Bekerja di Pabrik Jahanam

Pasar di daerah Malang itu begitu ramai pada Jumat (29/4), tiga hari jelang lebaran. Orang-orang lalu-lalang mencari kebutuhan

kilasbalikburuhpabrik
Gambar: Diana/Siar

Pasar di daerah Malang itu begitu ramai pada Jumat (29/4), tiga hari jelang lebaran. Orang-orang lalu-lalang mencari kebutuhan untuk menyambut hari raya yang mereka nantikan. Di ujung pasar, berdiri sebuah kios kecil yang bercahaya paling terang dari kios lainnya. Di kios itu, seorang pria berusia setengah abad bernama Agus* duduk di atas kursi sederhana yang terbuat dari kayu. Pria yang kini menjadi pedagang mainan itu tengah mengingat-ingat pengalaman kelamnya bekerja di sebuah pabrik konveksi di daerah Malang.

Dua puluh tahun lalu, Agus adalah seorang pengangguran yang kesulitan mencari pekerjaan. Sejumlah pekerjaan serabutan sempat dicobanya, tetapi tak ada yang bertahan lama. Suatu ketika, sang kakak menawari Agus untuk bekerja di sebuah pabrik konveksi. Karena dirasa tak ada pilihan lain, Agus pun menerima tawaran tersebut. “Waktu itu, semua jalan yang saya tempuh buntu, jadi demi memenuhi kebutuhan keluarga, saya menerima tawarannya (kakak saya),” ujar Agus.

Pabrik tempat Agus bekerja adalah sebuah pabrik konveksi rumahan seluas 900 m2 yang dibagi menjadi tiga ruangan. Satu ruangan kecil, satu ruangan besar, dan satu ruangan rahasia. Banyak sampah berserakan di berbagai sudut ruangan. Mulai dari sampah plastik, kain, sampai sampah dari karyawan sendiri. “Tidak ada tempat khusus sampah, jadi bercampur dengan garasi, sehingga kami makan di antara sampah-sampah itu,” Agus nampak antusias saat menceritakan hal itu. Ia menambahkan, tidak ada upaya pembersihan rutin oleh pabrik.

Agus sendiri bekerja sebagai buruh angkat sekaligus bertugas membuat pola pakaian yang selanjutnya akan dijahit oleh karyawan lain. Pekerjaan itu dilakukannya selama lebih dari 8 jam sehari untuk 6 hari kerja dalam sepekan. Padahal, pasal 21 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 35/2021 telah mengatur maksimal jam kerja per hari yakni 7 jam untuk 6 hari kerja dan 8 jam untuk 5 hari kerja. Tak hanya Agus, sekitar 50 karyawan lain dengan latar belakang yang berbeda juga bernasib sama. Pabrik itu bahkan juga mempekerjakan anak yang berusia di bawah 12 tahun.

Gaji untuk karyawan pun dibeda-bedakan. Pada tahun terakhir Agus bekerja (2018), gajinya 45.000 rupiah per hari. Dalam sebulan, total gaji yang Agus dapatkan yakni 1.080.000 rupiah. Gaji itu belum termasuk potongan untuk “hal-hal lain” yang pasti ada saja di tiap hari atau bulannya. Sementara itu, karyawan perempuan digaji kisaran 20.000–25.000 per hari. Dilihat dari jumlah total per bulannya, gaji tersebut sangat jauh di bawah upah minimum Kota Malang pada 2018, yakni di kisaran 2 juta rupiah. Agus dan karyawan lain juga tidak mendapatkan tunjangan lain di luar gaji, seperti tunjangan kesehatan atau tunjangan hari raya. Karena menganut upah harian, karyawan yang cuti atau tidak bekerja di hari tersebut tidak akan mendapatkan gaji, dalam keadaan apa pun. Imbasnya, tak sedikit karyawan perempuan yang hamil tua memilih tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Agus menuturkan, perlakuan bos pabrik kepada para karyawan juga tidak mengenakkan. Ia mengungkapkan bahwa mantan bosnya itu kerap memarahi karyawan tanpa alasan yang jelas. “Kalau kerja kita lambat pasti akan dimarahi, tapi kalau kita bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, maka pekerjaan kita akan ditambah lagi,” ungkap Agus. Pernah di suatu waktu, beberapa karyawan muslim termasuk Agus dimarahi bosnya karena pergi untuk salat Jum’at, padahal saat itu tengah jam istirahat.

Di pabrik itu, sudah jadi rahasia umum bahwa si bos memiliki kenalan “orang dalam” di beberapa instansi pemerintahan, sehingga ia bisa mendapatkan info ketika akan ada kunjungan survei kelayakan ke pabriknya. Jika terjadi kunjungan survei, para karyawan akan diungsikan lebih dulu ke rumah karyawan terdekat, atau jika terdesak, semua karyawan akan dikumpulkan di suatu ruangan rahasia dan dikunci sampai petugas survei pergi. Agar rahasia makin aman, petugas survei juga diberi ‘bingkisan’.

Para karyawan pabrik itu sempat berupaya membentuk serikat buruh demi memperjuangkan hak-hak mereka. Akan tetapi, hal itu gagal ketika 3 orang pemrakarsa ide ditekan hingga 2 dari mereka memutuskan keluar. Hal itu cukup untuk menanamkan rasa takut kepada karyawan lain agar tidak macam-macam lagi. Dengan tekanan sedemikian rupa, Agus mengaku dirinya sempat stres dan sering meluapkan kekesalannya pada keluarga. Hingga pada 2018, Agus memutuskan keluar dari pabrik. “Waktu itu saya tidak peduli apa-apa lagi, yang penting saya segera keluar dari situ,” Agus memblokir semua nomor handphone yang berhubungan dengan pabrik setelah menyatakan pengunduran dirinya ke bos pabrik. Itulah perlawanan terakhir yang bisa Agus lakukan.

Setelah keluar, Agus menjadi penjual mainan keliling di sekolah-sekolah. Ketika sekolah-sekolah ditutup saat pandemi Covid-19, Agus menyewa kios di pasar dan tak lagi berjualan keliling. Kini, 4 tahun selepas keluar dari pabrik, Agus mengaku pendapatannya jauh lebih layak. “Sekarang pendapatan saya (dari berjualan di pasar) bisa 90–120 ribu rupiah per hari, jauh kalau dibandingkan sama penghasilan (saya saat) kerja rodi di pabrik dulu,” kata Agus menutup kilas baliknya.

P

*Bukan nama sebenarnya

P

Penyunting: Diana Yunita Sari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA