat diberikan kepada korban ketika bencana tersebut telah terjadi.
“Jadi misalnya kayak Batu, ada untuk anggaran tidak terduga atau dana untuk bencana itu hampir 4,6 M. Waktu itu ketika diwawancarai laporan akhir tahun di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengenai data bencana, dan di Bumiaji itu memang yang banyak terjadi longsor, ketika ditanya mengenai mitigasinya apa, yaitu anggaran 4,6 M tersebut untuk hal tak terduga misalnya bencana, bantuan, dan sebagainya,” jelas Badar.
“Jadi tidak ada upaya agar bencana itu tidak terjadi, tetapi lebih membantu ketika sudah terjadi bencana, bukan membantu bagaimana agar bencana tidak terjadi,” lanjutnya.
Editor: Shofi NJ