Jika aksara adalah jejak peradaban, maka musik adalah sukmanya. Dari tradisi ceremonial hingga langgam dolanan, kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari iringan nada yang seolah memberi nyawa pada tiap tindakan. Kita semua mungkin ingat ketika si bapak memandikan burung sambil bersenandung, atau anak kecil menabuh meja ketika jam kosong. Irama musik membentuk ingatan atas kejadian yang patut dikenang.
Musik adalah sukma peradaban. Pada setiap masa musik yang diminati datang silih berganti, bahkan musik populer beberapa waktu lalu saja sudah dibilang ketinggalan zaman. Sayang sekali jika musik hanya dianggap sebagai angin lalu, untuk itulah Museum Musik berdiri. Menampilkan kembali kemegahan musik masa lalu, menciptakan nostalgia bagi generasi tua dan kekaguman bagi generasi muda.
Kami coba mendatanginya di akhir pekan. Benar saja, Museum Musik Indonesia (MMI) yang berada di Kota Malang itu buka setiap hari kecuali Senin, beruntungnya kami. Terletak di Jalan Nusakambangan, Kecamatan Klojen, Kota Malang, museum ini cukup strategis karena dekat dengan Alun-alun Malang (Jalan Merdeka), jaraknya hanya sekitar satu kilometer ke selatan alun-alun.
Namun harus hati-hati terutama bagi yang tidak terbiasa dengan jalanan Malang, jalan searah cukup membingungkan. Jujur saja kami juga kebingungan. Kami berangkat dari arah Sukun, sempat berhenti hanya untuk memeriksa Google maps, padahal jarak yang kutempuh relatif dekat.
Perasaan ketika baru sampai depan gedung cukup aneh, tidak ada rasa lega selepas perjalanan, mungkin karena kami belum benar-benar sampai. Di depan kami, adalah Gedung Kesenian Gajayana, dan MMI berada di dalamnya, di lantai dua. Kami baru menyadarinya ketika melihat poster terpampang di dekat pintu masuk gedung. Kemudian kami masuk. Terdapat ruang liminal dengan loket karcis kosong dan tangga di kanan-kiri ruangan. Di balik loket ada panggung dan barisan bangku penonton dengan nuansa yang cukup klasik tapi sederhana.
Kami mencoba naik ke lantai dua. Langkah kaki tiap menapak anak tangga terasa memenuhi ruang gedung, sangat sunyi, perasaan liminal kembali datang.
Kami baru merasa benar-benar lega ketika berada di depan ruang museum, di depan pintu kaca yang masih terkunci. Jam menunjuk masih pukul 10 pagi, terlalu awal. Kami mengintip dari jendela, melihat seorang lelaki lanjut usia yang tengah membersihkan ruang museum diiringi alunan musik.
“Permisi, pak!” salah seorang dari kami menyapa dari balik jendela. Ia terlihat menanggapi. Ia mendatangiku sambil tersenyum, kemudian menyilakan.
“Sebentar nggeh, pak. Masih nunggu temen.” balas kami.
Kami duduk di pojok bangku penonton, mengamati seluruh ruang gedung kesenian yang tengah hampa. Tak berselang lama, seorang teman kami datang.
Kami mengetuk pintu kaca yang ternyata masih terkunci. Lelaki tua itu pun mendekat– membawa kunci kemudian membukakan pintu, dan mempersilahkan kami masuk. Atmosfer yang benar-benar beda, ruang museum dipenuhi benda-benda antik serta alunan musik yang memberikan kesan hidup. Baru masuk saja, langsung merasa nyaman.
Kami diminta mengisi buku tamu dan membayar tarif museum, lalu si bapak membawa kami melihat-lihat. Ia bernama Pak Usman, bapak yang bertugas menjaga dan merawat museum.
“Di sini ada macam-macam koleksi. Ada kaset dari berbagai provinsi di Indonesia, ada yang dari Eropa, Asia, dan Amerika. Itu ada majalah musik, boleh dibaca-baca,” Pak Usman memberi ruang bagi kami untuk mengeksplorasi koleksi museum.
Kami pun mulai mengamati koleksi, mulai dari kaset, piringan hitam dari penjuru Indonesia, hingga majalah.
Alasan didirikan
“Dulu Malang ini jadi pusat musik di Indonesia, mas, tapi sekarang sudah nggak,”
Pak Usman berucap ketika kami masih asik melihat-lihat koleksi kaset keroncong. Ia meraih kursi dan duduk di dekat lemari kaset lagu daerah. Perhatian kami berbelok dari display kaset dan piringan hitam yang tertata elok.
“Jadi adanya museum ini salah satunya untuk mengembalikan euforia itu. Namun ya, sulit mas,” lanjutnya. Sepertinya benar, ingatan kami mengonfirmasi, memang pernah disinggung sekali dalam perkuliahan bahwa dulu Malang pernah menjadi sentra musik Indonesia.
Kami beranjak dari tempat kami berdiri, maju menarik kursi untuk diduduki. Kami rasa penataan ruang museum ini cukup kreatif, meja panjang diletakkan di tengah ruang, agaknya memang dipakai untuk bincang-bincang santai.
