Kesenian Magis, Memaknai Pagelaran Bantengan yang Lagi Eksis

Bunyi gending-gendingan terdengar di sekitar pelataran sebelah timur gedung Sasana Krida Universitas Negeri Malang (UM) pada Selasa malam,

Pagelaran kesenian bantengan yang memiliki makna magis kini lagi eksis Foto : Shofi Nur Jannah
Dokumentasi/LPM Siar

Bunyi gending-gendingan terdengar di sekitar pelataran sebelah timur gedung Sasana Krida Universitas Negeri Malang (UM) pada Selasa malam, 28 November 2023. Setelah rintik hujan berangsur pudar, sekelompok laki-laki yang tergabung dalam Banteng Putra Sedesa mulai menyiapkan aksinya. Mereka adalah gabungan dari para penari bantengan kampus maupun bantengan dari Kota Batu dan Kabupaten Malang. Pagelaran seni bantengan ini tampil dalam rentetan acara pameran seni “November Art” (NovArt) hari pertama.

Kurang lebih ada sepuluh topeng yang menyerupai kepala banteng telah dijejer rapi di depan panggung. Di antara jejeran kepala banteng itu terdapat empat topeng kepala macan. Tak luput juga sesajen yang disiapkan untuk kelengkapan ritual sebelum pagelaran kesenian bantengan dimulai. 

Sekitar pukul 9, di sebelah utara panggung, sudut yang tak terlalu disorot lampu, seorang lelaki berbaju hitam dengan udeng putih muncul dari kegelapan. Setelah sampai di depan panggung, mulailah lelaki itu melakukan aksinya. Ia menggerakkan kaki dan tangannya mengikuti alunan musik khas bantengan Kota Batu. Dengan iringan instrumen utama yakni jidor, kendang, dan saronen. 

Lelaki itu bergerak dengan pelan tapi tegas mengikuti tempo musik. Tangannya maju ke depan layaknya menangkis. Sesekali kakinya menendang, lalu memutar tubuh dan berguling. Gerakan ini merupakan olah gerak pencak silat dengan alunan musik bantengan yang menjadi pembuka di pagelaran kesenian bantengan. 

Yosin Mulyan Astuto (23), mahasiswa dari Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM), turut beraksi di pagelaran bantengan malam itu. Menurutnya, adegan pencak silat ini merupakan ciri khas bantengan dari Malang bagian barat, khususnya Kota Batu. Beberapa orang menyebut adegan pencak silat dan instrumen ini identik dengan bantengan kulonan. 

Setelah selesai, seorang wirasuara di panggung mulai memanggil para sesepuh untuk berkumpul di depan panggung. Salah satunya adalah Mbah Jo yang merupakan pendekar bantengan dari Kota Batu. Mereka segera melakukan ritual suguh sebagai bentuk izin sebelum memulai aksi para penari bantengan. 

“Jadi ya maksudnya nuwun sewu, pamit, seperti mau masuk rumah orang lah. Namanya suguh,” jelas Yosin. 

Sampai di sini, langit yang sebelumnya masih meneteskan sisa-sisa gerimis seketika berhenti dan menjadi terang. “Banteng ayo banteng… “ ucap wirasuara memanggil para banteng kemudian melantunkan sholawat. 

Penari bantengan terdiri dari dua orang per kepala banteng. Satu orang di bagian pemegang kepala banteng dan sebagai kaki depan. Lalu satu orang lainnya sebagai ekor dan kaki belakang. Masing-masing banteng dikerubuti kain yang berfungsi seperti tubuh banteng. Meski digerakkan dua orang, secara otomatis gerakan dua orang itu akan menjadi satu kesatuan. Dengan adanya beberapa banteng, kesenian ini benar-benar menampilkan layaknya koloni banteng yang digerakkan oleh manusia. 

