Melihat Bagaimana Reaksi Band Bawah Tanah Merespon Pembangunan dan Kekerasan

"Hotel construction. Tourist attraction. Accommodation. Concrete buildings thrive. Welcome to the concrete tourist city." The Concreted - Interadd
Dokumentasi/LPM Siar

“Hotel construction. Tourist attraction. Accommodation. Concrete buildings thrive. Welcome to the concrete tourist city.” The Concreted – Interadd

Pada perjumpaan hangat di Kota Batu yang dingin—katanya, menjelang momentum Hari Musik Nasional lalu, kami melakukan wawancara dengan pegiat musik bawah tanah dari Kota Batu. Helmi Brillian, salah seorang penggerak kelompok musik bawah tanah Titik Dua Kolektif yang berumah di Batu. Perjumpaan tersebut terjadi di sebuah pojokan cafe di lingkar kota itu sendiri. Berbekal perkenalan singkat, kami mencoba menanyakan respon kelompok bawah tanah dalam menyikapi isu-isu lokal. 

Lelaki yang akrab dipanggil Ciwen itu menceritakan asal mula Titik Dua Kolektif yang lahir bermula dari kesamaan hobi soal musik– spesifiknya hardcore punk. Ciwen sendiri juga tengah menggawangi Interadd, sebuah band hardcore punk yang lahir dan tumbuh di dalam Titik Dua Kolektif. 

Di sisi lain kami juga melakukan wawancara terpisah kepada Dewa melalui direct message, seperti namanya sendiri direct message yang berarti pesan langsung, Dewa langsung menjawab pertanyaan yang kami ajukan dengan singkat, lugas, dan jelas. Dewa yang biasa dipanggil Jemba, adalah seorang vokalis band serupa yang bernaung di bawah Titik Dua Kolektif. Ia bersama empat kawannya menggarap band bernama Limbo dari 2021 silam. 

Melalui medium musik, Ciwen dengan band Interadd-nya merespon kondisi ketimpangan di sekitar. Kritik-kritik protes dan keresahan terus disuarakan dalam lagu-lagunya. Begitu pula Jemba bersama kawan-kawannya dalam Limbo. Keresahan tentang pembangunan, kekerasan, ancaman, hingga ketidakadilan semua berjalan dalam bawah tanah yang sama, hardcore punk!

Baca juga : https://siarpersma.id/mengenang-jejak-sukma-peradaban-di-museum-musik-indonesia/

Mendengar Kota Batu mungkin membawa kita pada bayangan sebuah kota kecil dengan puluhan obyek wisata populer. Lengkap dengan citra alam dan ikon apel yang khas dari kota ini. Hampir jutaan orang berbondong-bondong menikmati wisata di kota hasil pemekaran dari Kabupaten Malang itu tiap tahunnya. Fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya puluhan obyek wisata pun kemudian disusul dengan maraknya pembangunan di kota tersebut. 

Bukan lagi rahasia umum bahwa pembangunan ini berdampak pada terpinggirkannya aset-aset yang dimiliki warga lokal sehingga menjadi milik orang di luar Kota Batu. Berdasarkan pada hal tersebutlah, di Kota Batu secara tidak sadar telah mengalami sebuah kekerasan struktural, berdampak dan memengaruhi orang banyak. Hal itu yang membawa kami menanyakan bagaimana budaya— terkhusus musik, dalam hal ini band bawah tanah merespon pembangunan dan kekerasan.

Lirik-lirik Protes yang Menusuk

Membicarakan Interadd, mereka merilis satu EP (red: mini album) yang cukup fenomenal 2021 lalu. EP bertajuk The Concreted, sebuah judul yang mereka ambil dari judul lagu yang sama, The Concreted. Bernuansa cadas dengan beat keras dan cepat. Corak khas musik-musik punk dengan lirik-liriknya yang tajam, Interadd melalui EP The Concreted mengusung kritik soal kondisi lingkungan di Kota Batu.

“Dari 8 mungkin 7 lagu. Sesuai namanya The Concreted yang diambil dari lagu juga artinya dibetonkan. Ya banyak sih yang relate semua menceritakan itu. Kayak Get lost menceritakan investor. Terus Grow Between a Threat hidup di bawah ancaman alam koyok ngunu. Hampir semua,” Ciwen menjelaskan EP yang dirilis Interadd 2021 silam.

Mengusung semangat punk dengan suara pemberontakan, Ciwen mengungkapkan bahwa Bad Religion adalah salah satu inspiratornya. Memang, watak dasar dari kebanyakan band-band punk identik dengan mengusung semangat orang-orang pinggiran dalam melawan sistem, bentuk dominasi negara, ketimpangan, dan ketidakadilan. Band-band punk Eropa yang kebanyakan mengusung soal anti-perang membuat Ciwen lebih melek untuk menyuarakan isu sekitar. 

Kota Batu dengan pembangunan yang masif, ditunjukkan dengan adanya puluhan objek wisata yang kemudian disusul dengan jumlah akomodasi terbanyak di Jawa Timur yang menyentuh angka 973 hotel bintang dan non bintang pada 2021 (Data BPS Jatim). Jumlah yang mendekati seribu itu pun sudah menurun akibat pandemi. Fakta seperti ini seolah menjawab benar keresahan Ciwen dan teman-temannya di Titik Dua Kolektif. 

Keresahan mereka makin dipupuk oleh pemberitaan media soal kecantikan pariwisata di kotanya. Mereka menilai sejauh ini kebudayaan dan keindahan alam di kotanya hanya dilihat sebatas harga. Tentu saja mereka punya perspektif lain menyikapi masalah ini.

“Karena digawe pariwisata. Tapi kita sebagai pribumi Batu dewe merasa ternyata banyak praktek kebusukan di balik keindahan pariwisata itu, loh. Pada akhirnya banyak pariwisata yang dipaksa akhirnya mengorbankan alam. Kayak isu Sumber Umbul Gemulo, terus juga ada Kasinan,” keluh Ciwen.

Baca juga : https://siarpersma.id/international-womens-day-2023-solidaritas-perempuan-malang-raya-kawal-ruu-pprt-dan-isu-kekerasan-seksual/

Pembangunan yang marak dan tak berorientasi pada lingkungan menjadi penyebab dari beberapa bencana di Kota Batu. Dalam hal ini Ciwen menyatakan bahwa kelompoknya tak pernah memaksa untuk berada pada perspektif yang sama. Tetapi melalui lagu-lagunya, ia hanya ingin menciptakan kesadaran bersama. 

Kesadaran yang berusaha mereka bangun melalui deretan lirik-lirik yang menusuk secara tak langsung menumbuhkan kesadaran bersama. Mulai dari hal terkecil perihal membangun kesadaran, Ciwen mengatakan bahwa hal tersebut berpotensi untuk terus menumbuhkan semangat dan rasa peduli terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Pada akhirnya pendengar yang sadar akan terus mengingat bahwa tanah air mereka sedang dieksploitasi kapitalisme. Berwujud pembangunan yang berlebihan dan tak mempertimbangkan konsekuensi dari aktivitas tersebut. 

Ciwen sebenarnya mengaku tak masalah dengan aktivitas pariwisata dan pertanian yang nyatanya menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Kota Batu. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa hal berlebihan seperti pembangunan dan alih fungsi lahan pun juga bakal mengancam kelangsungan hidup masyarakat sendiri. 

“Pada akhirnya banyak yang melek juga, sih. Ternyata bener dari eksploitasi berlebihan nanti juga berdampak buruk dalam bentuk apapun,” ungkapnya. 

Terpisah, Jemba, vokalis band Limbo juga memiliki cara yang sama ketika merespon kondisi sosial sekitar. Meski memuat kritik yang berbeda dari Interadd, Limbo mengkritisi sebuah kondisi di mana kekerasan marak terjadi. Suara mereka direkam dalam sebuah lagu berjudul They (the cops) are the Killer bagian dari Demo 2021.

“Ya itu semua berdasarkan keresahan kami sih terhadap hal itu,” tulis Jemba saat kami wawancarai melalui direct message.

Kritik yang mereka sampaikan bukannya tak berdasar. Faktanya, kekerasan yang terjadi dalam kurun waktu 2020-2021 (kisaran lagu dirilis) menempatkan aparat kepolisian sebagai salah satu pelaku kekerasan. Berdasarkan data yang dirilis KontraS (kontras.org) dalam konferensi pers ‘Laporan Tahunan Bhayangkara’ 2021 lalu, aparat kepolisian telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil sebanyak 651 kasus.

“Kekerasan yang tidak manusiawi yang selalu dilakukan orang polisi tersebut. Mulai dari pemukulan terhadap warga sipil, perkataan-perkataan yang tidak sepantasnya mereka ucapkan terhadap warga sipil mereka, mungkin sampai pembunuhan.” terangnya.

Bahkan, pasca lagu tersebut dirilis, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian masih marak. Misalnya, kita semua tahu bahwa salah satu penyebab Tragedi Kanjuruhan adalah tidak bijaknya aparat dalam menangani kontrol massa. Akibatnya, tragedi tersebut memakan 135 jiwa dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. 

Keresahan keduanya, Jemba maupun Ciwen bersama band masing-masing mungkin hanya beberapa dari sekian band atau orang yang bersuara memprotes keadaan. Jalan seperti itulah yang mereka tempuh sebagai musisi bawah tanah untuk merespon ketimpangan dan keresahan di sekitarnya.

Tidak Hanya Bermusik

Sejak 2018 Titik Dua Kolektif berdiri, Ciwen dan kawan-kawan menyadari bahwa banyak hal yang bisa dilakukan dalam sebuah skena hardcore punk. Beragam kegiatan dari bermusik, giat-giat sosial, hingga mendiskusikan isu-isu terkini menjadi makanan sehari-hari.

Nggak melulu soal musik. Banyak hal-hal menarik yang bisa dilakukan bersama-sama secara kolektif. Pemutaran film, diskusi, pameran dan sebagainya. Yang pasti dilakukan ya bikin acara musik,” tutur Ciwen.

Baca juga : https://siarpersma.id/malang-kota-pelajar-yang-penuh-lubang-dan-pungutan-parkir/

Praktik-praktik mengorganisir tidak hanya berhenti di lirik-lirik yang mereka tulis. Bahkan sebelum Interadd menulis lagu, mereka sudah lebih dulu bergerak di masyarakat secara langsung. Dulunya, Titik Dua Kolektif juga rutin dalam kegiatan aktivasi ruang seperti berbagi makanan dan pakaian bekas untuk orang-orang yang membutuhkan. 

“Kita menciptakan ruang di mana tidak ada proses jual beli. Yowes kabeh seng ono ndek kunu gratis,” tambahnya.

Mulanya, Ciwen merasa tak bermaksud untuk mengkritik siapa pun. Tetapi pada akhirnya melalui hal-hal kecil seperti ini tanpa disadari juga merupakan sebuah bentuk kritik. Pembatasan pada masa pandemi misalnya. Mereka mencoba untuk mengisi ruang-ruang di mana siapa saja bisa terlibat secara kolektif. 

Upaya Titik Dua Kolektif untuk mengorganisir massa melalui gigs (red. acara musik berskala kecil) juga mendapat respon dari kawan-kawan bawah tanah di luar kota. Ciwen menceritakan pernah suatu ketika membuat sebuah gigs yang tak hanya sekedar gigs. 

“Pernah bikin gigs dengan band-band yang sepakat dengan isu tersebut (lingkungan). Temen-temen Bandung bawa solar panel. Siang e ngambil energi solar panel terus forum diskusi, malamnya main gigs,” jelasnya.

Merespon dengan Kritik, Kemudian Sejauh Mana Kritik Mereka Didengar

Sebagai band bawah tanah, Interadd sempat melakukan beberapa tur manggung di luar kota. Kota besar yang pernah mereka sambangi di antaranya adalah Surabaya, Jogja, Depok, Tangerang, Bandung, dan beberapa kota lain.  

Mengingat pendengar musik punk yang tersegmentasi, Ciwen merasa tak terlalu khawatir. Di setiap panggung, Interadd membawa kritik pembangunan di Kota Batu dengan narasi “Kota Wisata Beton” yang merupakan plesetan dari “Kota Wisata Batu”. Plesetan satir tersebut selain terdengar seperti lelucon juga membawa informasi pada orang banyak. 

Dengan demikian, informasi soal pembangunan yang menjadi keresahan mereka sampai terdengar di telinga pendengar di luar kota. “Ooo… Batu a? Kota wisata beton a?” Ciwen menirukan candaan kawannya.

“Ada sedikit narasi di EP. Dari situ ternyata kayak Interadd tour di luar kota muncul forum-forum diskusi. Ternyata apa yang dialami Interadd ini juga dialami temen-temen di luar kota. Hal-hal iku se sing membuat kesadaran,” tambahnya.

Dari hal-hal tersebut pesan-pesan yang disampaikan Interadd menusuk kesadaran pendengarnya. Dampaknya adalah distribusi informasi yang terus menumbuhkan kesadaran bagi siapa pun yang mendengar. Bahkan bukan hanya di Kota Batu, kawan di kota-kota lain yang mengalami nasib serupa juga akan tergerak kesadarannya. 

“Kesadaran itu perlu dibangun bersama. Lek kesadaran iku hanya di beberapa orang ae mungkin wacana-wacana itu hanya kemungkinan kecil akan tercapainya. Jadi, memang perlu adanya kesadaran bersama. Semoga api-api kesadaran iki gak akan pernah padam dan kita terus menghidupkan.” tutupnya malam itu. 

Penulis: Delta Nishfu, Muhammad Farhan

Editor: Farid Wahyu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA