Banyak orang beranggapan bahwa pandemi membuat aktivitas serba terbatas, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Teater Komunitas. Di masa pandemi, Teater Komunitas tetap melakukan proses kreatif. Seperti yang telah diceritakan oleh Jonathan Beryl (24) selaku anggota Teater Komunitas, adanya keterbatasan malah membuat Teater Komunitas berapi-api lalu timbul ide untuk melakukan pementasan secara secara virtualdi akun sosial media mereka @teaterkomunitas sekaligus tampil secara langsung di muka umum.
Berjudul September Hitam, produksi teater tersebut dipimpin oleh Khilda Fauziyah, disutradarai oleh Bedjo Supangat, dan naskahnya ditulis oleh Kholidurroziqin. Tak ketinggalan, teater tersebut dimainkan oleh Ramandhani, Sandika, Firmansyah Alafair, Hilmi D.Z, Reza, Jihan Mutia, dan Jonathan.
Ada yang unik di sini, terdapat tiga pemain teater yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sewaktu sesi tanya-jawab usai pertunjukan, ketiganya ditanyai soal sejarah Tanjung Priok, Kasus Munir, dan lain-lain. Mereka yang polos ini bercerita pernah suatu kali menanyakannya kepada orangtua mereka, dan yang mereka dapatkan justru “serangan balik” seperti “Makanya Nduk, sekolah biar tahu sejarah.” tanpa mendapatkan penjelasan dari orangtua mereka. Sontak cerita ketiganya membuat penonton tertawa.
Teater yang diadakan di Deliciosa Caffe yang berada di Dinoyo Permai 3 Kota Malang tersebut, menggabungkan antara seni dan sejarah, menjadi suatu karya yang tidak disangka. Sejarah dalam teater, menjadi hal yang baru di masa pandemi.
Dengan penonton terbatas—dengan tetap menerapkan protokol kesehatan tentu saja, bukan berarti membatasi Teater Komunitas mengusung isu sosial. Dalam pertunjukan sekitar kurang lebih satu jam tersebut memakan waktu dua bulan untuk latihan. Jonathan si pria gondrong yang kerap disapa Mas Jon ini mengaku dalam dua bulan itu selain menyamakan ide dan konsep pertunjukan, mereka latihan fisik, olah rasa, dan olah jiwa sebagaiman metode latihan yang sering mereka lakukan.
Dengan rokok yang bertengger di daun telinga, Jon bercerita Teater Komunitas yang berdiri pada tahun 2015 tersebut awalnya adalah proyek Metamorfosa, akhirnya jebolan dari Metamorfosa ini timbul dan bergabung menjadi Teater Komunitas. Kemudian Jon melanjutkan ceritanya dengan nada serius soal “eksperimental” mendobrak batasan seni yang lama, yang menurut banyak orang terpakem.
Teater Komunitas sebagai berkumpulnya anak muda mencoba mendobrak pakem tersebut dengan masih mengikuti beberapa pakem yang ada, tapi mereka tetap mencoba untuk berinovasi dan meng-recreate (membuat ulang) yang sudah ada.
Saat Jon sebagai aktor ini masuk ke cerita pertunjukan, dia memilih untuk datang dari kumpulan penonton, selain memberi kesan dekat dan tidak ada batasan antara pemain serta penonton juga karena Teater Komunitas menganggap bahwa panggung pertunjukan tersebut ya satu—rumah kafe tersebut. Itu juga mengapa hadir adanya tanya-jawab usai pertunjukan.
Di tengah pertunjukan mesin ketik lama dan pesawat duduk di atas meja. Awam mungkin menduga keduanya hanya sebuah pajangan yang mungkin menambah kesan kuno. Jon menjelaskan bahwa mesin ketik melambangkan sebagai pencatat sejarah, sedangkan pesawat menyimbolkan seorang pencatat sejarah. Mesin ketik dan peswat menjadi saksi bisu dari sejarah. Mewakili Teater Komunitas, Jon mengatakann bahwa mereka berusaha untuk mengungkapkan sejarah yang belum banyak orang tahu.
Mengenai masa pandemi, Teater Komunitas mempunyai sudut pandang sendiri, dengan menganggap bahwa pandemi tidak digunakan sebagai halangan proses kreatif. Melainkan sebagai kekurangan yang harus disiasati dengan mencari jalan keluarnya.
Jon berharap untuk para pekerja seni dan pegiat seni jangan menganggap bahwa pandemi sebagai halan untuk menciptakan sesuatu kreatif untuk berkarya. Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin, pandemi bukanlah halangan untuk berkarya, pungkas Jon.
Penyunting: Mita Berliana