Eksistensi Pasar Comboran

Pada Sabtu (01/02), berkesempatan diajak kawan ke Comboran. Pikir-pikir malas, karena memang sudah sering lewat. Bagai kerbau dicocok

Dokumentasi/LPM Siar

Pada Sabtu (01/02), berkesempatan diajak kawan ke Comboran. Pikir-pikir malas, karena memang sudah sering lewat. Bagai kerbau dicocok hidungnya, akhirnya berangkat. Dan hasilnya mengejutkan, di sana seperti mendapat angin segar, karena tempatnya yang unik, yakni berdekatan dengan rel kereta api, bahkan masih aktif digunakan. Berharap akan melihat secara langsung saat kereta api melintas.

Untuk ukuran kota, Malang memiliki cukup banyak pusat perbelanjaan. Mulai dari pasar tradisional hingga modern. Kota yang dijuluki Kota Bunga ini tak hanya dianugerahi ragam destinasi wisata, namun juga dengan pusat perbelanjaan yang bisa memuaskan hasrat.

Pasar modern (mall) sudah banyak dijumpai, namun pasar tradisional tidak ikut kalah eksis. Daftar Pasar Tradisional di Kota Malang pada 2018 tercatat ada 14 pasar tradisional di Kota Malang. Dari daftar tersebut tidak tercatat bahwa Pasar Comboran termasuk dalam pasar tradisional, karena memang dari dulu sudah diakui sebagai pasar loak. Mendengar kalimat Pasar Loak, beberapa orang mungkin merasa enggan atau jijik. Dengan persepsi bahwa tempatnya kotor dan berantakan.

Comboran. Layaknya tempat penampungan untuk barang-barang yang sukar ditemui. Beberapa barang antik dipaksa menghiasi di setiap sudutnya. Bahkan kereta api yang lewat tidak menyurutkan keberlangsungan aktivitas jual-beli.

Dalam Comboran Tempat Makan Kuda yang Kini Berubah Jadi Pasar Loak, tertuang sedikit kisah bahwa sebelumnya, tempat ini—Pasar Comboran merupakan tempat penyomboran (memberi makan) kuda. Sehingga kini masyarakat mengenalnya dengan sebutan Comboran.

Sayangnya, momen yang ditunggu-tunggu, yakni saat kereta api melintas nihil. Hipotesisnya ada dua. Kereta api sudah terlebih dahulu lewat sebelum tiba di tempat atau hari libur kereta api melintas. Namun dengan senang hati mengabadikan momen yang ada dengan foto. Saya enggan apabila suatu saat ditanya apa makna dari foto ini, sebab bagi saya foto tak ubahnya sebuah seni, maka “lets art to say.”

Ada dagangan yang tidak sepenuhnya sanggup untuk ditampung di dalam kios sehingga terpaksa memilih barang dagangan di jalan lalu lalang pembeli.


Anak-anak ikut larut dalam riuh.

Pasar loak sepi adalah anggapan yang memang perlu dikubur dalam-dalam. Pada kenyataannya, orang mengantri dengan ceria menunggu dilayani.

Seperti sajian makanan, barang dagangan sudah siap untuk dijadikan hidangan bagi pembeli yang berlalu-lalang.


Sambil menggendong buah hati, anak yang satunya mulai menagih janji kepada ayahnya untuk dibelikan mainan.


Terjadinya interaksi secara langsung—yakni proses tawar menawar, antara pembeli dan penjual membuat tumbuhnya harmonisasi yang sudah jarang ditemui dalam pasar modern.

Sepanjang lorong yang saya susuri, dengan terik matahari yang bercokol di atas kepala, dan tubuh yang mulai lelah sedari pagi mondar-mandir. Saya dan kegiatan manusia di Comboran dengan pelan membereskan dagangannya. Dan mempersiakan ledakan diesok hari.

Penyunting: Mita Berliana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA