Dalam dunia kesusastraan Indonesia, para pengarang sempat disebut ‘latah’ karena kompak mengangkat isu ʻ65 ke dalam karya-karyanya. Hingga kini, kita memang banyak menemukan karya sastra berlatar tahun 1965 yang tentu tidak lepas dari kisah-kisah seputar pemberontakan PKI, genosida, dan segala sesuatu yang terkait dengan itu. Menceritakan isu ‘65 dari berbagai sudut pandang menjadi tren. Akan tetapi sepengamatan saya, sudut pandang-sudut pandang itu didominasi oleh tokoh laki-laki. Banyak tokoh laki-laki dengan pola nasib serupa: Aktivis yang menjadi tahanan politik dan harus berpisah dengan sang kekasih. Pola cerita yang heroik dan melankolis seperti ini sejujurnya memang paling keren bagi saya, setidaknya sebelum saya membaca novel Dari dalam Kubur (selanjutnya disingkat DDK) karya Soe Tjen Marching yang diterbitkan pertama kali pada September 2020 oleh Marjin Kiri.
Berbeda dengan banyak karya sastra yang mengangkat tema serupa, cerita dalam DDK berpusat pada hubungan ibu dan anak. Bagian pertama novel ini menghadirkan sudut pandang bocah bernama Karla yang mengalami krisis identitas. Di lingkungan rumahnya, ia dijuluki ‘Cino Ireng’ karena kulitnya gelap dan matanya bulat, padahal ia berasal dari keluarga Tionghoa. Sementara itu di sekolah, teman-temannya mantap menggolongkan dirinya sebagai orang Jawa. Karla merasa tersudut di antara ibu, ayah, dan kakak yang berkulit putih dan bermata sipit. Di antara keluarganya, hanya dirinya yang tak bisa berbahasa Mandarin, sehingga ia kerap disisihkan dari obrolan. Karla merasa dianaktirikan oleh keluarganya, khususnya sang ibu. Karla tak mengerti mengapa wanita itu begitu membenci pemerintah, pribumi, gereja, hari Kartini, dan segala hal yang Karla anggap menyenangkan.
Bagian kedua novel ini menghadirkan sudut pandang Djing Fei alias Lydia, ibu Karla. Jauh sebelum Karla lahir, Djing Fei adalah seorang guru bahasa Mandarin di sekolah Tionghoa. Kehidupan Djing Fei, suami, dan anak laki-lakinya terbilang baik, sebelum tentara menjemput dan membawa paksa Djing Fei pada 1966. Tuduhan sebagai anggota Gerwani membuat Djing Fei dipenjara selama beberapa tahun dan terpisah dari keluarganya. Berbagai penindasan ia—dan tahanan wanita lainnya—terima di penjara, mulai dari makian, kerja paksa, hingga kekerasan fisik berupa penyetruman, pemukulan, dan pemerkosaan. Setelah melewati babak kelam itu, Djing Fei bebas dari penjara dalam keadaan mengandung Karla. Ia kembali pada suami dan anaknya. Sejak itu mereka hidup dengan nama baru, agama baru, dan berusaha mati-matian menyembunyikan status Djing Fei sebagai eks tahanan politik (tapol).
Beretnis Tionghoa dan berhubungan dengan Gerwani adalah kombinasi mematikan bagi perempuan yang hidup di zaman orba. Menjadi Tionghoa sudah membuatmu terasing di negara tempatmu lahir dan dibesarkan. Semua yang berbau Tionghoa disamakan dengan PKI. Bahkan agama etnis ini pun diidentikkan dengan komunisme, sehingga mereka harus meninggalkan agama mereka dan memilih di antara lima agama besar yang diakui pemerintah saat itu (Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha). Ketika dirimu juga diketahui berhubungan dengan Gerwani—organisasi wanita yang berafiliasi dengan PKI, lengkap sudah ‘dosa besar’ yang kau lakukan. Dosa besar itu hinggap ke pundak Djing Fei. Dosa besar yang membuat aparat mengoyak-ngoyak tubuhnya di penjara, atas nama Pancasila.
Sebelum dipenjara, Djing Fei terlibat dalam gerakan pemberdayaan perempuan yang digagas oleh beberapa kawannya. Mereka mengajari perempuan-perempuan desa membaca dan menulis. Mereka juga pasang badan ketika salah satu kawan mereka mengalami KDRT. Yang Djing Fei tahu, gerakan semacam itu tak pernah mengklaim diri sebagai Gerwani atau apa pun. Yang Djing Fei tahu, ia dan kawan-kawannya hanya berusaha memberdayakan perempuan agar tak lagi ditindas oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Gerakan pemberdayaan perempuan itu harus kandas seiring dengan hilangnya kawan-kawan Djing Fei satu per satu, hingga akhirnya Djing Fei sendiri yang mendapat giliran dijebloskan ke penjara.
Pada masa orba, jangan harap penjara hadir sebagai sarana pendidikan yang ramah bagi tahanan wanita. Pada 2015, International People’s Tribunal 1965 atau pengadilan rakyat tentang tragedi 1965 yang diselenggarakan di Deen Hag telah mengundang berbagai saksi. Salah satu saksi wanita yang disembunyikan identitasnya menuturkan seperti apa perlakuan yang ia terima sewaktu menjadi tahanan politik. Kesaksiannya membuat ruang sidang membeku, terutama ketika ia menceritakan, para tahanan wanita dipaksa mengaku sebagai Gerwani, ditelanjangi, hingga diperintahkan untuk mencium kelamin para petugas. Dalam DKK, detail-detail kekerasan seperti itu digambarkan secara gamblang, bukan untuk diromantisasi atau dieksotisasi, melainkan untuk mengilustrasikan kekejaman aparat sekaligus mengkritisinya.
Ketika tahanan-tahanan wanita itu bebas, penindasan terhadap mereka tak lantas berhenti. Djing Fei dan banyak eks tapol wanita lainnya di dunia nyata harus menerima stigma ‘sundal’ atau pelacur dari masyarakat. Status eks tapol yang pada masa itu terpampang nyata di KTP membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan dan hidup sebagai golongan menengah ke bawah. Djing Fei sedikit beruntung. Ia berhasil menyembunyikan statusnya sebagai eks tapol dengan mengganti identitas secara ilegal. Dengan identitas barunya sebagai Lydia, ia bekerja serabutan demi menghidupi keluarga kecilnya. Lydia menjalani sisa hidupnya dengan perasaan waswas, marah, dan yakin bahwa dirinya telah gagal menjadi anak, menjadi istri, dan menjadi ibu. Ia pun dihadapkan pada dilema sayang sekaligus benci pada anak bungsunya, Karla. Melihat Karla membuatnya teringat dengan kekerasan seksual yang ia alami di penjara. Sebuah pergolakan batin yang jarang kita temukan pada novel-novel ‘65 lainnya yang mengambil sudut pandang korban laki-laki. Dalam DDK, perasaan rendah diri, depresi, dan serba salah jauh lebih kuat.
Lydia dan Karla hadir sebagai tokoh yang menyimpan amarah dan dendam luar biasa akibat rasisme, diskriminasi, dan intimidasi yang mereka terima. Oleh karena itu, tak perlu kaget jika narasi dalam novel ini dipenuhi oleh ungkapan provokatif dan kritik blak-blakan terhadap pemerintah, masyarakat, dan agama. Ungkapan provokatif dan kritik itu sayangnya sering kali melebar ke mana-mana dan berpotensi membuat pembaca lelah. Tapi apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang tertindas macam Lydia dan Karla? Narasi bahwa hati mereka begitu besar dan berusaha memaafkan? Tentu mustahil. Juga jangan berharap tidak merasakan bias dalam novel ini, karena Soe Tjen sendiri adalah keturunan Tionghoa yang orang tuanya dituduh PKI pada masa orba. Boleh kita katakan bahwa DDK mirip memoar korban ‘65. Penyusunannya cukup melelahkan untuk dinikmati sebagai karya sastra yang elok. Dari segi etetis, DDK memang tak terlalu memuaskan, meski bukan berarti jelek juga.
Soe Tjen tahu betul bahwa batas antara fiksi dan kenyataan dalam novelnya samar. Novel ini bahkan dibuka dengan peringatan, “Kisah ini bukan fiktif belaka. Nama tokoh, tempat, dan peristiwa bahkan lebih nyata dari segala kisah nyata.” Makin jauh membacanya, kita akan makin tercengang, ngeri, marah, dan jijik saat menyadari kalau kisah dalam novel ini memang bukan sekadar karangan. DDK berusaha menyampaikan kepada kita, bagaimana sejarah versi orang-orang yang kalah; bagaimana gerakan perempuan dalam memajukan perempuan lain dihancurkan oleh aparat. Saat ini, Soe Tjen sedang menggarap novel lanjutan dari DDK. Saya tentu akan dengan senang hati sekaligus ‘waswas’ menantikan itu.
“Bukan Arab atau Jepang atau Belanda yang jahat. Bukan penjajah yang jahat, tapi penjajahanlah yang jahat. Siapa pun bisa jadi jahat dan berbuat keji, tapi jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan seseorang. Karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan.” (hlm. 238)
“Inilah penjajahan yang sempurna—ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka.” (hlm. 341)
A
Penyunting: Agilia An’amta