Pasar Buku Velodrome, Riwayatmu Kini

Saat itu awan tipis menyelimuti pagi, sedangkan jalan dipadati kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan angin seakan mengajak kami pergi

Foto : Intan Pratiwi
Dokumentasi/LPM Siar

Saat itu awan tipis menyelimuti pagi, sedangkan jalan dipadati kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan angin seakan mengajak kami pergi dari hingar-bingar kota Malang untuk kembali mengunjungi suatu tempat di pinggiran kota. Tempat itu dulunya berupa rawa-rawa, jalannya tak terlihat, masih sepi, rawan penculikan, dan hanya digunakan sebagai arena balap sepeda. Kemudian rawa-rawa tersebut ditutup dan diubah menjadi pasar buku.

Meskipun nampak banyak toko yang tutup, beberapa lainnya masih bertahan untuk tetap buka. Toko milik Riyanto salah satunya, laki-laki berusia senja yang tanpa sengaja terbangun dari ranjang lapuknya. Hal itu membuat langkah kaki kami terhenti, menarik kami untuk berbincang dengannya.

Sejak awal tempat ini sudah mencuri perhatian kami, hingga kaki kembali menapaki tempat ini lagi. Pada mulanya kami hanya berniat untuk sekedar jalan-jalan saja hingga tersadar, ternyata ada pasar buku di tengah rerimbunan hutan kota dengan tulisan  “Pasar Buku & Seni Velodroom” pada plakat di pojokan pasar buku itu. 

Riyanto, selaku pedagang buku di Velodrome, sudah cukup lama menggeluti dunia perbukuan, terhitung hampir 40 tahun lamanya. Beliau memaparkan bahwa awal mula menggeluti buku memang karena menggemari buku. Riyanto gemar mengoleksi buku, terutama buku-buku lama, seperti buku milik Bung Karno, Gus Dur, Tan Malaka, Pram, dan masih banyak lagi. Mungkin itu yang membuatnya masih bertahan menggeluti buku sampai sekarang.

Foto pak Riyanto dengan buku koleksinya  yang tidak dikomersilkan

Buku-buku lama milik Riyanto tersebut hanyalah koleksi pribadinya, tidak untuk dijual. “Koleksi saya ini tidak saya jual, nanti akan saya kasih ke anak cucu saya, biar ada penerusnya nanti. Soalnya sayang kalau dijual, udah mahal juga, udah jarang juga sekarang,” ujar Riyanto.

Banyak tempat yang sudah Riyanto kunjungi untuk mencari buku. Mulai dari Surabaya, Semarang, Solo, hingga Jakarta sudah pernah ia jajaki. Akses menuju tempat-tempat tersebut dulunya memang mudah, semua orang bisa menjangkaunya. Terhitung bisa sampai 8 kardus didapatkan dari sekali jalan keliling kota-kota tersebut. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa modal mengumpulkan buku-buku ini tergolong banyak, jika dirinci mungkin bisa sampai ratusan juta.

Baca juga : Eksistensi Pasar Comboran

Keuntungan dari berjualan buku tidak bisa dipatok per eksemplar karena harganya yang beragam. Biasanya ada banyak yang menawar harga, terlebih bila buku-buku langka yang harganya lumayan mahal. “Sudah habis banyak sebenarnya untuk beli buku ini, bahkan bisa buat beli rumah mungkin, tapi ya nutupnya (kekurangan) ini juga alhamdulilahnya dengan buku,” ucap Riyanto.

Tak berselang lama, laki-laki paruh baya yang kerap disapa Dodik datang dan mulai membuka tokonya. Ya, Dodik Irawan namanya. Ia adalah Ketua Paguyuban Pedagang Buku Velodrome. Sembari menunggu Dodik yang tengah disibukkan dengan persiapan toko miliknya, memang sedari awal sudah ada janji bertemu dengannya, saya berbincang kembali dengan Riyanto.

Suasana sekeliling Velodrome masih tampak sepi. Hal tersebut dikuatkan dengan paparan Riyanto terkait kondisi Velodrome ini yang memang seperti ini adanya, sepi. Keadaan jauh berbeda dengan sebelum relokasi tahun 2009 saat masih bertempat di dekat stasiun Malang Kota Baru yang sekarang jadi pasar kuliner Pujasera Sriwijaya. Dulunya pasar buku ini terletak di Sriwijaya, di depan stasiun Malang kota baru, kemudian ada relokasi pada saat pemerintahannya Pak Peni Suprapto tahun 2009. Saat akan direlokasikan, para pedagang diberikan dua opsi di antaranya di Velodrome dan di Comboran. 

“Sebetulnya para pedagang tidak mau dipindahkan, dengan alasan karena memang pada saat itu pasar itu baru mulai ada, baru mulai muncul adanya pasar tersebut,” tutur Dodik.

Terkait isu relokasi tersebut, awalnya mereka mengira ini hanya isu semata, namun ternyata benar adanya. Tidak lama, diadakan musyawarah dengan para pengurus. Hasil akhirnya diberikan tawaran berkedok pemindahan pasar dengan dua opsi, Velodrome atau Comboran. Akhirnya dengan terpaksa disepakatilah relokasi di Velodrome ini. Lagi-lagi dengan pertimbangan karena aksesnya lebih mudah daripada di Comboran yang tempatnya di lantai atas. Hal itu mungkin akan lebih sulit lagi untuk mendapat akses dari pelanggan. 

Kabarnya relokasi pasar buku ini dilatarbelakangi karena faktor adipura, letaknya di tengah kota. Tempat bekas pasar buku ini sekarang disulap menjadi tempat kuliner atau pujasera. Memang benar jika kuliner adalah hal yang penting, namun pendidikan juga tak kalah penting di sini. Pendidikan pun sangat diperlukan, terlebih di Malang yang selain dijuluki kota wisata juga dikenal sebagai kota pendidikan.  

Potret  pasar buku Velodrome sebelum direlokasi berada di Jalan Sriwijaya yang sekarang jadi sentra kuliner tepatnya di depan stasiun kota.  
Foto : Farid Wahyu/Siar

Relokasi pun mulanya bukan tanpa penolakan dari para pedagang. Mereka tidak serta merta diam saja, mereka juga mencoba mempertahankan dan mencoba mencari solusi bersama petinggi, namun nihil, relokasi tetap saja dilakukan.  

 “Alasannya karena di sana nggak boleh buat tempat jualan, tapi nggak taunya dibuat pasar kuliner,” ujar Riyanto. “Tempatnya dijual lagi kan, ke yang makanan itu. Pintar itu walikota, di sana dapat di sini dapat. Yang di Sriwijaya dijual ke kuliner yang di sini (Velodrome) pedagang buku yang direlokasi disuruh beli tempat lagi,” lanjutnya.

Tak bisa dipungkiri, keluh kesah para pedagang pasar buku Velodrome ini nyata adanya. Terlebih mereka sempat diberikan janji akan diadakan opening dan segala macemnya. Namun nihil, nyatanya hanya angin lalu saja tanpa kejelasan realisasi. Akibatnya, tak banyak orang tahu tentang Velodrome. Bahkan sekitar 3-4 tahun semenjak relokasi, banyak yang belum tahu jika ada toko buku di sini. Pihak Dinas Pariwisata pun turun tangan dengan mengadakan pasar pagi setiap hari Minggu guna membantu meramaikan tempat ini dengan pengunjung yang kebanyakan bukan orang sekitar Sawojajar, melainkan dari daerah yang lumayan jauh dari sana (Tumpang, Buring, dan sekitarnya). 

Relokasi tersebut bisa dibilang bukan solusi yang tepat untuk ditawarkan. Pasalnya bisa dilihat sejak awal pindah hingga kini terpantau tetap saja sepi pengunjung. Lagi-lagi jika dibandingkan dengan sebelumnya, perbedaannya sangat signifikan. 

“Dulu setiap tanggal 28 itu ada kegiatan budaya, ada penulis, penyair, sering ke sana setiap tanggal 28 di setiap bulan,” ujar Dodik.

Pasar buku setelah direlokasi ke area hutan kota Velodrome  yang terletak di Jalan Sawojajar Kota Malang Gambar : Terakota id

Bisa dibayangkan betapa signifikannya perbedaan sebelum dan sesudah relokasi. Dulunya, tidak hanya jualan buku saja, ada kegiatan budaya yang diselenggarakan mulai dari mengukir hingga melukis. Dari itulah  nama Pasar Buku & Seni Velodroom ada dan disepakati hingga sekarang. Selain itu, dulu masih ada kereta asongan dan banyak pembelinya, pembelinya pun dari berbagai daerah karena memang tempatnya pusat lalu lalang wisatawan. 

“Di sana buku apapun, majalah apapun laku. Tapi sekarang sudah kacau, terus terang memprihatinkan,” keluh Dodik, tentunya pedagang lainnya termasuk Riyanto juga merasakan hal serupa. 

Faktor utama yang menjadikan pasar buku ini sepi adalah karena relokasi tersebut. Bisa dilihat, dari 72 toko, terhitung tinggal separuhnya, 35 toko saja yang masih aktif. Itu pun tak hanya buku saja yang dijual di dalamnya. Terdapat bengkel, baju, juga akuarium ada di sana, meski sejatinya pasar buku ini harus menjual buku sesuai peraturan yang ada. 

Pengurus paguyuban bisa saja memperketat peraturan dan larangan di sini, namun dari pihak pengurus juga tak bisa melarangnya. Kondisi sudah tak memungkinkan karena semakin ke sini tak bisa dipungkiri kebutuhan juga semakin banyak dan tak bisa ditutup hanya dengan mengandalkan buku.  Paguyuban yang ada sekarang sudah tak sesolid dulu karena anggotanya juga sudah banyak yang mundur.

“Sebetulnya kalau teman-teman kompak ya enak, tapi kan ya sulit, saya memakluminya karena ya kembali kondisi itu tadi, kondisi ekonomi, pasar, belum makmur lah istilahnya,” pungkas Dodik.

Adapun pedagang yang menggantungkan penghasilannya pada toko buku ini salah seorang di antaranya adalah Dodik selaku ketua paguyuban. Hingga sekarang, ia masih mempertahankan toko buku di Velodrome ini, sehingga mau tak mau beliau harus bisa survive

Baca juga : Perpustakaan Petaba Bukan Sekedar Rumah Baca

Bagaimana dengan pedagang lainnya? Ada yang menyiasatinya dengan kerja sampingan lainnya  seperti buka warung, jualan keliling, juga jualan online. Dengan mengikuti perkembangan zaman, salah satu cara menyiasati kondisi yang sepi pengunjung ini adalah dengan teknologi atau dengan buka lapak online. Dari situlah pembeli berasal, dan kebanyakan memang pelanggan dari luar kota. Selain buka lapak online, koneksi secara online juga menjadikan Velodroom semakin eksis. Kebanyakan pelanggan tahu Velodroom ini dari koneksi online para pedagang di sana. 

“Biasanya juga kita mengundang mereka, teman-teman yang punya koneksi orang luar gitu diundang ke sini biar tahulah. Terus juga membangun koneksi juga, nggak hanya di Malang saja, tapi juga di luar Malang itu juga cukup membantu,” tutur Dodik. 

Sekarang ini kesulitannya bukan masalah penjualan atau marketing, melainkan karena pengadaan barangnya yang bukan baru tersebut. Fokusnya di sini memang barang lama yang cukup sulit dicari. Hal tersebutlah yang membuat pengadaan barang itu menjadi sulit karena semakin banyaknya orang yang mencari, tentunya juga menyesuaikan budget

 “Yang nyari banyak, sama harganya nggak sesuai itu yang kesulitannya. Saya juga menyiasatinya dengan itu tadi, mulai awal kita bangun koneksi, se-Jawa, se-Indonesia. Kalau ada yang jual borongan kita mau nerima, harga yang penting kita bisa jual kita ambil, mainnya gitu, jualnya juga ke langganannya juga, setiap pedagang itu punya langganan masing-masing, pelanggannya beda beda,” tutur Dodik lagi.

Tak bisa dipungkiri semakin ke sini peminat buku semakin sepi karena maraknya media online juga digital literasi yang mengalihkannya. “Mungkin buku ini sepi karena nggak ada penerusnya, makanya harusnya yang muda muda ini bisa meneruskan,” ujar Riyanto.

Rentetan keluh kesah pedagang buku Velodroom ini tentunya hanya sekadar keluh kesah belaka jika tak ada tindakan dari pemerintah. Untuk itu, mereka berharap akan kebijakan pemerintah dalam memberikan solusi terbaik di pasar buku Velodroom. Peran pemerintah cukup berpengaruh di sini sebagai bentuk perhatian dan solusi yang sangat diperlukan agar para pedagang lebih bergairah dan bersemangat lagi untuk berjualan sehingga paguyuban tetap berdiri dan pasar buku semakin eksis.

Lagi-lagi Dodik juga memaklumi bahwa sekarang ini memang tidak bisa dipungkiri zaman sudah berubah. Maka harus cari solusi agar dapat meramaikan Velodroom lagi dengan dibuatkan acara atau lain sebagainya. Perihal koneksi sebenarnya tidak kekurangan, akses ke penulis, dosen, kampus ada. Tapi perihal anggaran untuk mengadakan acara yang tidak ada. Belum lagi teman-teman pengurus sudah banyak yang non-aktif. Banyak yang dulunya aktif sekarang sudah tidak aktif lagi, entah karena penyebab tertentu masing-masing orang juga beda. Begitu juga karena pasar sepi atau malas mengurusi. 

Penulis : Shofi Nur J

Editor : Delta Nishfu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA