Blended Learning di UM, Mahasiswa dan Dosen: Fasilitas Harus Lebih Memadai

Senin (25/10), Universitas Negeri Malang (UM) mulai menerapkan perkuliahan tatap muka terbatas untuk mahasiswa angkatan 2020, 2021, dan

ptmtum
Foto: Allis/Siar

Senin (25/10), Universitas Negeri Malang (UM) mulai menerapkan perkuliahan tatap muka terbatas untuk mahasiswa angkatan 2020, 2021, dan pascasarjana. Perkuliahan berlangsung dengan sistem blended learning yang merupakan gabungan dari luring dan daring. Diberlakukannya kuliah tatap muka terbatas ini merupakan pengalaman perdana bagi mahasiswa angkatan 2020-2021 dalam mengikuti kuliah tatap muka, setelah sebelumnya menjalani kuliah daring secara penuh.

Kapasitas mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tatap muka dibatasi sebanyak 50% dari total jumlah peserta mata kuliah. Dengan catatan, mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tatap muka harus telah memenuhi sejumlah syarat, seperti telah divaksin dan menjalani karantina mandiri. Di samping itu, untuk terhubung dengan mahasiswa yang tidak mengikuti perkuliahan tatap muka, di tiap kelas disediakan fasilitas seperti WiFi, LCD, dan kamera. Meski begitu, tak jarang mahasiswa berinisiatif untuk membawa kamera sendiri untuk membantu kelancaran.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Jurusan Fisika, Hari Wisodo, menuturkan bahwa di awal sistem baru ini, ia menjumpai mahasiswa yang tidak konsisten dalam mengikuti metode perkuliahan.  “Tiba-tiba putus dikarenakan mahasiswa yang tidak konsisten dalam mengikuti sistem ini. Beberapa mahasiswa yang (hari ini) mengikuti kegiatan luring kemudian mengikuti kegiatan daring di hari berikutnya,” katanya ketika diwawancarai hari ini (27/10) via WhatsApp.

Lebih lanjut, Hari menilai bahwa sistem blended learning sejatinya tidak cocok untuk semua mata kuliah. “Sistem ini cocok, tapi tidak pada semua matkul (mata kuliah), terlebih di matkul praktikum. Kalau teori … masih bagus dan berjalan. Praktikum tidak bisa dilakukan seperti ini (campuran daring-luring).” ungkapnya. Ia juga menilai bahwa efektivitas blended learning dapat diwujudkan dengan koordinasi antara mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Fasilitas seperti WiFi dan LCD juga sangat menentukan, sebab sarana dan prasarana harus selalu mendukung.

Di sisi lain, Shofi Nur Jannah, mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) angkatan 2021 yang mengikuti perkuliahan tatap muka menilai, sistem blended learning belum maksimal. Ia mengamati, teman-temannya yang tidak mengikuti perkuliahan tatap muka berpotensi “tertinggal”. “Menurut saya belum seimbang antara online dan offline karena dosen belum bisa memaksimalkan keduanya sekaligus … masih memprioritaskan yang offline dan yang online sedikit tertinggal karena kendala fasilitas.” ungkap Shofi pada Senin (25/10). Meski begitu, Shofi tak menampik bahwa perkuliahan blended learning menguntungkan dirinya, sebab penyampaian materi secara luring lebih dapat dipahami dan membuat mahasiswa aktif, sehingga terjadi komunikasi dua arah antara mahasiswa dan dosen.

Mahasiswa lain, Nailyviatul Mazdha Khirani dari Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) angkatan 2020 mengungkapkan kendala serupa. Ia meminta kampus untuk menyiapkan fasilitas yang lebih memadai. “Masih ada beberapa kendala seperti fasilitas, sih. Walaupun begitu lebih baik daripada full daring. Tapi pihak kampus juga harus menyiapkan fasilitas yang memadai,” katanya pada Senin  (25/10).

Kendati demikian, Naily mengaku senang dengan perkuliahan tatap muka karena ini merupakan pengalaman pertamanya. “Seru menurutku, karena dosennya sendiri juga mengemas mata kuliah teori menjadi sesuatu yang ada di sekitar kita. Dan karena hari ini, kan, pertama kuliah yang ‘benar-benar kuliah’.” tambahnya antusias. (als/ann/syf//avf)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA