Satu titik di antara luasnya Taman Bunga Merjosari yang banyak ditumbuhi rumput liar pada 14 Mei malam tampak menarik perhatian. Berteman dengan udara malam yang kala itu tak cukup memberi kehangatan, tak lantas membuat selimut kamar menjadi satu satunya pilihan untuk menghabiskan malam. Kumpulan manusia dari beberapa generasi duduk melingkar tak rapi dan beberapa buku yang ditata rapi lengkap dengan kertas bertuliskan #BACAGRATIS yang dicetak berlatar biru muda, menjadi sesuatu yang tak biasa pada keseharian taman Merjosari.
“Literasi itu bukan hanya baca tulis saja. Literasi itu (artinya) mereka sadar akan kewajiban sebagai makhluk Tuhan di mana membaca dan menulis adalah perintah Tuhan. Dari membaca dan menulis, kita tahu mandat hidup kita itu apa,” ujar Miri Pariyas selepas acara dengan suaranya yang lemah lembut.
Baca Juga : Perpustakaan PATABA, Bukan Sekadar Rumah Baca
Usut punya usut, acara malam itu merupakan kegiatan diskusi Gerakan Literasi dengan Kelompok Literasi Jalanan (Kelana) sebagai empunya acara. Stimulus diskusi dimulai dari Ahmad—salah satu pegiat literasi—yang mengurai asal muasal buku, mulanya menggunakan mesin press anggur wine pada penerbitan buku abad sampai penerbitan saat ini dengan metode yang telah berkembang dan menyebar pada berbagai penjuru.
Lalu, cerita tersebut merambat pula pada perkembangan literasi masa kini yang bukan hanya tentang pengaksaraan saja. Pun dengan medianya yang tak hanya berputar pada buku fisik. “Literasi sekarang mengalami perluasan makna, ada literasi finansial, sains, numerik dan lainnya. Akses literasi pun nggak hanya teks atau fisik saja, banyak resources yang dapat digunakan dalam akses pengetahuan. Ada banyak platform, Portable Document Format (PDF), audiobooks, podcast, lukisan, film,bahkan nonton visualisasi review di Youtube juga merupakan hal yang dapat meningkatkan literasi,” terangnya saat itu.
Dipikir-pikir, dengan arus perkembangan teknologi yang membawa pada era serba digital, tentu literasi juga turut terseret oleh derasnya arus. Kemudahan akses dan keefisienan yang ditawarkan era masa kini menjadi suatu hal yang diterima khalayak ramai dengan tangan terbuka. Membaca tulisan dengan PDF cukup menguntungkan karena tak memakan ruang simpan serta lebih efisien untuk dibawa ke sana kemari. Ketika dalam situasi yang tak memungkinkan untuk membaca—misal menyetir atau yang lainnya—literasi masih dapat dilakukan dengan literasi digital yang memanfaatkan platform audiobooks atau podcast.
Berada di tengah-tengah era digital, buku fisik tak lantas dapat diartikan sebagai sesuatu yang tertinggal oleh zaman. Dalam dunia literasi, buku fisik masih banyak menjadi pilihan karena mungkin kekhidmatan membaca dapat kita rasai dalam buku fisik. Tak ter-distract iklan yang biasa muncul dalam platform literasi digital, juga tak terganggu notifikasi-notifikasi yang terkadang tak paham waktu. Mendengar suara khas yang timbul ketika kertas buku dibalik, pun dengan aroma yang menguar dari buku, merupakan suatu momen romantis yang didapat juga dari buku fisik, seperti kata Cak Nun.
Banyaknya platform digital yang bermunculan dan eksis pada era ini pada akhirnya memberi kesempatan banyak orang untuk menjadi penulis. Melalui semua jenis tulisan yang diunggah pada berbagai media, semua orang dapat mengklaim diri sebagai seorang penulis. Sayangnya, jika dilihat secara kasar, banyak tulisan yang kadang hanya sekadar unggahan tanpa data-data pendukung. “Hal tersebut yang kemudian membedakan ‘penulis’ era dulu dan era sekarang. Kebebasan menulis apa pun tanpa data dan teori yang disajikan membuat argumentasi menjadi kurang terdukung,” tutur Ahmad malam itu.
Baca Juga : Mengenang Jejak Sukma Peradaban di Museum Musik Indonesia
Semakin malam, bersama angin yang menerbangkan secarik kertas bertuliskan “gratis, seperti udara” menjauh dari deretan buku yang berjejer, pepatah yang dilontarkan Ahmad cukup membekas dalam lingkup kawanan penggerak perubahan sosial. “Jika kamu ingin bergerak cepat, maka kamu bisa berjalan sendiri. Namun, jika ingin mencapai tujuan yang jauh, maka kita harus berjalan bersama-sama,” tutur Ahmad kala itu. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan dari Miri yang baru-baru ini merintis Gerakan literasi di daerahnya, di mana niat dan dukungan dari teman setujuan merupakan hal penting sebagai motivasi.
Perkumpulan atau komunitas rasa rasanya menjadi sesuatu yang cukup memberi kontribusi dalam meningkatkan literasi. Kuantitas bukanlah masalah besar dalam komunitas, asal kegiatannya intens dilakukan, mau itu diskusi, menulis atau membaca. Buku yang bagus akan percuma jika hanya dibeli-baca-tamat. 1 atau 2 hari lagi juga akan lupa. Teman sangat diperlukan sebagai lawan main diskusi tentang objek literasi apa pun untuk mencapai suatu pemahaman yang lebih kompleks.
Penulis : Risma Dewi
Editor : Afifah Fitri W