“Cetarrr… cetarrr… “ bunyi pecutan begitu nyaring di telinga. Orang-orang itu mencambukkan pecut di atas tanah. Berkali-kali mereka melakukan itu dari segala penjuru mata angin. 

Mulanya, para penari bantengan itu melakukan solah, semacam gerakan pemanasan. Sampai mantra dibacakan, satu per satu dari mereka mulai kerasukan roh banteng. Para penari bantengan yang berkumpul seketika mengamuk setelah Mbah Jo mencambukkan pecutnya di atas tanah. Pecutan-pecutan itu menjadi penanda bahwa penampilan inti telah dimulai. 

Dalam kondisi kerasukan, para penari itu mengangkat kepala banteng. Bergerak mirip barongsai sembari mengikuti alunan musik. Tak lupa, semerbak wangi-wangian dupa dan kemenyan yang dibakar menambah suasana magis di kalangan para penonton. 

Yosin yang mulai kerasukan, sempat mengendus-endus kemenyan yang dibakar di atas layah. Kemudian ia menyeret kepala banteng, menggoreskan tanduk banteng di atas tanah. Tak diketahui pasti berapa berat kepala banteng itu. Setelah berdiri, ia pun berjalan melenggak-lenggok mengikuti alunan musik. 

Di sebelah kanan para penabuh alat musik, dua orang yang mengenakan kostum macan putih mulai beraksi. Sorotan lampu panggung menyinari aksi dua macan itu. Mereka bergerak merangkak, dan saling menyerang satu sama lain. Gerakan-gerakan ini juga memiliki unsur olah gerak pencak silat.

Sesekali terdengar bunyi suitan dari penonton. Wirasuara pun berkali-kali memperingatkan agar penonton tak bersuit. Umumnya, hal ini memang kerap dilakukan untuk menggoda para penari yang kerasukan. Jika mendengar suitan, para banteng seakan-akan risih atau mungkin merasa diejek, mereka pun akan mengejar penonton yang menyuitinya. 

Memaknai Unsur Magis

Sekitar pukul 22.36, para penari yang kerasukan berangsur sadar. Roh-roh yang sebelumnya dipanggil untuk meramaikan pagelaran mulai dipulangkan. Alunan musik berhenti diikuti dengan riuh tepuk tangan penonton. Pagelaran pun berakhir dengan kondusif tanpa mencelakai penonton.

“Wah takjub aja,” kata Abdul Khodir (19) terkesan.

Mahasiswa asal Departemen Sastra Indonesia itu begitu menikmati pertunjukan ini. Ia adalah warga asli Landungsari, Kota Malang. Malam itu, ia sengaja datang ke pagelaran kesenian bantengan di acara NovArt.Ia terkesan melihat penampilan pagelaran bantengan yang membawakan gaya kulonan ini. 

“Arek – arek  ada yang bawain kesenian meskipun sekarang orang-orang [bantengan] berkiblat ke [gaya] brang etanan [Malang Timur]. Kan ini model-model awal, brang kulonan [Malang Barat] ini,” tambahnya. 

Sejak usia 12 tahun, lelaki yang akrab dipanggil Dul itu memiliki ketertarikan pada kesenian masyarakat Jawa, terutama bantengan dan jaranan. Ia memaknai pertunjukkan bantengan dengan paduan nilai-nilai religi dan ekologis. Adanya banteng, macan, dan kera, menunjukkan kesenian bantengan memiliki kesatuan antara para penghuni alam sebagai ibu bumi dengan Tuhan sebagai bapa langit. 

Dul juga memaknai bantengan secara moral. Ia mengartikan banteng yang mengamuk dan mengejar ketika seseorang penonton melakukan suitan. Ia mengasumsikan ngamuknya bantengan seperti seorang manusia yang terganggu atau risih ketika menjadi korban catcalling. Baginya, ini juga merupakan bentuk penghormatan agar tak mengganggu baik sesama manusia maupun alam.

