Kurikulum 2013, Guru Malas atau Pemerintah Belum Siap?

oleh Imai Larasati* Tentu masih lekat di ingatan kita semua polemik yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia

oleh Imai Larasati*

Tentu masih lekat di ingatan kita semua polemik yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia tahun lalu. Penerapan kurikulum baru yang dinilai banyak pihak terlalu terburu-buru dan sarat akan  kepentingan politik. Pemerintah banyak dikecam karena pada saat itu juga bersamaan dengan berakhirnya masa kerja menteri pendidikan Mohammad Nuh. Masyarakat awam yang sejatinya bahkan tidak mengetahui apa kurikulum yang ditetapkan untuk pendidikan anak mereka terburu-buru menyimpulkan bahwa pemerintah menjadikan anak mereka sebagai alat uji coba berkat pemberitaan di media sosial, elektronik, maupun media cetak. Karena banyak orang tua minim pengetahuan tentang sistem pendidikan. Menurut mereka pendidikan ya sekolah–pulang pergi untuk menuntut ilmu. Tidak benar-benar mengerti apa yang dipelajari oleh anak mereka diatur oleh kurikulum. Bahkan masih banyak orang tua menitipkan pengambilan laporan hasil  belajar anak mereka kepada tetangga dikarenakan ada pekerjaan maupun alasan sepele karena tidak ada kendaraan.  Selain itu banyak orang tua yang juga tidak menyadari kalau bentuk laporan hasil  belajar anak mereka berubah-ubah  karena ada perubahan kurikulum.

Efendi (2008) menjelaskan bahwa aplikasi kurikulum dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi: (1) kurikulum sebagai sebuah rencana pendidikan siswa dan (2) kurikulum sebagai bidang kajian. Kurikulum sebagai rencana pendidikan menyangkut semua kegiatan siswa yang direncanakan, dan kemudian disempitkan menjadi mata pelajaran yang menjadi tanggungjawab sekolah. Sedangkan kurikulum sebagai bidang kajian berisikan ruang lingkup kurikulum itu sendiri, serta teori dan praktek tentang proses pengembangan kurikulum.

Pemerintah sebagai penentu kebijakan menemui banyak sekali kendala dalam penerapan kurikulum 2013 di sekolah, terutama sekolah-sekolah di pedesaan, dan sekolah pada tingkat menengah. Kendala yang paling umum dihadapi yaitu kurangnya buku bahan ajar, sumber daya guru yang kurang memadai, dan tidak tersampainya esensi kurikulum 2013 kepada sekolah dengan baik. Sehingga masih banyak guru yang belum memahami apa itu kurikulum 2013 dan sistem penilaiannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang guru SD negeri di Kelurahan Landungsari, Kaupaten Malang, beliau mengaku masih bingung dengan penilaian untuk raport dan dipusingkan dengan keluhan para wali murid yang kebingungan mencari buku pendamping untuk anak mereka. Hal ini dikarenakan pembagian buku yang kurang merata sehingga banyak wali murid harus foto copy sendiri. Selain itu beliau adalah satu-satunya guru di sekolah tersebut yang mengikuti pelatihan implementasi kurikulum 2013 namun mengaku tidak memahami apa yang disampaikan dengan maksimal.

Kurikulum 2013 bukan tidak diuji cobakan terlebih dahulu sebelum diterapkan. Kurikulum 2013 menuntut guru untuk selalu berkreasi dan berinovasi agar kegiatan belajar pembelajaran lebih menarik tanpa mengesampingkan pentingnya materi yang disampingkan. Jika guru mampu berkreasi dan berinovasi, maka kurangnya buku bahan ajar bukan lagi menjadi masalah. Karena kegiatan belajar pembelajaran tetap dapat berlangsung meskipun hanya terdapat beberapa buku bahan ajar di kelas. Guru juga dituntut untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman agar materi yang disampaikan dapat diterima anak dengan baik. Semua kembali pada pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM) guru. SDM guru yang memadai memang menjadi masalah yang belum terselesaikan selama beberapa tahun terakhir.

Sebagai bangsa yang dewasa, kita tidak boleh hanya mengikuti arus dan melihat dari satu sisi saja. Kita harus mempertimbangkan alasan mengapa pemerintah membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Kurikulum 2013 maupun alasan mengapa para guru tetap mempertahankan metode mengajar mereka meskipun pemerintah telah mengganti teacher centered learning dengan student centered learning. 

 

Ada dua alasan mengapa pemerintah selalu melakukan pembaharuan di bidang pendidikan. Pertama, karena perkembangan teknologi dan informasi yang semakin maju tidak hanya membawa manfaat, namun juga kerugian terutama moral generasi muda bangsa. Pembaharuan diperlukan agar penyelenggaraan pendidikan dapat mencapai standar yang diharapkan. Dan yang kedua adalah untuk menghasilkan lulusan dengan SDM produktif sehingga mampu bersaing dalam dunia kerja dan tidak menajadi beban pembangunan. Namun tidak melupakan akhlak yang dimiliki oleh lulusannya. Sehingga kurikulum 2013 lebih mengutamakan nilai spiritual dan sosial daripada nilai pengetahuan dan keterampilan. Peserta didik tidak dituntut dengan nilai-nilai yang tercermin dalam angka, tapi sejauh mana pemahaman yang mereka miliki terhadap materi yang disampaikan dan bagaimana mereka mencerminkan sikap perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian besar guru yang memilih untuk tetap menggunakan teacher centered learning adalah guru yang sebagian besar telah berusia lanjut dan telah mengajar selama puluhan tahun. Karena tujuan utama mereka adalah mencerdaskan anak bangsa apapun caranya. Namun juga tidak dipungkiri guru yang berada di pedesaan kewalahan mengikuti kemajuan terutama di bidang pendidikan karena keterbatasan informasi. Selain itu juga banyak guru yang mengajar sekedar untuk memenuhi tanggung jawab moral atas gajinya. Sehingga mereka lebih memilih untuk mempertahankan metode mengajar mereka.

Pada dasarnya semua kurikulum baik, tidak ada kurikulum yang dibuat untuk menghancurkan sistem pendidikan, atau untuk menjerumuskan anak-anak dalam jurang kebodohan meskipun penerapannya masih terkendala banyak hal. Kurikulum 2013 maupun kurikulum 2006 memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencerdaskan bangsa. Bukan hanya pemerintah ataupun para guru yang harus memikul beban cita-cita tersebut. Kita semua sebagai bangsa Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mencerdaskan bangsa ini. Mulai dari mencerdaskan diri sendiri dengan tidak begitu saja mengikuti arus dan menilai baik-tidaknya sesuatu tanpa mempertimbangakan hal-hal penting lainnya.

*Penulis adalah  mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan dan bergiat di LPM Siar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA