“Bagaimana kita mengingat sejarah ?” Pertanyaan seperti itu agaknya mewakili keresahan saya dan beberapa orang yang mungkin kini mulai menyadari pentingnya untuk mengetahui dan menyikapi sejarah bangsa ini.
Ruang seni dengan tema Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah momen yang pas untuk kembali mengingat sejarah besar negara kita tercinta. Di Kafe Linkar yang berlokasi di Jalan Joyoharjo 134A, Merjosari, Kota Malang, menyajikan ruang seni (art space) guna mengajak publik untuk mengingat sejarah. Tepat pada hari Senin, 11 Maret malam, saya berkesempatan untuk singgah demi menjawab pertanyaan yang bergejolak dalam diri saya.
Kafe Linkar dengan tagline-nya ‘Bertanam Kebaikan, Ruang Ekspresi, Kopi Buku Imaji’, jelas menjadi lokasi yang pas untuk membangkitkan kembali ingatan sejarah. Momen-momen belasan Maret memang menyimpan kenangan yang tak terlupakan. Saat ini, banyak diskusi yang digelar dengan pembahasan teka-teki Supersemar. Kajian literasi pun tak terlewatkan menghiasi berbagai media, tapi Linkar menghadirkan sesuatu yang berbeda. Melalui Ruang Seni Supersemar, mereka membawa kembali ingatan kita pada sejarah surat sakti tersebut.
Ruang seni tersebut menyuguhkan berbagai karya seni yang mampu membuat pengunjung mengingat kembali sejarah Indonesia, terutama pada momen bersejarah Supersemar. Di sana banyak saya jumpai karya yang lahir untuk menggambarkan peristiwa kala itu. Sketsa, lukisan, hingga barang-barang antik yang masing-masing memiliki filosofi dan makna sendiri.
Ragil Kubumi, seorang seniman dan pemusik yang saya temui di Linkar membagikan pemikirannya mengenai gagasan Linkar untuk membuat ruang seni tersebut. Ia merasa bahwa peristiwa sejarah perlu mendapatkan respon dari publik agar tidak terlupakan begitu saja. Ditambah, seni dapat lebih mudah dicerna dan diterima oleh masyarakat.
Menyoal Supersemar sendiri, surat sakti tersebut ibaratnya adalah sebuah teka-teki yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Berulang kali diskursus publik mencoba memecahkan polemik misteri Supersemar, dari tahun ke tahun. Tanpa bermaksud untuk menyerah terhadap sejarah Supersemar yang masih abu-abu itu, ruang seni diharapkan mampu untuk menghadirkan kesegaran yang memberikan pembaharuan bagi ruang dialektika sejarah.
Tanpa melupakan kajian literasi, membaca buku sejarah dan mengkajinya sebelum mengaplikasikan dalam karya seni adalah sebuah keharusan bagi seniman. Seperti halnya yang Fery – seorang seniman yang tengah menggeluti dunia permusikan dengan band Petika Romantika – lakukan. “Literasi memang harus dibawa, katanya orang jawa itu tembung jare. Kalau dalam artinya, biar gak cuma katanya, ya makanya dikupas,” tuturnya.
Dalam karya sketsa yang dibuatnya, Fery mencoba untuk merepresentasikan peristiwa kala itu. Dengan simbol pistol, topi baja, dan topi petani, ia memberikan gambaran bahwa perisitwa kala itu merupakan sebuah pergulatan oknum militer dan non-militer. Dengan penuh semangat, ia mencoba menjelaskan makna dan pesan yang ia sisipkan dalam karyanya kepada pengunjung. Ia tak segan pula menyarankan pengunjung yang memiliki rasa penasaran tinggi untuk melakukan kajian lebih dalam dengan membaca buku-buku sejarah.
Baginya, seni harus berpihak terhadap rakyat, bukan penguasa. Ia menangkap jika hampir semua seniman memiliki perspektif yang sama mengenai kondisi rakyat pada masa itu. Rakyat yang tertindas dan masih menjadi korban keserakahan penguasa negara. Sehingga dalam karyanya, Fery mencoba untuk menekankan pada pesan untuk tetap berjuang.
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah kenampakan televisi dan mesin tik kuno yang usang disertai bongkahan-bongkahan kayu yang sengaja dibakar. Saat pertama kali melihatnya, saya sudah dapat menduga bahwa instalasi konsep barang antik yang disajikan merepresentasikan kuasa media pemerintah pada saat itu.
Benar saja, Haryo Bayu si pembuat instalasi tersebut mengamini tebakan saya. Ia memberikan penjelasan pada saya lebih runtut. “Televisi sebagai media utama yang berkuasa selain sebagai lahan edukatif juga sebagai sarana pembodohan, apa yang dihadirkan media pada saat itu tidak cukup untuk membuat masyarakat tahu apa itu Supersemar,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa mesin ketik dan kayu yang terbakar adalah penggambaran bagaimana pada saat itu pewarta dibungkam dan tidak bisa memberitakan kebenaran.
Ruang Seni Supersemar itu berlangsung selama tiga hari, sejak tanggal 9 Maret hingga puncaknya tanggal 11 Maret. Kegiatan semacam ini akan terus menjadi agenda Linkar kedepannya. Bayu Soemani, salah satu karyawan kafe berbaik hati menginformasikan pada saya bahwa sudah dua tahun berlalu, Linkar selalu giat menggagas literasi. Sebelum menjadi warung kopi seperti saat ini, tempatnya bekerja kerap kali menjadi ruang apresiasi bagi pegiat seni dan juga para aktivis di Kota Malang.
Saya bersyukur dapat menengok sejenak ruang seni yang menjadi angin segar bagi masyarakat khususnya pemuda dan pegiat seni dalam mengingat sejarah. Karena mengutip dari sebuah ungkapan terkenal, Jaskilah, ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’.