Kelompok Teater Komunitas (TeKo) suguhkan pentas produksi berjudul “Asmaralockdown” pada Sabtu malam (25/11). Pentas produksi yang diadakan di IQ Coffee, Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang itu mengangkat penampilan berdasarkan riset dari para pemeran. Riset yang dimaksud adalah proses pengamatan para pemeran dalam kehidupan masing-masing.
Rahmandhani (22), aktor sekaligus sutradara, menceritakan penampilan Asmaralockdown ini membawa keunikan tersendiri dari pentas-pentas sebelumnya. Lelaki yang akrab dipanggil Gundul itu ingin menonjolkan pesan-pesan aktualisasi. Riset dari para pemeran itu kemudian diwujudkan melalui diri melalui gerak dan dialog para pemeran.
“Menurutku lebih ke kita memahami diri sendiri dalam bentuk kesadaran. Ada keyakinan, kepercayaan, dan realitas dalam kehidupan masing-masing aktor yang dibentuk dalam suatu kesadaran,” ucap Gundul.
Gundul mengaku, konsep pementasan ini terinspirasi dari novel Asmaraloka karya Danarto. Dari buku itu, ia menyimpulkan adanya tiga hal yakni : keyakinan, kepercayaan, dan realitas. Ketiga hal itu lah yang menjadi ide utama dari penampilan ini.
Meski begitu, ia tak mengacu penuh proses kreatifnya dari novel tersebut. Sebagai pegiat teater muda yang pertama kali menjajal sutradara, ia memilih untuk membebaskan para pemeran untuk mengeksplorasi tiga hal tersebut melalui pengalaman hidup masing-masing.
“Minggu pertama kita nyari (pengalaman masing-masing) kita tulis. Jadi, selama seminggu itu mulai bangun tidur sampai tidur lagi apa yang kita temukan peristiwa, apa yang kita temukan, dalam bentuk catatan. Akhirnya kajiannya di situ kita langsung temukan apa yang diunggulkan dari cerita minggu ini,” jelas Gundul.
Gundul mengaku mendapatkan pengalaman kematian saat ia melihat ajal menjemput orang-orang terdekatnya. Ia memaknai kematian sebagai proses mengerikan yang menunjukan relasi antara manusia dengan Tuhannya. Ia mengaplikasikan pemaknaan sakratulmaut melalui ekspresi kesakitan selama penampilan.
Begitu juga dengan Edho, aktor dengan pengalaman spiritualnya selama beribadah di gereja. Ia mengaku sempat merinding saat datang ke gereja. Ia juga memaknai seorang pemabuk yang menyanyikan lagu religi sebagai bentuk kedekatan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Rheina lebih menonjolkan pesan karma hidup sebagai pertanggungjawaban hidup manusia. Ia juga memaknai hal itu sebagai bentuk relasi manusia dengan kuasa Tuhan.
Untuk menyiapkan pentas, Gundul bersama teman-teman TeKo lain membutuhkan waktu tiga bulan dengan riset masing–masing peran selama dua minggu. Ia juga melakukan kajian terkait temuan masing-masing peran di setiap pekannya.
Baca juga : Pameran Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan: Menolak Lupa Merawat Memori
Dengan membebaskan narasi masing-masing pemeran, Gundul mengaku harus menyelaraskan berbagai temuan riset para pemeran. Ia bersama teman-teman TeKo lain terus menggodok temuan-temuan para pemeran selama persiapan pentas.
“Aku cuma ngasih patokan, ‘kamu bawa dari ceritamu, carilah keyakinan dari ceritamu kepercayaan dari cerita realitasmu’. Akhirnya di situ kita rembukan, kita kaji dalam-dalam, kita sinkronkan satu sama lain dari segi bentuk, narasi, dan sebagainya,”
Melalui proses masing-masing pemeran tersebut, Gundul lebih menekankan pemahaman diri sendiri melalui kesadaran. Penampilan ini menjadi pentas produksi yang ke-15 sejak berdirinya TeKo tahun 2014. Gundul juga mengatakan penampilan ini masih akan terus dikembangkan (work in progress).
“Semoga Teater Komunitas terus berkarya. Asmaralockdown kan juga work in progress semoga bisa berkelanjutan sampai masterpiece,” tandasnya.
Penulis : Delta Nishfu
Foto : Shofi Nur Jannah
Edior : Farid Wahyu T.S