Malang — Bertepatan dengan Hari Tani Nasional, sejumlah kelompok mengadakan diskusi yang mengangkat tema “Tandur Gulma, Refleksi Hari Tani” di Pan Java Coffee Malang, Minggu (24/9/23). Acara tersebut diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), gabungan Lembaga Pers Mahasiswa, dan kelompok non pemerintah lainnya.
Tema tersebut diangkat karena adanya keresahan yang dirasa terhadap tingkat kesejahteraan para petani yang menurun pada tahun 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) Gabungan turun 2,81% ke level 105,41 dan NTP tanaman pangan turun sebesar 0,11% ke level 97,58 pada Mei 2022.
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan. Mulai dari petani kopi muda, Rifqy Azriel, dosen Agroteknologi Universitas Widyagama Malang, Tri Wardhani, sampai Soesilo Toer, sastrawan Indonesia asal Blora.
Rifqy Azriel sebagai petani kopi muda mengutarakan keresahannya hari ini. Ia mengungkapkan banyak petani yang cenderung bergantung pada penggunaan pupuk subsidi.
Keresahan petani kini semakin besar, ketika melihat fakta bahwa sebagian besar tanah pertanian di Indonesia sudah ketergantungan penggunaan pupuk subsidi. Petani yang setiap tahunnya menggunakan pupuk subsidi dari pemerintah merasa kesulitan untuk berganti ke pupuk organik karena tanah sudah terlanjur rusak.
“Banyak petani yang curhat ke saya. Mereka pernah bergantung pada pupuk subsidi itu, ketika mereka mau untuk tidak bergantung, tanah sudah terlanjur rusak. Mau ganti pupuk tapi terlalu lama, mereka juga bingung apa yang harus dilakukan, mereka gagal panen yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan harga,” ungkap Rifqy Azriel sore itu.
Selain itu, kurangnya pembelajaran dan penyuluhan kepada petani menjadi salah satu faktor ketergantungan pupuk subsidi.
Tri Wardani juga menyampaikan kesedihannya atas kondisi petani. “Petani tergantung pada pupuk, saya terus terang juga sedih pada saat ke Taji. Petani di sana mempunyai sumber daya yang sangat banyak. Ada tanaman paitan, itu nitrogennya kaya disebut pupuk hijau. Tapi mereka tidak memanfaatkan, karena tidak terbiasa, dan tidak praktis,” ujarnya.
Namun untuk mengubah pola pikir petani tidak serta-merta mudah karena mereka sudah mempunyai cara bertani secara turun temurun, sehingga sulit jika mengubah secara langsung.
“Tidak mudah bila langsung mengubah pola pikirnya, jadi harus pelan-pelan, mulai dari pendampingan hingga membersamai melakukan pembelajaran, penyuluhan terkait pertanian tersebut. Cara yang bisa dilakukan yaitu dengan bertahap,” ucap Tri Wardhani.
Petani tersebut bertani juga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, belum lagi untuk petani yang sudah berkeluarga, punya anak dan istri, pastinya ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
“Kita berpikir secara nalar, orang yang bertani ia bisa makan, ia sudah terpenuhi hak untuk makan itu. Tapi ternyata tidak, banyak dari petani yang kelaparan bahkan rumahnya dari bambu,” ujar Rifqy.
Soesilo Toer juga memaparkan terkait banyaknya jumlah tanaman pangan yang bisa dibudidayakan untuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
“Di Indonesia, jumlah tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk menambah isi perut itu terbanyak nomor dua setelah Brazil,” ujar Soesilo Toer.
Meski begitu, hal tersebut tak menjamin kesejahteraan petani di Indonesia. Padahal karena petanilah secara tidak langsung kebutuhan pangan kita terpenuhi. Namun, petani masih saja dipandang sebelah mata.
“Petani itu adalah pejuang. Tidak ada yang nyuruh, tidak minta ganti rugi, dan tidak minta upah. Jadi semua petani juga pejuang, pahlawan,” tandas Soesilo Toer.
Penulis : Sefira Laila
Editor : Shofi Nur Jannah
Foto : Gupita Kusumawardhani