Menjelang semester antara, Universitas Negeri Malang (UM) mengeluarkan kebijakan yang menyinggung tentang pendaftaran kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) reguler tahun akademik 2021/2022 pada (22/4). Dalam surat edaran Nomor 22.4.5/UN32.20/SE/2022, terdapat poin yang menyatakan bahwa KKN tahun ini diperuntukkan bagi mahasiswa yang hanya tinggal mengurus tugas akhir/skripsi dan tidak memungkinkan mengikuti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di semester selanjutnya.
Sejak berlakunya program MBKM tahun 2020 silam, UM semaksimal mungkin mengalihkan beberapa kegiatan kemahasiswaan ke beberapa program yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek). Hal tersebut terlihat dari rilisnya surat edaran mengenai pendaftaran KKN reguler 2021/2022. Dalam hal ini, mahasiswa lebih dianjurkan untuk mengambil program MBKM dibandingkan mengikuti perkuliahan biasa. Sekaligus mengkonversikan KKN sebagai salah satu dari 20 sks mata kuliah yang dapat dikonversi.
Kebijakan tersebut diterapkan setelah mempertimbangkan makna dan filosofi program MBKM itu sendiri. Berdasarkan pelaksanaannya, program MBKM merupakan salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yang terdiri atas pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiga poin tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh civitas akademika. “Civitas akademika bukan hanya dosen, tapi juga mahasiswa. Jadi ya harus melakukan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Manifestasi dari pengabdian masyarakat itu KKN. Kemudian (dengan adanya) perkembangan Kampus Merdeka, KKN include dengan kegiatan-kegiatan MBKM,” jelas Nur Eva, selaku Ketua Jurusan Psikologi ketika ditemui di ruangannya pada (9/6). Beliau mendukung pelaksanaan program ini karena menurutnya, mahasiswa tak hanya memenuhi kewajiban sebagai civitas akademika, tetapi juga mendapatkan ilmu yang lebih banyak seperti soft skill, bukan hanya materi.
Meskipun begitu, KKN reguler tahun akademik 2021/2022 bukan menjadi program KKN terakhir yang diselenggarakan oleh UM. Hal tersebut dinyatakan oleh Agung Winarno selaku Ketua Pusat Sumber Daya Wilayah dan Kuliah Kerja Nyata (PSWKKN). “KKN masih akan terus ada (masih terintegrasi dengan MBKM), tapi bagi yang tidak memungkinkan mengikuti MBKM masih ada layanan KKN reguler.” ucap Agung saat ditemui langsung di ruangannya (10/6).
Program KKN reguler dan MBKM, sebenarnya tidak memiliki banyak perbedaan program yang dijalankan, khususnya untuk MBKM Membangun Desa. Perbedaan hanya pada waktu pelaksanaannya. MBKM Membangun Desa dilaksanakan selama 1 semester dengan 20 SKS. sehingga, selain mengejar target KKN, mahasiswa juga dapat mengejar target dari mata kuliah lain yang telah terintegrasi di 20 SKS tersebut. Sedangkan pada program KKN, kegiatan hanya dilaksanakan selama 6 minggu dengan target berbeda dan mendapat 4 SKS di mata kuliah.
Di samping kebijakan tersebut, Agung lebih mendukung program KKN dibandingkan program Membangun Desa dengan beberapa pertimbangan. “Saya lebih cenderung ke KKN, karena KKN lebih fokus ke pengabdian masyarakatnya. Ternyata mahasiswa itu semakin cepat waktunya dan semakin jelas targetnya, maka semakin jelas timeline penyelesaiannya. Kalau MBKM kan lebih lama dan lebih slow, sehingga targetnya tidak dikejar oleh mahasiswa.” ujar Agung. Berbeda dengan pendapat Agung, Nur Eva yang pernah berkecimpung langsung memantau mahasiswa bimbingannya di lapangan menganggap bahwa kegiatan Membangun Desa dapat melatih mahasiswa dalam menyusun solusi atas berbagai masalah di masyarakat. Dengan waktu yang cukup lama, mahasiswa tak hanya dapat berfokus menyelesaikan masalah di satu desa itu saja. Sehingga, akan semakin bervariasi soft skill yang didapatkan untuk bekal setelah lulus kuliah. Selain itu, mahasiswa tingkat akhir juga dapat sekaligus mengambil data untuk penelitian skripsi di tempat tersebut. “Enam bulan itu kalau (digunakan) belajar (termasuk) lama, gak mungkin gak belajar sesuatu, gak mungkin. Bahkan itu bisa dilanjutkan untuk menyusun skripsi,” tutur Nur Eva.
Qofiyu Sekar Afuw, salah satu mahasiswa Pendidikan Tata Busana, juga memilih program kegiatan Membangun Desa di semester depan dengan mempertimbangkan keunggulan konversi pada program MBKM. “Tiap program memiliki keunggulan masing-masing. Kalau KKN kan hanya sekitar 40-45 hari tapi mata kuliah lain tidak bisa dikonversi, tapi di MBKM membangun desa kan bisa dikonversi,” jelas Qofiyu saat diwawancarai langsung pada (10/6). Berbeda dengan Qofiyu, Salsabila Fahira dari Prodi S1 Matematika, beralasan memilih program MBKM atas anjuran dari jurusan. “Katalog akademikku udah diatur gitu jadi PKL (dan) KKN digabung dalam satu semester dan itu tidak masuk akal. Makanya jurusan minta buat kita lebih baik ambil program Studi Independen, Asistensi Mengajar, Kampus Mengajar, atau Membangun Desa. Tapi karena aku telat, sisa Membangun Desa deh.” ucap Salsabila saat diwawancarai melalui WhatsApp (21/6).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut, kebijakan untuk tetap mempertahankan KKN menjadi pilihan tepat. Secara, setiap program baik KKN reguler maupun rangkaian MBKM memiliki keunggulannya masing-masing meskipun tujuan yang ingin dicapai serupa. Sehingga, mahasiswa UM dapat mempertimbangkan kebutuhannya sendiri di samping kewajiban melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Penulis: Nabila Husna, Inanti Wulan, Andri Taufik
Editor: Diana Yunita