Pak Usman lanjut menyebutkan masalah yang kerap terjadi sekarang. “Kalau sekarang kan anak muda pada terkotak-kotak dengan kelompoknya masing-masing, ada yang blues, rock, dan lain-lain. Jadi yang ramai di grupnya sendiri-sendiri (tidak bareng jadi satu),”
Pak Usman menyebutkan keunikan MMI sebagai satu-satunya museum musik di Indonesia. Dibandingkan negara-negara di eropa yang memiliki beragam museum musik dengan karakteristik masing-masing, misalnya museum blues atau museum jazz, museum musik di Indonesia hanya satu dan mencakup semua jenis musik.
Baca juga : https://siarpersma.id/terapi-minor-dan-hip-hop-nya-yang-puitis/
“Negaramu itu aneh, ada ratusan suku, musik tradisional banyak, tapi museumnya cuma satu. Hehehe,” kelakar Pak Usman meniru gurauan teman dari luar negeri.
Ketika ditanya tentang asal pengadaan koleksi, Pak Usman menjawab dengan antusias. “Macam-macam, mas, kebanyakan sumbangan dari berbagai negara.” Lebih lanjut ia menerangkan tentang pengadaan barang koleksi hingga relasi dengan dermawan
“Ya gitu lah, mas. Namanya orang kaya mungkin merasa kalau disimpan sendiri itu buat apa, jadi mereka bawa ke sini,” imbuhnya.
Kami terlibat percakapan yang cukup menarik tentang museum musik, hingga lagu yang disetel sebelumnya telah berhenti berputar.
“Sampeyan suka lagu apa, mas?” Pak Usman menawarkan salah seorang dari kami untuk memilih lagu yang akan disetel selanjutnya. Dengan bingung seorang kawan kami menjawab bahwa ia baru-baru ini suka musik, jadi tidak terlalu paham. Pak Usman menyarankan lagu Iwan Fals dan kami setuju. Ia mengambil piringan hitam dari rak, lalu memasangnya di turntable.
“Pria mana yang tak suka, senyummu juwita
Kalau ada yang tak suka, mungkin sedang goblok.”
Lagu Iwan Fals memenuhi ruang museum. Kami dihantar melihat-lihat display koleksi.
Koleksi-koleksi
Dalam ruang lantai dua Gedung Kesenian Gajayana ini, terdapat ribuan koleksi kaset, piringan hitam, dan majalah-majalah yang memuat tentang perjalanan sejarah musik dari masa ke masa. Jajaran rak dan tatanan meja kursi minimalis membuat ruangan yang tidak begitu luas ini menjadi lebih nyaman. Tidak hanya itu, di sini juga menyediakan turntable yang dapat dipergunakan untuk memutar piringan-piringan hitam sesuai dengan musik yang kita inginkan.
Semua item di museum musik dapat dimainkan dan dinikmati oleh para pengunjung. Meskipun demikian, semua kaset dan piringan hitam nampak terawat, tertata rapi dan telah digolongkan sesuai dengan asal wilayah, mulai dari Nusantara hingga mancanegara. Sedangkan buku buku majalah dimasukkan ke dalam kotakan kardus yang ditata di atas rak sebelum ditempeli label berdasarkan tahun terbitnya. Hal ini membuat para pengunjung dapat dengan mudah mencari musik musik apa yang ingin mereka nikmati.
Ada ruang khusus yang berisi alat musik dari seluruh penjuru Nusantara. Penataan display disesuaikan dengan alat musik sejenis, penggolongannya seperti alat musik petik, gesek, tiup, dan pukul. Koleksi ini merupakan sumbangan dari berbagai kepala daerah ketika berkunjung ke Malang pada tahun 2017. Di ruang ini juga ditampilkan beberapa busana khas daerah untuk melengkapi koleksi.
Di samping ruang alat musik tradisional, ada ruang yang menampilkan berbagai foto dari musisi asal Malang, foto enam pendiri MMI, serta beberapa penghargaan yang diperoleh MMI. Lalu di pojok ruangan, di dekat pintu masuk juga terdapat satu set alat band yang di-display seperti hendak dipakai konser. Secara umum, penataan koleksi di museum ini cukup interaktif dan menarik bagi pengunjung.
Setelah puas mengamati koleksi MMI, kami kembali duduk di kursi tengah sembari membaca majalah, kini ganti diiringi lagu D’Masiv. Pak Usman masih menyambut kami, melanjutkan perbincangan tentang sejarah Kota Malang. Musik berhenti setelah menyelesaikan lagu “Jangan Menyerah”, kami beranjak bermaksud pamit kepada Pak Usman.
“Terima kasih mas, mbak, selamat berjuang!”
Ia menutup kunjungan dengan pesan yang cukup berkesan. Memperingatkan kami agar tidak menjadikan kunjungan ini selesai begitu saja, tapi menjadikannya dasar pengetahuan untuk melestarikan musik sebagai bagian dari kekayaan Bangsa Indonesia.
Penulis: Muhammad Ali Faqih, Rikmaya Nur Izzah
satu Respon