“Aku lebih nangkep ke sisi ekologi. Ini alam. Mangkanya kenapa kok gak boleh disiuli,” jelasnya. 

Tak jauh berbeda, Yosin mengartikan secara keseluruhan kesenian bantengan ini membawa pesan-pesan tentang sifat manusia, baik dan jahat. Sifat-sifat itu termanifestasikan ke dalam wujud para penari yang kerasukan. 

Wujud banteng sebagai simbol kekuatan baik, macan dan kera sebagai simbol kekuatan jahat. Yosin juga menunjuk perwujudan ini mirip dengan simbol-simbol yang terdapat pada gunungan wayang kulit.

“Intinya dikembalikan lagi ke sifat-sifat manusia,” ucap Yosin.

Menyikapi Kesenian Bantengan yang Terus Berkembang

Kesenian asli rakyat Jawa Timur khususnya Malang Raya ini diperkirakan sudah ada sejak zaman kerajaan Singasari. Beberapa catatan tentang sejarah bantengan mengaitkan kesenian ini dengan relief-relief yang berada di Candi Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Meski begitu, kesenian bantengan tak hanya berada di Malang Raya, tetapi juga di beberapa wilayah luar Malang seperti Pasuruan, Jombang, Mojokerto, dan Kediri. 

Kesenian bantengan terus berkembang dari masa ke masa. Coraknya pun selalu menyesuaikan kondisi masyarakat sekitarnya. Hal itulah yang menyebabkan kesenian bantengan tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Meski begitu, pagelaran bantengan setidaknya memiliki empat unsur, yakni pencak silat, sendratari, musik, dan ritual magis. Unsur-unsur ini yang seharusnya ada dan menjadi pokok dari kesenian bantengan.

Eksistensi bantengan yang terus berkembang rupanya bagai angin segar yang menyejukkan tetapi rentan masuk angin. Perkembangan kesenian bantengan yang beriringan dengan tantangan perkembangan teknologi juga perlu diperhatikan esensi dasarnya. Hal itu dapat dilihat dari mulai bermunculannya kesenian-kesenian bantengan yang menggunakan instrumen musik instan di kisaran 2022 akhir. Bahkan instrumen musik bantengan juga dikreasikan dengan musik DJ.   

Melihat fenomena seperti ini, Dul berpendapat, seharusnya kesenian bantengan ini terus digali dan diteliti secara keilmuan melalui para pecinta dan budayawan. Agar wacana-wacana filosofis bantengan bisa terus dikenalkan. Dengan begitu, perkembangan kesenian bantengan yang variatif bisa tetap diperhatikan aspek esensi dasarnya. Ia menyebutnya sebagai upaya kembali ke khittah.

“Kalo masalah perkembangan itu perlu, sih. Pokok pertama ada yang minat, tetapi ya ada usaha kembali ke khittah,” jelas Dul.

Yosin tak banyak berkomentar. Menurutnya, kesenian bantengan memang akan terus berkembang. Perkembangan itu selalu memunculkan inovasi-inovasi baru untuk menggaet minat masyarakat. Meski begitu, pengembangan kesenian bantengan tetap harus mengacu pada kaidah-kaidah bantengan itu sendiri. Seperti tak menghilangkan unsur pencak silat, sendratari, musik, dan ritualnya.

Para pemuda dan anak-anak yang mulai menggemari dan menggeluti kesenian bantengan memang perlu diapresiasi. Karena itu merupakan upaya melestarikan budaya. Untuk itu, adanya perbedaan tak perlu disikapi dengan radikal. Hanya saja perlu sosok yang selalu membimbing dan mengingatkan agar esensi bantengan tak hilang meski mengalami berbagai perkembangan.

“Perbedaan itu gak perlu dipermasalahkan selagi esensi bantengan itu tetap ada,” tandas Yosin. 

Penulis : Delta Nishfu

Editor : Soom Mayvelyne

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA