Malang – Solidaritas Sosial Malang (SSM) menggelar diskusi pada Sabtu malam (23/10) di Kedai Lowak Merjosari, Malang. SSM sendiri merupakan gerakan yang dulunya bernama Solidaritas Pangan Malang, gerakan nonhierarkis yang bergerak di bidang pangan selama pandemi. Untuk menjaring solidaritas yang lebih luas di Kota Malang, kelompok ini akhirnya berganti nama menjadi Solidaritas Sosial Malang (SSM). Kelompok yang awalnya terbentuk dari lingkar pertemanan para anggotanya ini berdiri secara otonom, di mana masing-masing anggotanya tidak mewakili instansi manapun.
Agenda yang dilakukan SSM selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Malang di antaranya dapur umum, warung umum, layanan isoman, dan pasar gratis. Biasanya, mereka menyalakan dapur umum di pagi hari untuk memasak, kemudian membagikan makanan gratis kepada masyarakat di sore hari. Dalam hal ini, SSM menyasar kaum rentan yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya di jalanan. “(Kami) Berharap dapur umum terus berlanjut. Kontinuitas dan konsistensi (diperlukan) agar tetap terjaga. Soalnya, membangun keduanya itu lebih sulit daripada membangun kolektif,” kata Nisrina Aulia, salah seorang pembicara.
Lebih lanjut, Nisrina mengatakan bahwa selama SSM turun ke jalan, masih banyak ditemukan kasus-kasus ketimpangan ekonomi. “Dapur umum akan tetap dibutuhkan, karena kalau dilihat di lapangan, masih banyak ketimpangan ekonomi yang terjadi. Ya … masih bakal tetap diperlukan dapur umum itu.” tutupnya.
Selain soal pangan, diskusi juga membahas kondisi di wilayah Indonesia timur, tepatnya Papua. Robert Alua, seorang mahasiswa asal Papua, menceritakan sejumlah keterbatasan yang dialami masyarakat di daerah asalnya, seperti keterbatasan akses internet dan kesulitan menyampaikan aspirasi/menggelar diskusi. “Jujur saja kami di sini (Jawa) masih bisa bersuara, diskusi ruangan, atau aksi demonstrasi damai, itu masih bisa. Tapi kalau di Papua, ruang demokrasi itu memang … tidak ada itu,” ungkap Robert.
Lebih jauh, diskusi juga dihadiri oleh Solidaritas Rukun Pakel. Tanasaghara, seorang musisi yang turut bersolidaritas, menceritakan perjuangan warga Desa Pakel, Banyuwangi, dalam melalui konflik agraria.
Sejarah mencatat, perjuangan warga Pakel sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak 1925. Pada masa itu, warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada pemerintah kolonial. Pada 11 Januari 1929, permintaan warga dikabulkan Bupati Banyuwangi pada masa itu, Noto Hadi Suryo. Akan tetapi tak berlangsung lama, pejabat lokal merampas kebijakan tersebut, dengan alasan warga harus mendapat izin dari kantor kehutanan.
Berpuluh-puluh tahun usai kolonialisme, pada 17 Agustus 1999, warga Pakel berhasil merebut kembali lahan mereka. Akan tetapi, perampasan lahan warga kembali terulang. Kini, warga menilai bahwa pelakunya adalah PT Bumi Sari dan Perhutani.
Warga Pakel pun bertahan dan melakukan perlawanan terhadap perampasan lahan, hingga pada 2019 lalu, mereka berhasil merebut kembali lahan mereka. “Puncaknya, tahun 2019 mereka (warga) berhasil menduduki lahan secara penuh. Mereka mulai merasakan kemenangan-kemenangan kecil,“ ujar Tanasaghara.
Surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi Nomor 280/600.1.35.10/II/2018 menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Bumi Sari. Oleh karena itu, menurut Tanasaghara, sudah sepatutnya warga Pakel memiliki hak penuh atas tanah mereka.
Dalam pengorganisirannya, warga Pakel menggunakan sistem pengelolaan semacam AD/ART. Sementara itu, lahan dikelola secara komunal. “Jadi nggak ada kepemilikan lahan pribadi secara tersurat. Nah, di Pakel, lahan yang mereka dapat itu bisa dikelola sampai anak cucu, tapi mereka tidak bisa menjual/menyewakan tanah mereka,” terang Tanasaghara.
Tanasaghara menilai, keberhasilan warga Pakel dalam mendapatkan lahan mereka kembali bukan berarti perjuangan telah selesai. Bahkan, ia menyebut bahwa perjuangan warga Pakel dalam proses litigasi masih ada di tahap awal. Belum lagi pengorganisiran warga yang akan sampai pada titik jenuh. Akan tetapi, Tanasaghara percaya bahwa warga Pakel telah memahami hal itu. “Mereka (warga Pakel) paham betul tentang tanah. Mereka yang bergerak di lapangan tentunya lebih paham mengenai perjuangan mereka. Bukan kita, yang dari luar, yang lebih paham dan menceramahi warga yang sedang berjuang.” pungkasnya. (dlt//avf)