Judul : Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki
Penulis : Pepi Al-Bayqunie
Penerbit : Javanica
Cetakan : Pertama, 2016
Jumlah Halaman : 383 halaman
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di wilayah Sulawesi Selatan, terdapat 5 jenis gender yang diakui. Budaya Bugis mengenali 5 jenis gender yang terdiri dari 4 jenis gender, yakni oroane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang bersikap menyerupai laki-laki), calabai (laki-laki yang bersikap menyerupai perempuan), dan 1 jenis para-gender yang disebut bissu.
Mengusung biografi dari salah seorang bissu yang cukup terkenal, Pepi Al-Bayqunie berhasil membawa kita mengenal jejak budaya Bugis yang belakangan sudah sangat sulit ditemui. Puang Matoa Saidi nama bissu tersebut. Sang bissu terkenal berkat perannya dalam penampilan teater dari naskah Sureq I La Galigo. Bissu sendiri jika diistilahkan dengan bahasa masa kini, mungkin lebih mudah dipahami sebagai ‘waria sakti’.
Mereka adalah sosok calabai yang telah melalui prosesi irebba atau pelantikan bissu. Dalam adatnya, bissu berperan sebagai sosok pemimpin ritual adat Bugis. Hal ini tidak telepas dari kehidupan bissu pada zaman kerajaan yang difungsikan sebagai pendeta agama Bugis kuno.
Tokoh utama dari kisah ini, Saidi, merupakan calabai atau waria. Masa kecil Saidi memberikan gambaran yang telah sangat lumrah di kalangan masyarakat, mengenai bagaimana penerimaan masyarakat yang cenderung kurang baik terhadap golongan minoritas yang dianggap ‘berbeda’.
Saidi kerap mendapatkan hinaan dan cemoohan, termasuk dari sosok ayahnya sendiri. Merasa tidak bahagia dengan kondisinya, ia pun memutuskan untuk merantau. Dalam perantauannya itulah, Saidi menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Ia bertemu dengan kelompok bissu yang berhasil membuatnya memahami alasan mengapa calabai diciptakan di dunia.
Perjalanannya setelah menjadi bissu pun tidak mudah. Saidi kerap kali dihadapkan dengan konflik yang masih sama, terkait bagaimana kerasnya hidup terhadap kaum yang dianggap menyalahi kaidah agama yang telah melekat pada masyarakat umum. Terlepas dari itu semua, Saidi tetap bertahan dengan ‘jalannya’ sebagai bissu, bahkan mendapatkan gelar Puang Matoa, pemimpin bagi kelompok bissu.
Penggambaran dari kisah sang Puang Matoa sangat lekat dengan adat yang masih berlaku di wilayah Sulawesi Selatan. Beragam prosesi adat yang melibatkan bissu dengan Tari Maggirik-nya (tarian menusukkan keris ke anggota tubuh yang dilakukan ketika prosesi adat) digambarkan dengan cukup jelas.
Sisi hidup calabai dan bissu yang kelam pun tidak dipisahkan. Bissu kerap kali dihadapkan dengan konflik akibat dogma agama yang cenderung menyudutkan kaum minoritas dengan kekerasan. Kondisi yang sangat sering terjadi, bahkan di masa kini. Masyarakat dengan kecenderungan mereka membangun stigma negatif terhadap kelompok sosial yang dianggap ‘berbeda’.
Meski berbentuk biografi, kisah Puang Matoa Saidi ini dikemas cukup apik dengan alur yang mengalir. Bahasa yang digunakan pun lugas sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap gambaran dari kisah yang dituliskan. Buku ini dirasa sesuai bagi pembaca yang menggemari genre budaya nusantara.